NAMA :
Kausar Abidin
NIM :
1123060042
JURUSAN :
HPI/A/VI
MATKUL :
Qowaid Fiqh Jinayah
DOSEN :
Enceng Arif Faizal., M.Ag.
الأصل
إعتبار الغالب لا للنادر
Artinya :
“Adat yang
dapat dipertimbangkan adalah yang biasa terjadi bukan yang jarang terjadi.
Kaidah ini
mengandung arti bahwa adat yang dapat dipertimbangkan sebagai dasar penetapan
hukum adalah adat yang biasa atau sering terjadi, bukan yang jarang terjadi,
sehimgga adat yang biasa terjadi harus didahulukan apabila bertentangan dengan
adat yang jarangterjadi.[1] Mushthafa
Ahmad al-Zarqa’ (guru besar Fiqih Islam
Unifersitas’ ‘Amman ,Jordania) mengatakan bahwa ‘urf merupakan baigian
dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus
berlaku kepada kebanyakan orang didaerah tertentu bukan pada pribadi atau
kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagai mana yang berlaku
dalam kebanyakan adat tapi muncul dari sesuatu pemikiran dan pengalaman
A.
Dalil Qur’an
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا
عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡ وَلَايَهۡتَدُونَ
١٧٠
Dan apabila
dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,"
mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"." (QS. Al-Baqarah 2: 170).[2]
خُذِ
ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩
Jadilah
engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf 199)[3]
Dalam ayat di
atas Allah SWT memerintahkan kaum
muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai
oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Kata al-‘Urf
dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama
Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk
mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi
dalam suatu masyarakat.
Pada dasarnya,
syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi
itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam
bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat.
Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang
dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara
berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa
Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa
adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hokum, bilamana
memenuhi beberapa persyaratan.
هُوَ
الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا (سورة البقرة آية : 29)
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”(QS Al-Baqarah : 29)
هُوَ
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا
مِنْ رِزْقِهِ
“Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rezki-Nya.” (QS Al-Mulk : 15)
قُلْ
مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ
الرِّزْقِ
Katakanlah:
“Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik (QS
Al-A’raf : 32). dari ayat ini kita dapat mengambil faedah bahwasanya hukum asal
perhiasan serta apa saya yang Allah anugerahkan buat hambanya adalah boleh dan
halal.
B.
Hadist
حَدَّثَنَا
عِمْرَانُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا خَالِدٌ
الْحَذَّاءُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
ذَكَرُوا
النَّارَ وَالنَّاقُوسَ فَذَكَرُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فَأُمِرَ بِلَالٌ
أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَأَنْ يُوتِرَ الْإِقَامَةَ
(BUKHARI -
568) : Telah menceritakan kepada kami 'Imran bin Maisarah telah menceritakan
kepada kami 'Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hadza' dari
Abu Qilabah dari Anas bin Malik berkata, "Orang-orang menyebut-nyebut
tentang api dan lonceng (dalam mengusulkan cara memanggil shalat). Lalu ada
juga di antara mereka yang mengusulkan seperti kebiasaan orang-orang Yahudi dan
Nahrani. Maka Bilal diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dengan dua kali
dua kali dan iqamat dengan bilangan ganjil."[4]
الحلال
ما احله الله و الحرام ما حرمه الله وما سكت عنه
فهو عفو ( حديث رواه ابو داود في كتاب الاطعمة باب ما لم يذكر تحريمه حديث رقم : 3800 و قال
الشيح الألباني : صحيح الأسناد )
“Sesuatu yang
halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah dan sesuatu yang haram apa-apa yang
diharamkan Allah, adapun sesuatu yang didiamkan-Nya adakah dimaafkan (HR Abu
Dawud kitab Al Ath’imah bab: Apa Saja yang Tidak Disebutkan Pengharamanya
hadist no : 3800 dan berkata As-Syeikh Al-Albani: shahih sanadnya)
Ucapan sahabat
Rasulullah saw., Abdullah bin Mas’ud berkata:
فَمَا
رَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَ مَا رَآه المُسْلِمُوْنَ
سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْءٌ
“Sesuatu yang
dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang
dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah buruk di sisi Allah.”
Ungkapan
Abdullah bin Mas’ud di atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasan baik yang
berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at
Islam, merupakan sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu,
kebiasaan semacam itu patut untuk dijaga dan dipelihara. Maksud dari kaidah
diatas ialah adat yang dapat digunakan atau dipertimbangkan dalam mengambil
suatu keputusan yang berkenaan dengan permasalahan yang terjadi yang menyangkut
hukum atau kebiasaan yang harus di ambil ialah adat yang sering digunakan dalam
setiap permasalahan untuk mengambil hukum yang dapat dipake dan itu kebiasaan
atau adat yang selalu digunakan. (pendapat saya)
C.
Contoh
Hukum yang
dapat berubah karena ‘urf ini dapat kita contohkan seperti pendapat Abu Hanifah
bahwa kesaksian sesorang yang dhahirnya tidak fasik dapat dijadikan saksi,
kecuali pada kasus hudud dan qisas. Akan tetapi, murid beliau Abu Yusuf
menyatakan bahwa kesaksian baru dapat diterima setelah melakukan penyelidikan
yang mendalam terhadap sifat-sifat saksi tersebut. Pendapat Imam Abu Hanifah
sejalan dengan masanya karena pada umumnya akhlak dan agama masyarakat masih
dipegang teguh dan terpelihara. Demikian pula halnya dengan pendapat Abu Yusuf
sesuai dengan kondisi pada masanya, di mana masyarakat pada umumnya mulai
mengalami kemerosotan agama dan akhlak.
Imam Ibnu
Taimiyah berkata : "Asal dari adat itu tidak di larang kecuali apa yang
dilarang oleh Allah"( Kitab Semua Bid'ah Sesat, hal: 42) Di kalangan ahli
syari’ah istilah populer tentang masalah adat ini, antara lain: al-'adatu muhakkamah.
Maknanya, bahwa sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat itu
bisa dijadikan dasar hukum.
Penyebutan Dan
Penetapan Gelar Bagi Yang Mengaku Pernah Haji Dengan Gelar “H” Bagi Lelaki Dan
“Hj” Bagi Wanita Termasuk dari kebiasaan masyarakat Indonesia, bila ada yang
sudah naik haji atau sudah mengaku telah haji maka mereka beramai-ramai
menyebutnya dengan “pak haji” atau “mama haji”, bahkan terkadang orang yang
merasa pernah haji dengan bangga menulis gelar “H” atau “Hj” pada awal namanya,
dan bahkan dia senang bila dipanggil dengan “pak haji” atau “mama haji”.
Para wanita
berdiam diri di rumahnyaTermasuk dari kebudayaan masyarakat Indonesia di zaman
dahulu adalah mereka sangat memperhatikan putri-putri mereka, para anak wanita
tidak dibiarkan berkeliaran, jika sudah malam maka mereka semuanya berada di
rumah mereka masing-masing.
Contohnya,
masyarakat Indonesia sudah saling mengenal sebuah kebiasaan dalam transaksi
jual beli di warung makan atau restaurant, umumnya orang Indonesia terbiasa
makan terlebih dahulu lalu selesai makan baru bayar. Akan tetapi berbeda halnya
ketika di Sudan, karena masyarakat Sudan
memiliki kebiasaan yang berlainan dengan adat orang Indonesia yaitu bayar dulu
baru makan. Begitu juga dalam prosesi pernikahan pada sebuah masyarakat
tertentu dibolehkan bagi pengantin pria untuk langsung membawa pulang pengantin
wanita walaupun maharnya masih hutang, tapi di daerah lain adat yang berlaku
kebalikan dari yang pertama.
Permasalahan
semacam ini tidak ada dasarnya bila dilihat dari nash Quran atau Sunnah,
melainkan didapat dari hasil pengamatan empiris pada kebiasaan yang terjadi
pada sebuah masyarakat dari daerah yang saling berbeda. Namun dalam
implementasinya, kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai hukum yang di atasnya
disandarkan hukum itu. Maka sebagai seorang muslim hendaknya kita tetap
mengutamakan syari’at Allah dan rosul-Nya di atas kepentingan-kepentingan
lainnya, sehingga jikalau kita telah mengetahui adanya sebuah kemungkaran pada
suatu hal, entah itu keyakinan yang mendasari pemikiran kita, ataupun adat yang
ada di sekitar kita, maka dengan mudah dan ringan kita bisa mengambil sikap
tegas dengan menyingkirkan semua itu dan menggantinya dengan yang lebih baik
yaitu syari’at islam. Dan hendaknya kita terus ber’azm (berkeinginan kuat)
serta mengoptimalkan segala sarana apalagi di zaman gadget seperti sekarang
ini, dalam rangka meningkatkan khazanah ilmu agama kita agar kita tidak
tersesat di jalan yang salah dan agar kita mengetahui hakikat kebenaran itu
sendiri, karena kalau bukan orang yang alim yang mengetahui hakikat diin ini
siapa lagi yang akan merubah segala kemungkaran tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar