Rabu, 06 Mei 2015

MAKALAH STRUKTUR PENGADILAN AGAMA



STRUKTUR PENGADILAN AGAMA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Peradilan Agama
Dosen:
Dr. H. Ramdhani Wahyu Sururi, M.Ag., M.Si
Hukum Pidana Islam/IV/A



Disusun Oleh:
Kelompok 7
Eneng Ratna Sari (1123060024)
Farhatun Hurriyah (1123060025)
Fitri Nurhalimah (1123060026)
Kausar Abidin (1123060042)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
 2013/2014

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puja dan Puji tetap atas pemilik Dzat Maha Abadi dan Maha Hakiki yang telah menjadikan hidup ini indah dan penuh berkah,bahagia dan penuh makna.Serta ucapan syukur yang tiada terhitung selalu kami tujukan dan kami utamakan kepada Allah SWT yang mana karena Rahman dan Rahim-Nya, penyusun diberikan kesehatan jasmani dan rohani, keberkahan masa dan usia sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Peradilan Agama “Peradilan Agama” ini. Karena tanpa semua itu mustahil maklah ini dapat di selesaikan dengan baik.
            Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah di Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung. Besar harapan kami hadirnya makalah ini di tengah-tengah pembaca dapat menambah pengetahuan dan pemahaman terhadap Peradilan Agama “Pengadilan Agama” khususnya sebagai salah satu bahasan pokok yang terdapat pada pokok bahasan Hukum Adat, dan apa yang di bahas dalam makalah ini merupakan salah satu bagian darinya.
           Tidak terkecuali kami ucapkan banyak terimakasih kepada dosen kami tercinta bidang studi Hukum Adat yang telah memberikan tugas mulia ini sebagai wahana untuk mengukur sejauh mana kemempuan dan pemahaman yang kami miliki.
           Akhirnya, kami mengambil istilah untuk makalah ini sesuai dengan kata pepatah bahwa “tiada gading yang tak retak”, itu berarti masih banyak kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca khuususnya dari dosen bidang studi terkait sangat kami harapkan sebagai bahan perbaikan di masa mendatang. Karena Kebenaran dan Kesempurnaan hanya Allah-lah Yang Maha Punya dan Maha Kuasa.

Bandung, April 2014


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                        i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii    
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................... 1
C.     Tujuan..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    SUSUNAN HIERARKI PERADILAN AGAMA...............................        3
B.     SUSUNAN ORGANISASI PENGADILAN AGAMA......................        5
1.      Syarat Pengangkatan Pemberhentian dan Sumpah Hakim............... 6
2.      Pengangkatan dan Pemberhentian Panitera/Sekretaris..................... 11
3.      Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penyumpahan Juru Sita Pengadilan Agama 13
4.      Syarat Pengangkatan, Pemberhentian dan Penyumpahan Wakil
Sekretaris Pengadilan Agama........................................................... 14
C.     SUSUNAN ORGANISASI PERADILAN PENGADILAN TINGGI AGAMA  15
1.      Syarat pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan hakim tinggi   15
2.      Syarat-syarat wail ketua Pengadilan Tinggi Agama                          17
3.      Syarat-syarat Pengangkatan, Pemberhentian dan Penyumpahan Ketua Pengadilan Tinggi Agama                    19
4.      Syarat pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera  pengadilan tinggi agama     19
5.      Syarat pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan wakil panitera pengadilan tinggi agama                                       20
6.      Syarat pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera muda pengadilan tinggi agama                                       21
7.      Syarat pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera pengganti pengadilan tinggi agama                             22
8.      Syarat pengangkat, pemberhentian dan penyumpahan wakil sekretaris pengadilan tinggi agama                    22
BAB III PENUTUP...........................................................................................
Kesimpulan......................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 25








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan peradilan yang berwenang menangani perkara perdata yang di adukan oleh masyarakat berkenaan dengan permasalahan yang dapat diselesaikan oleh Pengadilan Agama. Peradilan Agama terbagi menjadi 2 (dua), yaitu : Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama atau pengadilan tingkat pertama berada di wilayah Kabupaten dan Kotamadya,  sedangkan Pengadialan tinggi Agama atau Pengadilan tingkat banding/tingkat terakhir berada di lingkupan wilayah provinsi daerah. 
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang menjadi kewenangan dari pengadilan agama adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:  Perkawinan,  waris,  wasiat,  hibah,  wakaf,  zakat,  infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Sesuai penjelasan pasal 49 UU 3/2006, yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam” dalam pasal 49 adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Pengadilan Agama?
2.      Apa yang dimaksud dengan Pengadilan Tinggi Agama?
3.      Bagaimana susunan Organisasi Pengadilan Agama?
4.      Apa syarat-syarat Ketua/Wakil, Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di Pengadialan Agama?
5.      Apa Syarat-syarat Ketua/Wakil, Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita Pengadilan Tinggi Agama?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Pengadilan Agama.
2.      Untuk mengetahui apa itu pengadilan Tinggi Agama.
3.      Untuk mengetahui bagaimana susunan Organisasi Peradilan Agama.
4.      Mengetahuai dari syarat-syarat Ketua/Wakil, Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di Pengadialan Agama.
5.      Mengetahui Syarat-syarat Ketua/Wakil, Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita Pengadilan Tinggi Agama.

















BAB II
PEMBAHASAN

STRUKTUR PENGADILAN AGAMA
A.    SUSUNAN HIERARKI PERADILAN AGAMA
Susunan Hierarki Peradilan Agama secara instansional diatur dalam pasal 6. Menurut ketentuan pasal ini, secara instansional, lingkungan Peradilan Agama terdiri dari dua tingkat:
1.      Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama
2.      Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding
Makna Pengadilan Agama sebagai pengadilan toingkat pertama ialah pengadilan yang bertindak menerima, memeriksa, dan memutus setiap permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan Agma bertindak sebagai peradilan sehari-hari yang menampung pada tahap awal dan memutus atau mengadili segala perkara yang diajukan masyarakat pencari keadilan. Tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau gugatan langsung ke Pengadilan Tinggi Agama. Semua jenis perkara lebih dulu mesti melalui Pengadilan Agama dalam Kedudukan hierarki sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua permohonan atau gugat perkara yang diajukan kepadanya dalam memutusnya, dilarang menolak untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih apapun. Hal ini ditegaskan dalam pasal 56 yang berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.” [1]
Dari pengertian Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan terbawah yang bertindak sebagai pintu gerbang penerimaan, pemeriksaan, dan pemutusan setiap perkara. Perkara yang tidak lebih dulu diajukan ke Pengadilan Agama, tidak akan pernah mendapat penyelesaian. Tidak boleh langsung diajukan ke pengadilan yang lebih tinggi yakni Pengadilan Tinggi. Karena fungsi peradilan yang diberikan Undang-undang kepada Pengadilan Tinggi bukan sebagai Pengadilan tingkat pertama, tapi pengadilan tingkat banding.
Memang menurut pasal 6, di atas Pengadilan agama secara Hierarkis dan instansional ditempatkan Pengadilan Tinggi Agama yang berkedudukan sebagai pengadilan “tingkat banding”. Penagilan Tinggi agama bertindak dan berwenag “memeriksa ulang” suatu perkara yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan agama, apabila pihak yang berperkara mengajukan permintaan banding. Dengan kata lain, apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berperkara tidak puas terhadap putusan Pengadilan Agama, dapat mengajukan mengajukan permintaan banding terhadap putusan tersebut tersebut. Dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai pengadilan tingkat banding, Pengadilan Tinggi mengoreksi putusan Pengadilan Agama. Pengadialn Tinggi dalam tingkat banding dapat menguatkan (membenarkan) putusan Pengadilan Agama, jika putusannya itu dianggap sudah tepat. Bisa juga menguatkan tapi sekaligus memperbaiki amar atau pertimbangan yang kurang jelas. Atau hanya sekadar menambah pertimbangan yang kurang lengkap. Sebaliknya berwenang untuk membatalkan putusan Pengadilan Agama. Berbarengan dengan pembatalan itu Pengadilan Tinggi “mengadili sendiri” dengan amar putusan yang berlainan sama sekali dengan amar putusan Pengadilan Agama.
Putusan Pengadilan Agama dikaitkan dengan hierarki instamsional, disebut putusan Pengadilan “tingkat pertama”. Sedangkan putusan Pengadilan Tinggi Agama dalamn tingkat banding disebut putusan “tingkat terakhir”. Hal ini sesuai dengan penegasan pasal 10 ayat (3) UU No.14 Tahun 1970 dan pasal 29 UU NO.14 Tahun 1985 yang berbunyi: “Mahkamah Agung memutuskan permohonan kasasi terhadap pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan.”
Makna putusan Pengadilan Tinggi Agama sebagai putusan tingkat terakhir ialah pemeriksaan mengenai keadaan, fakta, pembuktian pokok perkara sudah selesai dan berakhir. Itu sebabnya pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding disebut peradilan judex facti. Tidak ada lagi instansi peradilan yang dapat menilai dan mengutak-utik hal-hal yang berkenaan dengan fakta dan pembuktian yang telah dinilai Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi, karena penilaian dan putusan tentang itu sudah berakhir dan final.
Mahkamah Agung berkedudukan sebagai peradilan “kasasi” yang kewenangannya terbatas dalam memeriksa dan memutus dalam hal-hal tertentu dan terbatas sesuai apa yang diatur dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1989.
Mengenai susunan Peradilan Agama secara “horizontal” berkedudukan pada setiap kotamadya atau ibukota kabupaten. Susunan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan pada setiap ibukota provinsi[2].

B.     SUSUNAN ORGANISASI PENGADILAN AGAMA
Susunan organisasi Pebgadilan Agama  sesuai dengan yang dikehendaki pada Bab II,
Bagian Pertama, Pasal 9 dan seterusnya dapat digambarkan sebagai berikut.
Description: Description: I:\Untitled-4.jpg
Untuk melengkapi pembahasan mengenai susunan Organisasi Pengadilan Agama, akan diuraikan hal-hal yang berkenaan dengan syarat pengangkatan, pemberhentian, dan pengambilan sumpah hakim, syarat pengangkatan serta pengambilan sumpah hakim dan wakil ketua, syarat pengangkatan pemberhentian sumpah wakil sekretaris, syarat pengangkatan panitera muda, panitera pengganti, dan juru sita.
1.      Syarat Pengangkatan Pemberhentian dan Sumpah Hakim
Sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 11 “Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.” Oleh karena itu, wajar apabila Undang-undang menentukan syarat penganagkatan, pemberhentian serta sumpah yang sesuai dengan jabatan tesebut.
1)      Syarat Pengangkatan Hakim
Mengenai syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat diangkat menjadi hakim di lingkungan Peradilan Agama diatur dalam pasal 13 UU No. 7 tahun 1989. Syarat kesarjanaan dilingkungan Peradilan Agama pada dasarnya ialah sarjana Syariah atau sarjana Hukum yang menguasai hukum Islam.
Syarat yang paling utama berbeda bagi hakim dilingkungan Peradilan Agama dibanding dengan lingkungan, adalah mutlak harus beragama Islam. Tentang syarat beragama Islam bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama, memang sebagian ada yang beranggapan bahwa syarat pengangkatan hakim ini mengandung cacat dikriminasi. Sebab dengan syarat tersebut, hukum menutup pintu bagi yang non-Islam untuk menjadi Hakim di Lingkungan Peradilan Agama. Padahal lingkungan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970, termasuk “Peradilan Negara”. Tetapi dalam konteks ini terdapat kekhususan yang dilekatkan Undang-undang. Peradilan Agama memiliki ciri dan bidang tertentu yang sangat berkaitan erat dengan faktor, yakni: faktor personalita ke-Islaman, dan faktor umum yang diterapkan (khusus hukum Islam).
2)      Pengangkatan Hakim
            Maksud pengangkatan hakim disini ialah berkenaan dengan tata cara dan instansi yang berwenang menetapkan pengangkatan Hakim di Pengadilan Agama. Mengenai hal ini di atur dalam pasal 15 UU No.7 Tahun 1989 yang sama bunyinya dengan ketentuan pasal 16 UU No.2 Tahun 1986. Dengan demikian pengangkatan Hakim di lingkungan Peradilan Agama sama persis dengan pengangkatan Hakim di lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara. Hal ini merupakan salah satu syarat tentang kesamaan derajat antara semua lingkungan peradilan sebagai peradilan Negara.
            Menurut Pasal 15 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989, Yang berwenang megangkat Hakim di lingkungan peradilan Agama ialah presiden selaku Kepala Negara.
3)      Pemberhentian Hakim
           Mengenai pemberhentian Hakim, Sama prosedurnya dengan pengangkatan hakim. Pemberhentian dilakukan presiden selaku kepala negara  atas ‘usul’ mentri agama berdasar ‘persetujuan’ ketua mahkamah agung, sebagaimana yang di tegaskan pasal 15 Ayat 1 UU No.7 Tahun 1989
            UU mengenai dua jenis pemberhentian. Setiap jenis pemberhentian di dasarkan atas alasan-alasan tertentu yakni pemberhtian dengan ‘hormat’ dan ‘pemberhentian tidak hormat’
a.      Pemberhentian dengan Hormat
Pemberhentian dengan hormat di atur dalam pasal 18 UU No.7 Tahun 1989 yang sama bunyinya dengan pasal 19 UU No 2 Tahun 1986 dan pasal 19 UU No.5 Tahun 1986. Dengan demikian alasan yang mendasari pemberhentian hakim untuk lingkungan Peradilan Agama serupa dengan alasan yang di tentukan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara
Alasan pemberhentian hakim dengan hormat dari jabatanya :
a)      Permintaan sendiri
b)      Sakit jasmani atau rohani terus menerus
c)      Telah berumur emam puluh tahun bagi hakim pengadilan agama dan 63 tahun bagi hakim    tinggi agama
d)     Tidak cakap dalam menjalankan tugas

b.      Pemberhentian Tidak dengan Hormat
            Pemberhentian tidak dengan hormat di atur dalam pasal 19 UU No.7 tahun 1989 alasan-alasan pemberhentian tidak dengan hormat yang ditentukan dalam pasal ini sama dengan alasan yang di atur dalam pasal 20 UU No.2 tahun 1986 dan pasal 20 UU No.5 tahun 1986 atau sama dengan pasal 12 UU No 14 tahun 1985 sehingga ketentuan mengenai alasan pemberhentian terdapat keseragaman menyeluruh atara semua lingkungan peradilan, termasuk Hakim agung pada Mahkamah Agung alasan pemberhentian tidak dengan hormat :
a)      Di pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan.
b)      Melakukan perbuatan tercela
c)      Terus menerus menjalankan tugas pekerjaannya.
d)     Melanggar sumpah jabatan
e)      Melanggar larangan rangkap yang ditentukan pasal 17.
Mengenai tata cara pemberhentian tidak dengan hormat di atur dalam pasal 19 ayat 2 di tegaskan  suatu prinsip yang tidak boleh di langkahi. Prinsip nya: “diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri”, pembelaan diri dilakukan di hadapan majelis kehormatan hakim. Jadi proses pemberhentian seorang hakim tidak dengan hormat :
a)      Diberi kesempatan secukupnya lebih dulu membela diri
b)      Pembelaan diri di lakukan di hadapan hakim.
c)      Baru setelah itu boleh di ajukan usul kepada presiden oleh menteri agama berdasar   persetujuan ketua makamah agung.
Namun menurut penjelasan pasal 19 ayat 2, kesempatan pembelaan diridalam pemberhentian tidak dengan hormat hanya terbatas  atas alasan yang disebut pada b,c,d, dan e. Terhadap pemberhentian tidak dengan hormat atas alasan dipadana karena melakukan tindak pidana kejahatan, tidak di beri kesepatan untuk membela diri, kecuali apabila pidana penjara yang di jatuhkan kepadanya kurang dari tiga bulan.
            Bertitik tolak dari ketentuan yang di gariskan dalam penjelasan pasal 19 ayat 2 ini setiap pemidanaan yang di jatuhkan kepada hakim dapat dijadikan alasan pemberhentian dengan tidak hormat. Hanya kalau pidana nya tiga bulan ke atas, pemberhentian dilakukan tanpa diberi kesempatan membela diri di hadapan majelis kehormatan Hakim. Tapi kalau hukuman pidana yang dikenakan kurang tiga bulan, pemberhentian tidak dengan hormat di dahului dengan memberi kesempatan membela diri secukupnya. Dengan begitu, tidak benar apa yang di rumuskan dalam penjelasan pasal 19 ayat 1 alinea pertama.
            Disamping pemberhentian tidak dengan hormat secaara “permanen”, pasal 21 ayat 1, memberi kemungkinan untuk memberhentikan “sementara” dari jabatan Hakim, prosedur pemberhentian sementara dari jabatan Hakim samadengan pemberhentian tidak dengan hormat secara permanen. Pengusulan pemberhentian sementara baru dapat diajukan Menteri Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung kepada presiden, setelah lebih dulu di beri kesempatan secukupnya membela diri dihadapan majelis kehormatan Hakim. Alternatif pemberhentian sementara sangat efektif untuk meningkatikan dedikasi dan prestasi Hakim. Terutama bagi Hakim yang sering melakukan kelalayan, layak diberi kesempatan untuk memperbaiki sikap dan integritas melalui tindakan pemberhentian sementara. Tidak langsung di berhentikan tidak dengan hormat.
4)      Pengambilan Sumpah Hakim
            Sebelum seorang Hakim menjalankan fungsi jabatan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman “wajib” lebih dulu mengucapkan kata sumpah menurut agama islam. Lafal sumpah jabatan di rumuskan dalam pasal  16 yang berbunyi :
“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapaun juga”
5)      Larangan Rangkap
            Menurut pasal 17,hakim tidak boleh merangkap menjadi:
a)      Pelaksana putusan pengadilan
b)      Wali pengampu,dan jabatan yang berkaitan dengan suatu perkara yang di periksa
c)      Pengusaha
d)     Tidak boleh merangap menjdi penasihat hukum

6)      Penangkapan dan Penahanan Hakim
            Hakim sebagai pejabat penegak hukum bukan manusia kebal hukum oleh karena itu, apabila seorang Hakim melakukan tindak  pidana, kepadanya dapat dilakukan tindakan upaya paksa berupa “penangkapan” atau “penahanan” sebagaimana yang di atur dalam pasal 19 dan pasal 21 KUHAP. Hanya prosedur yang agak berbeda dengan upaya paksa yang dilakuan terhadap orang lain.
            Menurut pasal 25, pada prinsipnya penangkapan atau penahanan seorang hakim memerlukan formalitas khusus atau persyaratan khusus berupa :
a)      Harus berdasar perintah jaksa agung
b)      setelah lebih dulu mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan Mentri Agama.
            Itulah prinsip umum prosedur penangkapan atau penahanan seorang Hakim, kecuali dalam hal-hal tertentu prinsip tersebut tidak berlaku ialah tatacara upaya paksa sebagai mana hal yang berlaku untuk setiap orang. Berarti dalam hal-hal tertentu penangkapan atau penahanan dapat dilakukan berdasar perintah pejabat penyidik polri tanpa persetujuan mahkamah agung dan mentri agama. Apabila Hakim yang bersangkutan:
a)      Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan,atau
b)      Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang di ancam dengan pidana mati,atau
c)      Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
7)      Syarat Pengangkatan, Pemberhentian dan Penyumpahan Ketua dan Wakil Ketua  Pengadilan Agama
a.      Syarat Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan
            Menurut pasal 13 ayat 2, seorang Hakim Pengadilan Agama harus di anggap memenuhi syarat untuk di angkat menjabat sebagai ketua atau Wakil ketua sekurang-kurangnya sudah berpengalaman paling tidak sepuluh tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama. Ketentuan ini seragam baik untuk lingkungan peradilan umum dan Tatausaha Negara seperti yang di atur dalam pasal 14 ayat 2 UU No.2 Tahun 1986 dan pasal 14 ayat 2 UU No.5 Tahun 1986.
b.      Pengangkatan ketua dan wakil ketua
Pejabat yang berwenang mengangkat hakim menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan  agama ialah: Menteri Agama dan berdasar persetujuan ketua Mahkamah Agung
c.       Pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
            Sejalan dengan pengangkatan seperti yang di atur dalam pasal 15 ayat 2 yakni :
a)      Di berhentikan oleh mentri agama 
b)      Dasar persetujuan ketua mahkamah agung.

d.      Pengambilan Sumpah ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
Di atur dalam pasal 16 ayat 2 dan 3:
a)      Pengambilan sumpah wakil ketua yang di lakukan ketua pengadilan Agama.
b)      Pengadilan sumpah ketua pengadilan agama dilakukan oleh ketua pengadilan tinggi agama

8)      Syarat pengangkatan, pemberhentian, dan sumpah panitera Pengadilan Agama
            Sebagaimana yang terlihat pada bagian organisasi pengadilan agama, salah satu aparat yang secara struktural berada di bawah unsur pimpinan (ketua dan wakil ketua) ialah panitera yang sekaligus merangkap sebagai sekretaris Pengadilan Agama, sebagaimana yang di tentukan pasal 26 ayat 1 jo. Pasal 44 dalam kedudukan rangkap sebagai panitera dan sekertaris, dia bertindak memimpin bagian kepaniteraan dan kesekertarisan. Dalam melaksanakan tugas kepaniteraan dibantu oleh seorang panitera muda, beberapa orang pengganti, dan beberapa juru sita. Sedang dalam melaksanakan tugas kesekertarisan, panitera dibantu oleh seorang wakil sekertaris.
Syarat-syarat panitera/sekretaris:
1)      Warga Negara Indonesia
2)      Beragama Islam
3)      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
4)      Setia kepada pancasila dan UUD 1945
5)      Berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum islam
6)      Berpengalaman sekurang-kurangnya 4 tahun sebagai wakil panitera atau 7 tahun sebagai panitera muda pangadilan agama atau menjabat Wakil panitera pengadilan tinggi agama.

2.      Pengangkatan dan Pemberhentian Panitera/Sekretaris
Di atur dalam pasal 26 Pengangkatan dan pemberhentian hakim di lakukan oleh Menetri Agama. Dalam pasal 26 terdapat tambahan aturan yang memberi hak kepada ketua pengadilan agama untuk mengusulkan  calon kepada Mentri Agama untuk di angkat sebagai panitera. Akan tetapi tampaknya sifat pengusulan “Tidak mengikat” Mentri Agama. Pengangkatan panitera oleh Mentri Agama dapat dilakukan berdasar usul ketua PA. Jadi, bukan berdasar usul, tapi dapat berdasar usul ketua PA.
Pengambilan Sumpah Panitera/Sekretaris
Di sumpah menurut agama islam oleh ketua Pengadilan Agama bunyu sumpah selengkapnya dirumuskan dalam pasal 37.
9)      Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Sumpah Wakil Panitera Pengadilan Agama
Mengenai syarat pengangkatan, pemberhentian dan pengambilan sumpah wakil panitera sama dengan ketentuan yang berlaku untuk panitera kecuali tentang syarat huruf f, seperti yang sudah di jelasan syarat-syarat yang harus di penuhi calon panitera di atur dalam pasal 27 yang terdiri dari a, b, c, d, e dan f. Semua syarat ini berlaku bagi pengangkatan wakil panitera kecuali syarat yang di sebut dalam huruf f. Demikian pengesahan pasal 29 huruf a sebagai penggatisyarat tersebut, huruf b menentukan untuk dapat diangkat menjadi Wakil panitera, disamping memenuhi syarat-syarat huruf a, b, c, d dan e pasal 27:
a)      Berpengalaman sekurang-kurang nya 4 tahun sebagai panitera muda
b)      Atau berpengalaman sekurang-kurangnya 6 tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama
            Tentang penangkapan dan pemberhentian sama dengan panitera pengadilan agama, diangkat dan di berhentikan oleh mentri agama atas usul atau tanpa susul ketua pengadilan Agama  juga pengambilan sumpah sama, dilakukan oleh ketua Pengadilan Agama sesuai dengan bunyi sumpah yang dirumuskan dalam pasal 37.
10)  Syarat pengangatan, Pemberhentian, dan Penyumpahan Panitera Muda Pengadilan Agama
            Syarat-syarat pengangkatan, pemberhentian dan penyumpahan panitera muda PA sama dengan ketentuan yang berlaku kepada panitera dan wakil panitera. Pengalaman kerja yang harus di penuhi agar dapat di angkat sebagai panitera muda pengadilan agama sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai panitera pengganti bisa di lihat dalam( pasal 30, jo.27 pasal 37).
11)  Syarat Pengangkatan, Pemberhentian dan Penyumpahan Panitera Pengganti Pengadilan Agama
            Mengenai pengangkatan panitera pengganti Pengadilan Agama di atur dalam pasal 33. Semua persyaratan, pengangkatan, pemberhentian panitera pengganti sama dengan ketentuan yang berlaku bagi panitera, wakil panitera dan panitera muda, perbedaan terleta pada pengalaman kerja. Agar dapat di angkat jadi panitera pengganti di Pengadilan Agama, sekurang-kurang nya mempunyai pengalaman kerja paling tidak 5 tahun sebagai pegawai negri pada Pengadilan Agama.
            Memperhatikan Syarat-syarat yang harus di penuhi panitera muda dan panitera pengganti terutama mengenai syarat pendidian yang di tentuan dalam pasal 27 huruf e, yakni paling rendah berijazah sarjana muda syari’ah atau sarjana muda hukum.
3.      Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penyumpahan Juru Sita Pengadilan Agama
            Pada bab II, bagian kedua, paragraf 3 UU Tahun 1989, di atur mengenai kedudukan juru sita pengganti. Penetapan petugas juru sita di pengadilan agama merupakan hal baru. Sejak dari dulu sampai saat undang-undang ini diundangkan, pengadilan Pengadilan Agama tidak mengenal juru sita. Ketidak adaan juru sita, merupakan salah satu dalih yang menyebabkan Pengadilan Agama tidak dapat melaksanakan eksekusi, sehingga eksekusi atas putusannya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
Syarat juru sita pengganti
Ketentuan mengenai syarat-syarat juru sita di atur dalam pasal 39 UU No. 7 Tahun 1989. Ketentuan pasal ini sama dengan apa yang di atur dalam pasal UU No. 7 Tahun 1989.
1)      Warga negara indonesia
2)      Beragama Islam
3)      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
4)      Setia kepada pancasila dan UU 1945
5)      Berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas
6)      Berpengalaman seurang-kurangnya 5 Tahun sebagai juru sita pengganti
Syarat-syarat yang di tentukan untuk juru sitasama dengan persyaratan pengangkatan juru sita pengganti perbedaan harus terletak pada masalah pengalaman Kerja.Jika untuk juru sita syarat pengalaman kerja minimal 5 tahun menjadi juru sita pengganti maka untu juru sita pengganti syarat pengalaman kerja minimal 5 tahun sebagai pegawai negri pada Pengadilan Agama.
Pengangkatan dan Pemberhentian Juru Sita dan Juru Sita Pengganti diatur dalam Pasal 40
a)      Juru sita di angkat dan di berhentikan Mentri Agama atas usul ketua Pengadilan Agama
b)      Juru sita di angkat dan di berhentikan oleh ketua Pengadilan Agama
Pengambilan sumpah juru sita dan juru sita pengganti
Menurut pasal 41, sebelum memangku jabatan, juru sita dan juru sita pengganti di ambil sumpah menurut agama Islam oleh ketua pengadilan Agama. Bunyi rumusan sumpahnya di cantumkan selengkapnya dalam pasal 41.
4.      Syarat Pengangkatan, Pemberhentian dan Penyumpahan Wakil Sekretaris Pengadilan Agama
            Sebagaimana sudah disinggung dalam menjalankan tugas kepaniteraan dan kesekretarisan,panitera di bantu oleh Wakil panitera dan seorang Wakil Sekretaris. Menurut pasal 26 ayat (1) jo. Pasal 41, pada diri panitera sekaligus merangkap jabatan sekretaris. Maka untuk melaksanakan tugas bidang kesekretaritan panitera yang merangkap seretaris tersebut dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Syarat-syarat dan wakil sekretaris
persyaratan pengangkatan wakil sekretaris pengadilan Agama di atur dalam pasal 45,yang terdiri dari
a)      Warga negara Indonesia
b)      beraga islam
c)      bertawa kepada Tuhan Yang Maha Esa
d)     setia kepada pancasila dan UUD 1945
e)      Berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari’ah, atau sarjana muda hukum yang menguasai hukum islam atau sarjana muda administrasi
f)       berpengalaman di bidang administrasi peradilan
Pengangkatan dan pemberhentian wakil sekretaris
Pengangkatan dan pemberhentian Wakil sekretaris pengadilan Agama menurut pasal 45, dilakukan oleh Mentri Agama.

Pengambilan sumpah Wakil sekretaris
Sebelum memangku jabatan sebagai Wakil sekretaris pengadilan agama, harus lebih dulu mengucapkan sumpah,. Pengambilan sumpah dilaukan ketua pengadilan Agama.Dan bunyi rumusan sumpahnya, dicantumkan dalam pasal 48.


C.    SUSUNAN ORGANISASI PERADILAN PENGADILAN TINGGI AGAMA
            Mengenai susunan organisasi pengadilan tinggi Agama sama dengan susunan organisasi Pengadilan Agama. Perbedaanya hanya terletak pada bidang juru sita. Jika pada susunan organisasi Pengadilan Agama terdapat sub bagian juru sita yang ditetapkan pada bagian struktur fungsional kepaniteraan Pengadilan Tinggi. Hal ini memang logis. Di tinjau dari segi kedudukan hierarki pengadilan Tinggi secara instansional adalah peradilan tingkat banding, tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan tindakan pemanggilan, pemberitahuan penyitaan, dan eksekusi.  Sedang fungsi juru sita adalah tugas-tugas pelayanan mengambil, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.
            Yang bertindak sebagai pimpinan pada Pengadilan tinggi Agama sama dengan pimpinan pada pengadilan agama. Dimana pimpinan dilakukan oleh ketua dan Wail ketua.
            Dalam melaksanakan fungsi dan kewenngan peradilan, ketua dan wakil ketua di bantu oleh jajaran pejabat fungsional yang terdiri dari para hakim tinggi, panitera,wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti. Sedang untuk mendukung kelancaran organisasi pengadilan Tinggi secara umum, ketua dan wakil ketua dibantu oleh pejabat struktural yang dipimpin oleh seorang Wakil sekretaris. Di bawah ini akan di sampaikan berturut-turut syarat-syarat pengangkatan,pemberhentian, dan penyumpahan ketua, wakil ketua, Hakim tinggi, panitera, sekretara muda, panitera pengganti, dan wakil sekretaris Pengadilan Tinggi Agama.
1.      Syarat Pengangkatan, Pemberhentian, dan penyumpahan Hakim Tinggi
Yang dimaksud dengan Hakim Tinggi menurut pasal 10 ayat (3) adalah Hakim anggota pada pengadilan Tinggi Agama. Berapa banyak jumlah Hakim Tinggi pada setiap pengadilan tinggi Agama,tidak ditentukan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Secara realistik jumlah Hakim Tinggi yang ideal pada setiap pengadilan Tinggi Agama lebih tepat di dasarkan pada patokan volume perkara. Pada pengadilan Tinggi Agama yang besar jumlah volume perkara, wajar untuk menempatkan Hakim Tinggi yang sebanding dengan jumlah perkara.
Menurut pengamatan dan pengalaman, terdapat perbedaan jumlah volume perkara banding antara satu pengadilan Tinggi Agama yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu tidak rasional dan tidak realistik untuk menempatkan Hakim Tinggi yang sama jumlah nya pada setiap Pengadilan Tinggi Agama.
a.      Syarat-Syarat Hakim Tinggi
Persyaratan seorang Hakim untuk dapat diangat menjadi Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama, diatur dalam pasal 14 ayat (1) jo. Pasal 13 ayat (1) yang terdiri dari:
a)      Warga Negara Indonesia
b)      Beragama Islam
c)      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
d)     Setia kepada Pancasila dan UU 1945
e)      Bukan bekas anggota organisasi terlarang partai komunis indonesia termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam gerakan G-30 S/PKI, atau organisasi terlarang lainya.
f)       Pegawai Negri
g)      Berumur serendah-rendahnya 40 tahun
h)      Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
i)        Berpengalaman sekurang-urangnya 15 tahun sebagai Hakim pengadilan Tinggi Agama

b.      Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Tinggi
Mengenai pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan Hakim Tinggi ,berlaku sepenuhnya ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Hakim yang di atur dalam pasal 15. Dengan demikian pengangkatan dan pemberhentianya :
a)      dilakukan oleh Pesiden selaku Kepala Negara
b)      atas usul Mentri Agama dan
c)      berdasar persetujuan ketua Mahkamah Agung
Begitu juga mengenai pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian tidak hormat, berlaku ketentuan umum yang di atur dalam pasal 18 dan 19
Pemberhentian dengan hormat dilakukan presiden selaku Kepala Negara atas usul Mentri Agama berdasar persetujuan Mahkamah Agung atas alasan :
a)      permintaan sendiri
b)      sakit jasmani atau rohani terus menerus
c)      telah berumur 63 tahun
d)     ternyata tidak caap dalam menjalankan tugas
e)      meninggal dunia dalam masa jabatan Hakim Tinggi.
Perbedaan alasan pemberhentian dengan hormat antara Hakim Pengadilan Agama dengan Hakim Tinggi, Hanya terletak pada batas umur. Hakim Pengadilan Negeri menjalani masa pensiun pada umur 60 Tahun, sedang Hakim Tinggi 63 Tahun.
Pemberhentian tidak dengan hormat dilakukan Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mentri Agama berdasar persetujuan Ketua Mahkamah Agung atas alasan :
a)      dipidana karena bersalah melakuan tindak pidana kejahatan
b)      melakukan perbuatan tercela
c)      terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaan
d)     melanggar sumpah jabatan
e)      melanggar larangan rangkap yang ditetapkan pasal 17[3].

c.       Pengambilan Sumpah Hakim Tinggi
Sebelum seorang Hakim mengaku jabatan sebagai Hakim Tinggi wajib mengucapkan sumpah menurut agama islam. Pengambilan sumpah Hakim Tinggi dilakukan oleh ketua Pengadilan Agama sesuai dengan bunyi sumpah yang di cantumkan dalam pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (2).
2.      Syarat-syarat wail ketua Pengadilan Tinggi Agama
Syarat pengangkatan Wail Ketua Pengadilan Tinggi Agama, disamping harus memenuhi persyaratan umum yang diatur dalam pasal 13 ditambah dengan persyaratan yang di sebut pasal 14 huruf b, yakni harus berusia paling rendah 40 tahun, juga di tambah lagi dengan persyaratan pengalaman kerja yang di tentukan dalam pasal 14 ayat 3 yakni sekurang-kurangnya sudah bertigas :
a)      paling tidak 8 tahun sebagai hakim tinggi pada pengadilan Tinggi Agama bagi yang blum pernah menjabat ketua Pengadilan Agama, atau
b)      paling tidak 3 tahun sebagai hakim tinggi yang pernah menjabat ketua Pengadilan Agama
Pada persyaratan pengalaman kerja yang ditentukan dalam pasal 14 ayat (3) fakta pengalaman sebagai Ketua Pengadilan Agama lebih mempersingkat jenjang karir untuk menjabat Wakil Ketua pengadilan Tinggi Agama. Bagi Hakim Tinggi yang tidak pernah berpengalaman sebagai Ketua Pengadilan Agama, paling tidak 8 tahun menjabat sebagai hakim tinggi baru terbuka kesempatan untuk di usulkan menjadi wakil ketua pengadilan Tinggi Agama. Tapi bagi haim yang telah berpengalaman menjabat Ketua pengadilan Agama, kesempatan untuk di usulkan menjabat Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama dipersingat menjadi 3 tahun.
Pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan Wakil Ketua Pengadilan Agama
Harus di bedakan pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan hakim dengan pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan Wakil Ketua .Pengangkatan dan pemberhentian jababatan Hakim berlaku Umum untuk semua Hakim tanpa kecuali dan tanpa mempersoalkan apakah dia ketua atau Wakil Ketua. Hal itulan yang di atur dalam pasal 15 ayat (1) . Sedang pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan Wakil Ketua atau Ketua, adalah permasalahan khusus yang menyangkut pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan atau pimpinan pengadilan. Hal ini di atur dalam pasal 15 ayat (2). Menurut pasal ini, pengangkatan dalam pemberhentian dilakukan :
a)      Mentri Agama
b)      berdasar persetujuan Ketua Mahkamah Agung
Pengambilan sumpah Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama
Menurut pasal 16 ayat (3) yang bertinda mengambil sumpah Wakil ketua Pengadilan Tinggi Agama adalah Ketua Pengadilan Tinggi Agama adalah Ketua Pengadilan Agama dengan bunyi sumpah yang di cantumkan dalam pasal 16 ayat (1).
3.      Syarat-syarat Pengangatan, Pemberhentian dan Penyumpahan Ketua Pengadilan Tinggi Agama
Syarat-syarat ketua Pengadilan Tinggi Agama
Hal-hal yang mengenai aturan persyaratan yang di tentukan bagi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama sama dengan apa yang di perlukan bagi Ketua Pengadilan Tinggi Agama. Perbedaan hanya terletak pada faktor masa pengalaman kerja.
            Menurut ketentuan pasal 14 ayat (2), persyaratan pengalaman kerja agar dapat diusulkan menduduki jabatan Ketua Pengadilan Tinggi Agama :
a)      sekurang-kurangnya 10 tahun sebagai Haim Tinggi pada Pengadilan Tinggi  Agama bagi yang sebelumnya tidak pernah menduduki jabatan Ketua Pengadilan Agama atau
b)      sekurang-kurang nya 5 tahun sebagai Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama  bagi mereka yang telah pernah menjabat Ketua Pengadilan Agama.
Pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan ketua pengadilan
Pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan ketua pengadilan tinggi agama, diatur dalam pasal 15 ayat 2 (Yakni):
a)      dingangkat dan diberhentikan menteri agama;
b)      berdasarkan persetujuan ketua mahkhamah agung.
Pengambilan sumpah ketua pengadilan tinggi agama
Berdasarkan  ketentuan pasal 16 ayat(3), pengambilan sumpah ketua Pengadilan Tinggi agama dilakukan oleh ketua Mahkamah Agung sesuai dengan bunyi sumpah yang tercantum dalam pasal 16 ayat (1).
4.      Syarat pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera  pengadilan tinggi agama
a.      Syarat-syarat panitera pengadilan tinggi agama
Mengenai persyaratan panitera pengadilan tinggi agama diatur  dalam pasal 27 jo. pasal 28 yang terdiri dari:
a)      Warga negara indonesia;
b)      Beragama islam
c)      Bertakwa kepada Tuhan yang maha esa;
d)     Setia kepada pancasila dan UUD 1945
e)      Berijasah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai  hukum islam;
f)       Berpengalaman sekurang-kurangnya: 4 tahun sebagai wakil panitera pengadilan tinggi agama, atau 8 tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 4 tahun sebagai panitera pengadilan agama.

b.      pengangkatan dan pemberhentian jabatan panitera Pengadilan Tinggi Agama
Menurut pasal 36 panitera pengadilan tinggi agama diangkat dan di berhentikan menteri agama.pengangkatan dan pemberhentian menurut pasal 36, dapat dilakukan menteri agama berdasar usul ketua pengadilan tinggi agama.
c.       Pengambilan sumpah panitera Pengadilan Tinggi Agama
Menurut pasal 37, pengambilan sumpah panitera pengadilan tinggi agama dilakukan ketua pengadilan tinggi agama sesuai dengan bunyi rumusan sumpah yang di cantumkan dalam pasal 37.
d.      Larangan Rangkap
Pasal 35 mengatur larangan rangkap bagi panitera pengadilan tinggi agama yang terdiri dari:
a)      tidak boleh merangkap menjadi wali
b)      pengampun
c)      merangkap sebagi pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai panitera;
d)     tidak boleh merangkap sebagai penasihat hukum.
5.      Syarat pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan wakil panitera pengadilan tinggi agama
a.      syarat-syarat wakil panitera
Persyaratan yang harus di penuhi agar dapat diangkat sebagai wakil panitera pengadilan tinggi agama sama dengan syarat-syarat panitera seperti yang diatur pasal 27 jo. pasal 30,kecuali mengenai syarat pengalaman kerja. Bagi calon wakil panitera, persyaratan pengalaman masa kerja di tentukan dalam pasal 30 huruf c:
a)      berpengalaman sekurang-kurangnya 4 tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau
b)      sekurang-kurangnya 7 tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi agama, atau
c)      paling tidak 4 tahun menjabat sebagai wakil panitera pengadilan agama.




b.      pengangkatan dan pemberhentian wakil panitera
Pengangkatan dan pemberhentian wakil panitera pengadilan tinggi agama sama ketentuannnya dengan apa yang di perlukan kepada panitera pengadilan tinggi agama sebagai mana yang di atur dalam pasal 36. sama sama di angkat dan di berhentikan menteri agama boleh atas usul atau tampa usul ketua pengadilan tinggi agama sesuai dengan penjelasan pasal 36.
c.       pengambilan sumpah wakil panitera
Pengambilan sumpah wakil panitera pengadilan tinggi agama dilakukan oleh etua pengadilan tinggi agama sesuai dengan bunyi sumpah yang tercantum pasal 37.
6.      Syarat pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera muda pengadilan tinggi agama
a.      syarat-syarat panitera muda
persyaratan untuk dapat diangkat sebagaipanitera muda pengadilan tinggi agama sama dengan syarat yang di tentukan pasal 27, terkecuali mengenai syarat huruf f. syarat huruf f tersebut diubah menjadi seperti yang ditentukan dalam pasal 32 huruf b yakni;
a)      berpengalaman sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi agama atau
b)      4 tahun sebagai panitera pengadilan agama,atau
c)      8 tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama, atau
d)     sedang menjabat wakil panitera pengadilan agama.

b.      pengangkatan dan pemberhentian panitera muda
Proses pengangkatan dan pe,mberhentian panitera muda pengadilan tinggi agama sama dengan panitera dan wakil panitera pengadilan tinggi agama. Diangkat dan di berhentikan menteri agama baik atas usul atau tanpa usul ketua pengadilan tinggi agama. sebagi yang di atur dalam pasal 36 jo. Penjelasan pasal 36.
c.       penganbilan sumpah panitera muda
Mengenai hal ini pun sama aturanya dengan yang diperlakukan kepada panitera dan wakil pengadilan tinggi agama, sama-sama merujuk pada ketentuan pasal 37 yakni pengabilan sumpah dilakukan ketua pengadialn tinggi agama sesuai dengan bunyi rumusan sumpah yang tercantum dalam pasal 37 tersebut.
7.      Syarat pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera pengganti pengadilan tinggi agama
a.      Syarat-syarat panitera pengganti
syarat-syarat panitera pengganti pengadilan agama, sama dengan syarat yang ditentukan dalam pasal 27, kecuali mengenai syarat huruf f diubah oleh pasal 34 b, sehingga syarat pengalaman kerja yang mencukupi untuk diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tinggi agama menjadi;
a)      sekurang-kurangnya berpengalaman 5 tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama, atau
b)      sekurang-kurangnya 10 tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tinggi agama.

b.      pengangkatan dan pemberhentian panitera pengganti
Untuk menentukan cara dan penjabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan panitera pengganti pengadilan agama, kembali merujuk kepada ketentuan pasal 36 dan penjelasan pasal tersebut yakni pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan menteri agama boleh atas usul atau tanpa usul ketua pengadilan tinggi agama.
c.       Pengambilan sumpah panitera pengganti
Sesuai dengan ketentuan pasal 37, pengambilan sumpah panitera pengganti pengadilan tinggi agama,dilakukan oleh ketua pengadilan tinggi agama sesuai dengan bunyi rumusan sumpah yang tercantum dalam pasal 37.
8.      Syarat pengangkat, pemberhentian dan penyumpahan wakil sekretaris pengadilan tinggi agama
a.      Syarat wakil sekretaris pengadilan tinggi agama
Mengenai syarat-syarat yang di penuhi seseorang agar bisa di angkat menjadi wakil sekretaris pengadilan tinggi agama diatur dalam pasal 45 dan pasal 46 yang terdiri dari;
a)      warga negara indonesia
b)      beragama islam;
c)      bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d)     setia kepada pancasilan dan UUD 1945;
e)      berijazah sarjana syari’ah atau sarjana Hukum yang menguasai hukum islam.
f)       berpengalaman di bidang administrasi peradilan.

b.      Pengangkatan dan pemberhentian wakil seretaris
            Pengangkatan dan pemberhentian wakil sekretaris pengadilan tinggi agama sama dengan pengangkatan dan pemberhentian wkil sekretaris pengadilan Agama sebagai mana yang di atur dalam pasal 47.jo penjelasan pasal 47 tersebut yakni di angkat dan di berhentikan mentri agama.
c.       Pengambilan sumpah wakil sekretaris
            Pengambilan sumpah wakil sekretaris Pengadilan Tinggi di atur dalam pasal 48. Sama dengan pengaturan pengambilan wakil sekretaris pengadilan Agama, dalam hal ini, pengambilan sumpah dilakukan oleh ketua pengadilan tinggi agama dengan bunyi sumpah yang tercantum dalam pasal 48 itu sendiri.












BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengadilan Agama di Indonesia merupakan pengadilan yang mengadili perkara-perkara yang berhubungan dengan Perdata dalam Islam saja, dalam Pengadilan Agama perkara yang berhubungan dengan perdata islam dapat di selesaikan melalui Peradilan Agama tingkat Kabupaten/Kota, yang merupakan pengadilan tingkat pertama pada proses menangani permasalahan dan pemutusan perkara yang di ajukan oleh pihak yang berperkara. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama yang pada persidangannya merupakan pengadilan banding, dalam hal ini terperkara dapat mengajukan banding setelah putusan dari pengadilan Agama, dan putusan itu tidak merasa sesuai dengan apa yang diinginkan maka terperkara boleh mengajukan banding ke pengadilan tinggi Agama Untuk mendapatkan keadilan yang sepadan.
Pengadilan yang didalamnya terdapat ketua dan wakilnya serta di ikuti dengan anggota-anggota yang oleh Mentri Agama di tunjuk untuk menjabat sebagai bidang yang telah ada didalam pengadilan Agama, pungsi ketua dan wakil ketua merupakan penanggung jawab daripada pengadialan, sedangkan untuk hakim yang memutuskan perkara mempunyai kebebasan dalam hal putusan yang dipersidangkannya dan tetap merujuk atau berpegang pada Syari’at Islam dan Undang-undang yang berlaku di indonesia.
Untuk menjadi seorang ketua dan wakilnya, Hakim, Panitera, sekretaris, dan juru sita mempunyai syarat berlaku untuk semua yang berada dilingkungan Peradilan Agama maupun Pengadilan Tinggi Agama. Dan pengangkatannya melalui mentri Agama, sebaliknya pemberhentiannya juga oleh mentri Agama yang di ajukan oleh pengadilan Tinggi Agama kepada mentri Agama.
Pengambilan sumpah untuk hakim di laksanakan oleh ketua Pengadialan Agama untuk hakim pengadilan Agama dan hakim pengadilan tinggi Agama di sumpah oleh ketua Pengadialan Tinggi Agama.


DAFTAR PUSTAKA
M. Yahya Harahap. 2007. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Sinar Grafika : Jakarta.
Sodiq, Salahuddin. Kamus Istilah Agama. CV. Sientrarama : Jakarta.





[1]  M. Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Sinar Grafika : Jakarta. 2007.  hal. 112
[2] Ibid. hal 114
[3] Sodiq, Salahuddin. Kamus Istilah Agama. CV. Sientrarama : Jakarta. Hal-121













ii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar