STRUKTUR
PENGADILAN AGAMA
MAKALAH
Diajukan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Peradilan Agama
Dosen:
Dr. H.
Ramdhani Wahyu Sururi, M.Ag., M.Si
Hukum Pidana
Islam/IV/A
Disusun Oleh:
Kelompok 7
Eneng Ratna
Sari (1123060024)
Farhatun
Hurriyah (1123060025)
Fitri
Nurhalimah (1123060026)
Kausar Abidin (1123060042)
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013/2014
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah Puja dan Puji tetap atas pemilik Dzat Maha
Abadi dan Maha Hakiki yang telah menjadikan hidup ini indah dan penuh
berkah,bahagia dan penuh makna.Serta ucapan syukur yang tiada terhitung selalu
kami tujukan dan kami utamakan kepada Allah SWT yang mana karena Rahman dan
Rahim-Nya, penyusun diberikan kesehatan jasmani dan rohani, keberkahan masa dan
usia sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Peradilan Agama “Peradilan
Agama” ini. Karena tanpa semua itu mustahil maklah ini dapat di selesaikan
dengan baik.
Makalah
ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah di Universitas Islam
Negri Sunan Gunung Djati Bandung. Besar
harapan kami hadirnya makalah ini di tengah-tengah pembaca dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman terhadap Peradilan Agama “Pengadilan
Agama” khususnya sebagai salah satu
bahasan pokok yang terdapat pada pokok bahasan Hukum Adat, dan apa yang di bahas dalam makalah ini merupakan salah
satu bagian darinya.
Tidak terkecuali kami ucapkan banyak
terimakasih kepada dosen kami tercinta bidang studi Hukum Adat yang telah
memberikan tugas mulia ini sebagai wahana untuk mengukur sejauh mana kemempuan
dan pemahaman yang kami miliki.
Akhirnya, kami mengambil
istilah untuk makalah ini sesuai dengan kata pepatah bahwa “tiada gading yang
tak retak”, itu berarti masih banyak kekurangan dan kesalahan yang terdapat
dalam makalah ini, oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca
khuususnya dari dosen bidang studi terkait sangat kami harapkan sebagai bahan
perbaikan di masa mendatang. Karena Kebenaran dan Kesempurnaan hanya Allah-lah
Yang Maha Punya dan Maha Kuasa.
Bandung, April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang........................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................... 1
C.
Tujuan..................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SUSUNAN
HIERARKI PERADILAN AGAMA............................... 3
B.
SUSUNAN
ORGANISASI PENGADILAN AGAMA...................... 5
1.
Syarat
Pengangkatan Pemberhentian dan Sumpah Hakim............... 6
2.
Pengangkatan
dan Pemberhentian Panitera/Sekretaris..................... 11
3.
Syarat
Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penyumpahan Juru Sita Pengadilan Agama 13
4.
Syarat
Pengangkatan, Pemberhentian dan Penyumpahan Wakil
Sekretaris
Pengadilan Agama........................................................... 14
C.
SUSUNAN
ORGANISASI PERADILAN PENGADILAN TINGGI AGAMA 15
1.
Syarat
pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan hakim tinggi 15
2.
Syarat-syarat
wail ketua Pengadilan Tinggi Agama 17
3.
Syarat-syarat
Pengangkatan, Pemberhentian dan Penyumpahan Ketua Pengadilan Tinggi Agama 19
4.
Syarat
pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera pengadilan tinggi agama 19
5.
Syarat
pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan wakil panitera pengadilan tinggi
agama 20
6.
Syarat
pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera muda pengadilan tinggi
agama 21
7.
Syarat
pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera pengganti pengadilan
tinggi agama 22
8.
Syarat
pengangkat, pemberhentian dan penyumpahan wakil sekretaris pengadilan tinggi
agama 22
BAB III PENUTUP...........................................................................................
Kesimpulan......................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 25
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradilan
Agama merupakan peradilan yang berwenang menangani perkara perdata yang di
adukan oleh masyarakat berkenaan dengan permasalahan yang dapat diselesaikan
oleh Pengadilan Agama. Peradilan Agama terbagi menjadi 2 (dua), yaitu :
Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama atau pengadilan
tingkat pertama berada di wilayah Kabupaten dan Kotamadya, sedangkan Pengadialan tinggi Agama atau
Pengadilan tingkat banding/tingkat terakhir berada di lingkupan wilayah
provinsi daerah.
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.
Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang menjadi kewenangan dari pengadilan
agama adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Sesuai
penjelasan pasal 49 UU 3/2006, yang dimaksud dengan "antara orang-orang
yang beragama Islam” dalam pasal 49 adalah termasuk orang atau badan hukum
yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan Pengadilan Agama?
2.
Apa yang
dimaksud dengan Pengadilan Tinggi Agama?
3.
Bagaimana
susunan Organisasi Pengadilan Agama?
4.
Apa
syarat-syarat Ketua/Wakil, Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di
Pengadialan Agama?
5.
Apa Syarat-syarat
Ketua/Wakil, Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita Pengadilan Tinggi
Agama?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Pengadilan Agama.
2.
Untuk
mengetahui apa itu pengadilan Tinggi Agama.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana susunan Organisasi Peradilan Agama.
4.
Mengetahuai
dari syarat-syarat Ketua/Wakil, Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di
Pengadialan Agama.
5.
Mengetahui
Syarat-syarat Ketua/Wakil, Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita
Pengadilan Tinggi Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
STRUKTUR
PENGADILAN AGAMA
A.
SUSUNAN
HIERARKI PERADILAN AGAMA
Susunan Hierarki Peradilan Agama secara
instansional diatur dalam pasal 6. Menurut ketentuan pasal ini, secara
instansional, lingkungan Peradilan Agama terdiri dari dua tingkat:
1.
Pengadilan
Agama sebagai pengadilan tingkat pertama
2.
Pengadilan
Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding
Makna
Pengadilan Agama sebagai pengadilan toingkat pertama ialah pengadilan yang
bertindak menerima, memeriksa, dan memutus setiap permohonan atau gugatan pada
tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan Agma bertindak sebagai peradilan
sehari-hari yang menampung pada tahap awal dan memutus atau mengadili segala
perkara yang diajukan masyarakat pencari keadilan. Tidak boleh mengajukan suatu
permohonan atau gugatan langsung ke Pengadilan Tinggi Agama. Semua jenis
perkara lebih dulu mesti melalui Pengadilan Agama dalam Kedudukan hierarki
sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua permohonan atau gugat
perkara yang diajukan kepadanya dalam memutusnya, dilarang menolak untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih
apapun. Hal ini ditegaskan dalam pasal 56 yang berbunyi: “Pengadilan tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
memutusnya.” [1]
Dari
pengertian Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama adalah
pengadilan terbawah yang bertindak sebagai pintu gerbang penerimaan,
pemeriksaan, dan pemutusan setiap perkara. Perkara yang tidak lebih dulu
diajukan ke Pengadilan Agama, tidak akan pernah mendapat penyelesaian. Tidak
boleh langsung diajukan ke pengadilan yang lebih tinggi yakni Pengadilan
Tinggi. Karena fungsi peradilan yang diberikan Undang-undang kepada Pengadilan
Tinggi bukan sebagai Pengadilan tingkat pertama, tapi pengadilan tingkat
banding.
Memang menurut
pasal 6, di atas Pengadilan agama secara Hierarkis dan instansional ditempatkan
Pengadilan Tinggi Agama yang berkedudukan sebagai pengadilan “tingkat banding”.
Penagilan Tinggi agama bertindak dan berwenag “memeriksa ulang” suatu perkara
yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan agama, apabila pihak yang berperkara
mengajukan permintaan banding. Dengan kata lain, apabila salah satu pihak atau
kedua belah pihak yang berperkara tidak puas terhadap putusan Pengadilan Agama,
dapat mengajukan mengajukan permintaan banding terhadap putusan tersebut tersebut.
Dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai pengadilan tingkat banding,
Pengadilan Tinggi mengoreksi putusan Pengadilan Agama. Pengadialn Tinggi dalam
tingkat banding dapat menguatkan (membenarkan) putusan Pengadilan Agama, jika
putusannya itu dianggap sudah tepat. Bisa juga menguatkan tapi sekaligus
memperbaiki amar atau pertimbangan yang kurang jelas. Atau hanya sekadar
menambah pertimbangan yang kurang lengkap. Sebaliknya berwenang untuk
membatalkan putusan Pengadilan Agama. Berbarengan dengan pembatalan itu
Pengadilan Tinggi “mengadili sendiri” dengan amar putusan yang berlainan sama
sekali dengan amar putusan Pengadilan Agama.
Putusan
Pengadilan Agama dikaitkan dengan hierarki instamsional, disebut putusan
Pengadilan “tingkat pertama”. Sedangkan putusan Pengadilan Tinggi Agama dalamn
tingkat banding disebut putusan “tingkat terakhir”. Hal ini sesuai dengan
penegasan pasal 10 ayat (3) UU No.14 Tahun 1970 dan pasal 29 UU NO.14 Tahun
1985 yang berbunyi: “Mahkamah Agung memutuskan permohonan kasasi terhadap
pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan
peradilan.”
Makna putusan
Pengadilan Tinggi Agama sebagai putusan tingkat terakhir ialah pemeriksaan
mengenai keadaan, fakta, pembuktian pokok perkara sudah selesai dan berakhir. Itu
sebabnya pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding disebut
peradilan judex facti. Tidak ada lagi instansi peradilan yang dapat
menilai dan mengutak-utik hal-hal yang berkenaan dengan fakta dan pembuktian
yang telah dinilai Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi, karena penilaian dan
putusan tentang itu sudah berakhir dan final.
Mahkamah Agung
berkedudukan sebagai peradilan “kasasi” yang kewenangannya terbatas dalam
memeriksa dan memutus dalam hal-hal tertentu dan terbatas sesuai apa yang
diatur dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1989.
Mengenai
susunan Peradilan Agama secara “horizontal” berkedudukan pada setiap kotamadya
atau ibukota kabupaten. Susunan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan pada
setiap ibukota provinsi[2].
B.
SUSUNAN
ORGANISASI PENGADILAN AGAMA
Susunan
organisasi Pebgadilan Agama sesuai dengan
yang dikehendaki pada Bab II,
Bagian
Pertama, Pasal 9 dan seterusnya dapat digambarkan sebagai berikut.

Untuk
melengkapi pembahasan mengenai susunan Organisasi Pengadilan Agama, akan
diuraikan hal-hal yang berkenaan dengan syarat pengangkatan, pemberhentian, dan
pengambilan sumpah hakim, syarat pengangkatan serta pengambilan sumpah hakim
dan wakil ketua, syarat pengangkatan pemberhentian sumpah wakil sekretaris,
syarat pengangkatan panitera muda, panitera pengganti, dan juru sita.
1.
Syarat
Pengangkatan Pemberhentian dan Sumpah Hakim
Sebagaimana
yang ditegaskan dalam pasal 11 “Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman.” Oleh karena itu, wajar apabila Undang-undang
menentukan syarat penganagkatan, pemberhentian serta sumpah yang sesuai dengan
jabatan tesebut.
1)
Syarat
Pengangkatan Hakim
Mengenai
syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat diangkat menjadi hakim di
lingkungan Peradilan Agama diatur dalam pasal 13 UU No. 7 tahun 1989. Syarat
kesarjanaan dilingkungan Peradilan Agama pada dasarnya ialah sarjana Syariah
atau sarjana Hukum yang menguasai hukum Islam.
Syarat yang
paling utama berbeda bagi hakim dilingkungan Peradilan Agama dibanding dengan
lingkungan, adalah mutlak harus beragama Islam. Tentang syarat beragama Islam
bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama, memang sebagian ada yang beranggapan
bahwa syarat pengangkatan hakim ini mengandung cacat dikriminasi. Sebab dengan
syarat tersebut, hukum menutup pintu bagi yang non-Islam untuk menjadi Hakim di
Lingkungan Peradilan Agama. Padahal lingkungan Peradilan Agama sesuai dengan
ketentuan pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970, termasuk “Peradilan Negara”. Tetapi
dalam konteks ini terdapat kekhususan yang dilekatkan Undang-undang. Peradilan
Agama memiliki ciri dan bidang tertentu yang sangat berkaitan erat dengan
faktor, yakni: faktor personalita ke-Islaman, dan faktor umum yang diterapkan
(khusus hukum Islam).
2)
Pengangkatan
Hakim
Maksud pengangkatan hakim disini
ialah berkenaan dengan tata cara dan instansi yang berwenang menetapkan
pengangkatan Hakim di Pengadilan Agama. Mengenai hal ini di atur dalam pasal 15
UU No.7 Tahun 1989 yang sama bunyinya dengan ketentuan pasal 16 UU No.2 Tahun
1986. Dengan demikian pengangkatan Hakim di lingkungan Peradilan Agama sama
persis dengan pengangkatan Hakim di lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha
Negara. Hal ini merupakan salah satu syarat tentang kesamaan derajat antara
semua lingkungan peradilan sebagai peradilan Negara.
Menurut Pasal 15 ayat 1 UU No. 7
Tahun 1989, Yang berwenang megangkat Hakim di lingkungan peradilan Agama ialah
presiden selaku Kepala Negara.
3)
Pemberhentian
Hakim
Mengenai pemberhentian Hakim, Sama
prosedurnya dengan pengangkatan hakim. Pemberhentian dilakukan presiden selaku
kepala negara atas ‘usul’ mentri agama
berdasar ‘persetujuan’ ketua mahkamah agung, sebagaimana yang di tegaskan pasal
15 Ayat 1 UU No.7 Tahun 1989
UU mengenai dua jenis pemberhentian.
Setiap jenis pemberhentian di dasarkan atas alasan-alasan tertentu yakni
pemberhtian dengan ‘hormat’ dan ‘pemberhentian tidak hormat’
a.
Pemberhentian
dengan Hormat
Pemberhentian
dengan hormat di atur dalam pasal 18 UU No.7 Tahun 1989 yang sama bunyinya
dengan pasal 19 UU No 2 Tahun 1986 dan pasal 19 UU No.5 Tahun 1986. Dengan
demikian alasan yang mendasari pemberhentian hakim untuk lingkungan Peradilan
Agama serupa dengan alasan yang di tentukan dalam lingkungan Peradilan Umum dan
Tata Usaha Negara
Alasan pemberhentian hakim dengan hormat dari
jabatanya :
a)
Permintaan
sendiri
b)
Sakit jasmani
atau rohani terus menerus
c)
Telah berumur
emam puluh tahun bagi hakim pengadilan agama dan 63 tahun bagi hakim tinggi agama
d)
Tidak cakap
dalam menjalankan tugas
b.
Pemberhentian
Tidak dengan Hormat
Pemberhentian tidak dengan hormat di
atur dalam pasal 19 UU No.7 tahun 1989 alasan-alasan pemberhentian tidak dengan
hormat yang ditentukan dalam pasal ini sama dengan alasan yang di atur dalam
pasal 20 UU No.2 tahun 1986 dan pasal 20 UU No.5 tahun 1986 atau sama dengan
pasal 12 UU No 14 tahun 1985 sehingga ketentuan mengenai alasan pemberhentian
terdapat keseragaman menyeluruh atara semua lingkungan peradilan, termasuk
Hakim agung pada Mahkamah Agung alasan pemberhentian tidak dengan hormat :
a)
Di pidana
karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan.
b)
Melakukan
perbuatan tercela
c)
Terus menerus
menjalankan tugas pekerjaannya.
d)
Melanggar
sumpah jabatan
e)
Melanggar
larangan rangkap yang ditentukan pasal 17.
Mengenai tata
cara pemberhentian tidak dengan hormat di atur dalam pasal 19 ayat 2 di
tegaskan suatu prinsip yang tidak boleh
di langkahi. Prinsip nya: “diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri”, pembelaan
diri dilakukan di hadapan majelis kehormatan hakim. Jadi proses pemberhentian
seorang hakim tidak dengan hormat :
a)
Diberi
kesempatan secukupnya lebih dulu membela diri
b)
Pembelaan diri
di lakukan di hadapan hakim.
c)
Baru setelah
itu boleh di ajukan usul kepada presiden oleh menteri agama berdasar persetujuan ketua makamah agung.
Namun menurut
penjelasan pasal 19 ayat 2, kesempatan pembelaan diridalam pemberhentian tidak
dengan hormat hanya terbatas atas alasan
yang disebut pada b,c,d, dan e. Terhadap pemberhentian tidak dengan hormat atas
alasan dipadana karena melakukan tindak pidana kejahatan, tidak di beri
kesepatan untuk membela diri, kecuali apabila pidana penjara yang di jatuhkan
kepadanya kurang dari tiga bulan.
Bertitik tolak dari ketentuan yang
di gariskan dalam penjelasan pasal 19 ayat 2 ini setiap pemidanaan yang di
jatuhkan kepada hakim dapat dijadikan alasan pemberhentian dengan tidak hormat.
Hanya kalau pidana nya tiga bulan ke atas, pemberhentian dilakukan tanpa diberi
kesempatan membela diri di hadapan majelis kehormatan Hakim. Tapi kalau hukuman
pidana yang dikenakan kurang tiga bulan, pemberhentian tidak dengan hormat di
dahului dengan memberi kesempatan membela diri secukupnya. Dengan begitu, tidak
benar apa yang di rumuskan dalam penjelasan pasal 19 ayat 1 alinea pertama.
Disamping pemberhentian tidak dengan
hormat secaara “permanen”, pasal 21 ayat 1, memberi kemungkinan untuk memberhentikan
“sementara” dari jabatan Hakim, prosedur pemberhentian sementara dari jabatan
Hakim samadengan pemberhentian tidak dengan hormat secara permanen. Pengusulan
pemberhentian sementara baru dapat diajukan Menteri Agama berdasarkan
persetujuan Mahkamah Agung kepada presiden, setelah lebih dulu di beri
kesempatan secukupnya membela diri dihadapan majelis kehormatan Hakim.
Alternatif pemberhentian sementara sangat efektif untuk meningkatikan dedikasi
dan prestasi Hakim. Terutama bagi Hakim yang sering melakukan kelalayan, layak
diberi kesempatan untuk memperbaiki sikap dan integritas melalui tindakan
pemberhentian sementara. Tidak langsung di berhentikan tidak dengan hormat.
4)
Pengambilan Sumpah
Hakim
Sebelum seorang Hakim menjalankan
fungsi jabatan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman “wajib” lebih dulu
mengucapkan kata sumpah menurut agama islam. Lafal sumpah jabatan di rumuskan
dalam pasal 16 yang berbunyi :
“Demi Allah, saya
bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak
langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapaun juga”
5)
Larangan
Rangkap
Menurut pasal 17,hakim tidak boleh
merangkap menjadi:
a)
Pelaksana
putusan pengadilan
b)
Wali
pengampu,dan jabatan yang berkaitan dengan suatu perkara yang di periksa
c)
Pengusaha
d)
Tidak boleh
merangap menjdi penasihat hukum
6)
Penangkapan
dan Penahanan Hakim
Hakim sebagai pejabat penegak hukum
bukan manusia kebal hukum oleh karena itu, apabila seorang Hakim melakukan
tindak pidana, kepadanya dapat dilakukan
tindakan upaya paksa berupa “penangkapan” atau “penahanan” sebagaimana yang di
atur dalam pasal 19 dan pasal 21 KUHAP. Hanya prosedur yang agak berbeda dengan
upaya paksa yang dilakuan terhadap orang lain.
Menurut pasal 25, pada prinsipnya
penangkapan atau penahanan seorang hakim memerlukan formalitas khusus atau
persyaratan khusus berupa :
a)
Harus berdasar
perintah jaksa agung
b)
setelah lebih
dulu mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan Mentri Agama.
Itulah prinsip umum prosedur
penangkapan atau penahanan seorang Hakim, kecuali dalam hal-hal tertentu
prinsip tersebut tidak berlaku ialah tatacara upaya paksa sebagai mana hal yang
berlaku untuk setiap orang. Berarti dalam hal-hal tertentu penangkapan atau
penahanan dapat dilakukan berdasar perintah pejabat penyidik polri tanpa
persetujuan mahkamah agung dan mentri agama. Apabila Hakim yang bersangkutan:
a)
Tertangkap
tangan melakukan tindak pidana kejahatan,atau
b)
Disangka telah
melakukan tindak pidana kejahatan yang di ancam dengan pidana mati,atau
c)
Disangka telah
melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
7)
Syarat Pengangkatan,
Pemberhentian dan Penyumpahan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
a.
Syarat Ketua
dan Wakil Ketua Pengadilan
Menurut pasal 13 ayat 2, seorang
Hakim Pengadilan Agama harus di anggap memenuhi syarat untuk di angkat menjabat
sebagai ketua atau Wakil ketua sekurang-kurangnya sudah berpengalaman paling
tidak sepuluh tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama. Ketentuan ini
seragam baik untuk lingkungan peradilan umum dan Tatausaha Negara seperti yang
di atur dalam pasal 14 ayat 2 UU No.2 Tahun 1986 dan pasal 14 ayat 2 UU No.5
Tahun 1986.
b.
Pengangkatan
ketua dan wakil ketua
Pejabat yang
berwenang mengangkat hakim menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan agama ialah: Menteri Agama dan berdasar
persetujuan ketua Mahkamah Agung
c.
Pemberhentian
Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
Sejalan dengan pengangkatan seperti
yang di atur dalam pasal 15 ayat 2 yakni :
a)
Di berhentikan
oleh mentri agama
b)
Dasar
persetujuan ketua mahkamah agung.
d.
Pengambilan
Sumpah ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
Di atur dalam
pasal 16 ayat 2 dan 3:
a)
Pengambilan
sumpah wakil ketua yang di lakukan ketua pengadilan Agama.
b)
Pengadilan
sumpah ketua pengadilan agama dilakukan oleh ketua pengadilan tinggi agama
8)
Syarat
pengangkatan, pemberhentian, dan sumpah panitera Pengadilan Agama
Sebagaimana yang terlihat pada
bagian organisasi pengadilan agama, salah satu aparat yang secara struktural
berada di bawah unsur pimpinan (ketua dan wakil ketua) ialah panitera yang
sekaligus merangkap sebagai sekretaris Pengadilan Agama, sebagaimana yang di
tentukan pasal 26 ayat 1 jo. Pasal 44 dalam kedudukan rangkap sebagai panitera
dan sekertaris, dia bertindak memimpin bagian kepaniteraan dan kesekertarisan. Dalam
melaksanakan tugas kepaniteraan dibantu oleh seorang panitera muda, beberapa
orang pengganti, dan beberapa juru sita. Sedang dalam melaksanakan tugas
kesekertarisan, panitera dibantu oleh seorang wakil sekertaris.
Syarat-syarat
panitera/sekretaris:
1)
Warga Negara
Indonesia
2)
Beragama Islam
3)
Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
4)
Setia kepada
pancasila dan UUD 1945
5)
Berijazah
serendah-rendahnya sarjana muda syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai
hukum islam
6)
Berpengalaman
sekurang-kurangnya 4 tahun sebagai wakil panitera atau 7 tahun sebagai panitera
muda pangadilan agama atau menjabat Wakil panitera pengadilan tinggi agama.
2.
Pengangkatan
dan Pemberhentian Panitera/Sekretaris
Di atur dalam
pasal 26 Pengangkatan dan pemberhentian hakim di lakukan oleh Menetri Agama.
Dalam pasal 26 terdapat tambahan aturan yang memberi hak kepada ketua
pengadilan agama untuk mengusulkan calon
kepada Mentri Agama untuk di angkat sebagai panitera. Akan tetapi tampaknya
sifat pengusulan “Tidak mengikat” Mentri Agama. Pengangkatan panitera oleh
Mentri Agama dapat dilakukan berdasar usul ketua PA. Jadi, bukan berdasar usul,
tapi dapat berdasar usul ketua PA.
Pengambilan
Sumpah Panitera/Sekretaris
Di sumpah menurut agama islam oleh
ketua Pengadilan Agama bunyu sumpah selengkapnya dirumuskan dalam pasal 37.
9)
Syarat Pengangkatan,
Pemberhentian, dan Sumpah Wakil Panitera Pengadilan Agama
Mengenai
syarat pengangkatan, pemberhentian dan pengambilan sumpah wakil panitera sama
dengan ketentuan yang berlaku untuk panitera kecuali tentang syarat huruf f, seperti
yang sudah di jelasan syarat-syarat yang harus di penuhi calon panitera di atur
dalam pasal 27 yang terdiri dari a, b, c, d, e dan f. Semua syarat ini berlaku
bagi pengangkatan wakil panitera kecuali syarat yang di sebut dalam huruf f.
Demikian pengesahan pasal 29 huruf a sebagai penggatisyarat tersebut, huruf b
menentukan untuk dapat diangkat menjadi Wakil panitera, disamping memenuhi
syarat-syarat huruf a, b, c, d dan e pasal 27:
a)
Berpengalaman sekurang-kurang
nya 4 tahun sebagai panitera muda
b)
Atau
berpengalaman sekurang-kurangnya 6 tahun sebagai panitera pengganti pengadilan
agama
Tentang penangkapan dan
pemberhentian sama dengan panitera pengadilan agama, diangkat dan di
berhentikan oleh mentri agama atas usul atau tanpa susul ketua pengadilan
Agama juga pengambilan sumpah sama,
dilakukan oleh ketua Pengadilan Agama sesuai dengan bunyi sumpah yang
dirumuskan dalam pasal 37.
10)
Syarat
pengangatan, Pemberhentian, dan Penyumpahan Panitera Muda Pengadilan Agama
Syarat-syarat pengangkatan, pemberhentian
dan penyumpahan panitera muda PA sama dengan ketentuan yang berlaku kepada
panitera dan wakil panitera. Pengalaman kerja yang harus di penuhi agar dapat
di angkat sebagai panitera muda pengadilan agama sekurang-kurangnya tiga tahun
sebagai panitera pengganti bisa di lihat dalam( pasal 30, jo.27 pasal 37).
11)
Syarat Pengangkatan,
Pemberhentian dan Penyumpahan Panitera Pengganti Pengadilan Agama
Mengenai pengangkatan panitera
pengganti Pengadilan Agama di atur dalam pasal 33. Semua persyaratan, pengangkatan,
pemberhentian panitera pengganti sama dengan ketentuan yang berlaku bagi
panitera, wakil panitera dan panitera muda, perbedaan terleta pada pengalaman
kerja. Agar dapat di angkat jadi panitera pengganti di Pengadilan Agama,
sekurang-kurang nya mempunyai pengalaman kerja paling tidak 5 tahun sebagai
pegawai negri pada Pengadilan Agama.
Memperhatikan Syarat-syarat yang
harus di penuhi panitera muda dan panitera pengganti terutama mengenai syarat
pendidian yang di tentuan dalam pasal 27 huruf e, yakni paling rendah berijazah
sarjana muda syari’ah atau sarjana muda hukum.
3.
Syarat
Pengangkatan, Pemberhentian, dan Penyumpahan Juru Sita Pengadilan Agama
Pada bab II, bagian kedua, paragraf
3 UU Tahun 1989, di atur mengenai kedudukan juru sita pengganti. Penetapan
petugas juru sita di pengadilan agama merupakan hal baru. Sejak dari dulu
sampai saat undang-undang ini diundangkan, pengadilan Pengadilan Agama tidak
mengenal juru sita. Ketidak adaan juru sita, merupakan salah satu dalih yang
menyebabkan Pengadilan Agama tidak dapat melaksanakan eksekusi, sehingga
eksekusi atas putusannya menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
Syarat juru
sita pengganti
Ketentuan
mengenai syarat-syarat juru sita di atur dalam pasal 39 UU No. 7 Tahun 1989.
Ketentuan pasal ini sama dengan apa yang di atur dalam pasal UU No. 7 Tahun
1989.
1)
Warga negara
indonesia
2)
Beragama Islam
3)
Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
4)
Setia kepada
pancasila dan UU 1945
5)
Berijazah
serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas
6)
Berpengalaman
seurang-kurangnya 5 Tahun sebagai juru sita pengganti
Syarat-syarat
yang di tentukan untuk juru sitasama dengan persyaratan pengangkatan juru sita
pengganti perbedaan harus terletak pada masalah pengalaman Kerja.Jika untuk
juru sita syarat pengalaman kerja minimal 5 tahun menjadi juru sita pengganti
maka untu juru sita pengganti syarat pengalaman kerja minimal 5 tahun sebagai
pegawai negri pada Pengadilan Agama.
Pengangkatan
dan Pemberhentian Juru Sita dan Juru Sita Pengganti diatur dalam Pasal 40
a)
Juru sita di
angkat dan di berhentikan Mentri Agama atas usul ketua Pengadilan Agama
b)
Juru sita di
angkat dan di berhentikan oleh ketua Pengadilan Agama
Pengambilan
sumpah juru sita dan juru sita pengganti
Menurut pasal
41, sebelum memangku jabatan, juru sita dan juru sita pengganti di ambil sumpah
menurut agama Islam oleh ketua pengadilan Agama. Bunyi rumusan sumpahnya di
cantumkan selengkapnya dalam pasal 41.
4.
Syarat Pengangkatan,
Pemberhentian dan Penyumpahan Wakil Sekretaris Pengadilan Agama
Sebagaimana sudah disinggung dalam
menjalankan tugas kepaniteraan dan kesekretarisan,panitera di bantu oleh Wakil
panitera dan seorang Wakil Sekretaris. Menurut pasal 26 ayat (1) jo. Pasal 41,
pada diri panitera sekaligus merangkap jabatan sekretaris. Maka untuk
melaksanakan tugas bidang kesekretaritan panitera yang merangkap seretaris
tersebut dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Syarat-syarat
dan wakil sekretaris
persyaratan pengangkatan wakil
sekretaris pengadilan Agama di atur dalam pasal 45,yang terdiri dari
a)
Warga negara
Indonesia
b)
beraga islam
c)
bertawa kepada
Tuhan Yang Maha Esa
d)
setia kepada
pancasila dan UUD 1945
e)
Berijazah
serendah-rendahnya sarjana muda syari’ah, atau sarjana muda hukum yang
menguasai hukum islam atau sarjana muda administrasi
f)
berpengalaman
di bidang administrasi peradilan
Pengangkatan
dan pemberhentian wakil sekretaris
Pengangkatan dan pemberhentian
Wakil sekretaris pengadilan Agama menurut pasal 45, dilakukan oleh Mentri
Agama.
Pengambilan sumpah Wakil sekretaris
Sebelum
memangku jabatan sebagai Wakil sekretaris pengadilan agama, harus lebih dulu
mengucapkan sumpah,. Pengambilan sumpah dilaukan ketua pengadilan Agama.Dan
bunyi rumusan sumpahnya, dicantumkan dalam pasal 48.
C.
SUSUNAN
ORGANISASI PERADILAN PENGADILAN TINGGI AGAMA
Mengenai susunan organisasi
pengadilan tinggi Agama sama dengan susunan organisasi Pengadilan Agama.
Perbedaanya hanya terletak pada bidang juru sita. Jika pada susunan organisasi
Pengadilan Agama terdapat sub bagian juru sita yang ditetapkan pada bagian
struktur fungsional kepaniteraan Pengadilan Tinggi. Hal ini memang logis. Di
tinjau dari segi kedudukan hierarki pengadilan Tinggi secara instansional
adalah peradilan tingkat banding, tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan
tindakan pemanggilan, pemberitahuan penyitaan, dan eksekusi. Sedang fungsi juru sita adalah tugas-tugas
pelayanan mengambil, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.
Yang bertindak sebagai pimpinan pada
Pengadilan tinggi Agama sama dengan pimpinan pada pengadilan agama. Dimana
pimpinan dilakukan oleh ketua dan Wail ketua.
Dalam melaksanakan fungsi dan
kewenngan peradilan, ketua dan wakil ketua di bantu oleh jajaran pejabat
fungsional yang terdiri dari para hakim tinggi, panitera,wakil panitera,
panitera muda, dan panitera pengganti. Sedang untuk mendukung kelancaran
organisasi pengadilan Tinggi secara umum, ketua dan wakil ketua dibantu oleh
pejabat struktural yang dipimpin oleh seorang Wakil sekretaris. Di bawah ini
akan di sampaikan berturut-turut syarat-syarat pengangkatan,pemberhentian, dan
penyumpahan ketua, wakil ketua, Hakim tinggi, panitera, sekretara muda,
panitera pengganti, dan wakil sekretaris Pengadilan Tinggi Agama.
1.
Syarat Pengangkatan,
Pemberhentian, dan penyumpahan Hakim Tinggi
Yang dimaksud
dengan Hakim Tinggi menurut pasal 10 ayat (3) adalah Hakim anggota pada
pengadilan Tinggi Agama. Berapa banyak jumlah Hakim Tinggi pada setiap
pengadilan tinggi Agama,tidak ditentukan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Secara
realistik jumlah Hakim Tinggi yang ideal pada setiap pengadilan Tinggi Agama
lebih tepat di dasarkan pada patokan volume perkara. Pada pengadilan Tinggi
Agama yang besar jumlah volume perkara, wajar untuk menempatkan Hakim Tinggi
yang sebanding dengan jumlah perkara.
Menurut
pengamatan dan pengalaman, terdapat perbedaan jumlah volume perkara banding
antara satu pengadilan Tinggi Agama yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu
tidak rasional dan tidak realistik untuk menempatkan Hakim Tinggi yang sama
jumlah nya pada setiap Pengadilan Tinggi Agama.
a.
Syarat-Syarat
Hakim Tinggi
Persyaratan
seorang Hakim untuk dapat diangat menjadi Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi
Agama, diatur dalam pasal 14 ayat (1) jo. Pasal 13 ayat (1) yang terdiri dari:
a)
Warga Negara
Indonesia
b)
Beragama Islam
c)
Bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
d)
Setia kepada Pancasila
dan UU 1945
e)
Bukan bekas
anggota organisasi terlarang partai komunis indonesia termasuk organisasi
massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
gerakan G-30 S/PKI, atau organisasi terlarang lainya.
f)
Pegawai Negri
g)
Berumur
serendah-rendahnya 40 tahun
h)
Berwibawa, jujur,
adil, dan berkelakuan tidak tercela
i)
Berpengalaman
sekurang-urangnya 15 tahun sebagai Hakim pengadilan Tinggi Agama
b.
Pengangkatan
dan pemberhentian Hakim Tinggi
Mengenai
pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan Hakim Tinggi ,berlaku sepenuhnya
ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Hakim yang di atur dalam pasal 15.
Dengan demikian pengangkatan dan pemberhentianya :
a)
dilakukan oleh
Pesiden selaku Kepala Negara
b)
atas usul
Mentri Agama dan
c)
berdasar
persetujuan ketua Mahkamah Agung
Begitu juga
mengenai pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian tidak hormat, berlaku
ketentuan umum yang di atur dalam pasal 18 dan 19
Pemberhentian
dengan hormat dilakukan presiden selaku Kepala Negara atas usul Mentri Agama
berdasar persetujuan Mahkamah Agung atas alasan :
a)
permintaan
sendiri
b)
sakit jasmani
atau rohani terus menerus
c)
telah berumur
63 tahun
d)
ternyata tidak
caap dalam menjalankan tugas
e)
meninggal
dunia dalam masa jabatan Hakim Tinggi.
Perbedaan
alasan pemberhentian dengan hormat antara Hakim Pengadilan Agama dengan Hakim
Tinggi, Hanya terletak pada batas umur. Hakim Pengadilan Negeri menjalani masa
pensiun pada umur 60 Tahun, sedang Hakim Tinggi 63 Tahun.
Pemberhentian
tidak dengan hormat dilakukan Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mentri
Agama berdasar persetujuan Ketua Mahkamah Agung atas alasan :
a)
dipidana
karena bersalah melakuan tindak pidana kejahatan
b)
melakukan
perbuatan tercela
c)
terus-menerus
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaan
d)
melanggar
sumpah jabatan
e)
melanggar
larangan rangkap yang ditetapkan pasal 17[3].
c.
Pengambilan
Sumpah Hakim Tinggi
Sebelum
seorang Hakim mengaku jabatan sebagai Hakim Tinggi wajib mengucapkan sumpah
menurut agama islam. Pengambilan sumpah Hakim Tinggi dilakukan oleh ketua
Pengadilan Agama sesuai dengan bunyi sumpah yang di cantumkan dalam pasal 16
ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (2).
2.
Syarat-syarat
wail ketua Pengadilan Tinggi Agama
Syarat
pengangkatan Wail Ketua Pengadilan Tinggi Agama, disamping harus memenuhi
persyaratan umum yang diatur dalam pasal 13 ditambah dengan persyaratan yang di
sebut pasal 14 huruf b, yakni harus berusia paling rendah 40 tahun, juga di
tambah lagi dengan persyaratan pengalaman kerja yang di tentukan dalam pasal 14
ayat 3 yakni sekurang-kurangnya sudah bertigas :
a)
paling tidak 8
tahun sebagai hakim tinggi pada pengadilan Tinggi Agama bagi yang blum pernah
menjabat ketua Pengadilan Agama, atau
b)
paling tidak 3
tahun sebagai hakim tinggi yang pernah menjabat ketua Pengadilan Agama
Pada
persyaratan pengalaman kerja yang ditentukan dalam pasal 14 ayat (3) fakta
pengalaman sebagai Ketua Pengadilan Agama lebih mempersingkat jenjang karir
untuk menjabat Wakil Ketua pengadilan Tinggi Agama. Bagi Hakim Tinggi yang
tidak pernah berpengalaman sebagai Ketua Pengadilan Agama, paling tidak 8 tahun
menjabat sebagai hakim tinggi baru terbuka kesempatan untuk di usulkan menjadi
wakil ketua pengadilan Tinggi Agama. Tapi bagi haim yang telah berpengalaman
menjabat Ketua pengadilan Agama, kesempatan untuk di usulkan menjabat Wakil
Ketua Pengadilan Tinggi Agama dipersingat menjadi 3 tahun.
Pengangkatan
dan pemberhentian dari jabatan Wakil Ketua Pengadilan Agama
Harus di
bedakan pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan hakim dengan pengangkatan
dan pemberhentian dari jabatan Wakil Ketua .Pengangkatan dan pemberhentian
jababatan Hakim berlaku Umum untuk semua Hakim tanpa kecuali dan tanpa
mempersoalkan apakah dia ketua atau Wakil Ketua. Hal itulan yang di atur dalam
pasal 15 ayat (1) . Sedang pengangkatan dan pemberhentian dari jabatan Wakil
Ketua atau Ketua, adalah permasalahan khusus yang menyangkut pengangkatan dan
pemberhentian dari jabatan atau pimpinan pengadilan. Hal ini di atur dalam
pasal 15 ayat (2). Menurut pasal ini, pengangkatan dalam pemberhentian
dilakukan :
a)
Mentri Agama
b)
berdasar
persetujuan Ketua Mahkamah Agung
Pengambilan
sumpah Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama
Menurut pasal
16 ayat (3) yang bertinda mengambil sumpah Wakil ketua Pengadilan Tinggi Agama
adalah Ketua Pengadilan Tinggi Agama adalah Ketua Pengadilan Agama dengan bunyi
sumpah yang di cantumkan dalam pasal 16 ayat (1).
3.
Syarat-syarat
Pengangatan, Pemberhentian dan Penyumpahan Ketua Pengadilan Tinggi Agama
Syarat-syarat
ketua Pengadilan Tinggi Agama
Hal-hal yang
mengenai aturan persyaratan yang di tentukan bagi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi
Agama sama dengan apa yang di perlukan bagi Ketua Pengadilan Tinggi Agama.
Perbedaan hanya terletak pada faktor masa pengalaman kerja.
Menurut ketentuan pasal 14 ayat (2),
persyaratan pengalaman kerja agar dapat diusulkan menduduki jabatan Ketua
Pengadilan Tinggi Agama :
a)
sekurang-kurangnya
10 tahun sebagai Haim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama bagi yang sebelumnya tidak pernah
menduduki jabatan Ketua Pengadilan Agama atau
b)
sekurang-kurang
nya 5 tahun sebagai Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama bagi mereka yang telah pernah menjabat Ketua
Pengadilan Agama.
Pengangkatan
dan pemberhentian dari jabatan ketua pengadilan
Pengangkatan
dan pemberhentian dari jabatan ketua pengadilan tinggi agama, diatur dalam
pasal 15 ayat 2 (Yakni):
a)
dingangkat dan
diberhentikan menteri agama;
b)
berdasarkan
persetujuan ketua mahkhamah agung.
Pengambilan
sumpah ketua pengadilan tinggi agama
Berdasarkan ketentuan pasal 16 ayat(3), pengambilan
sumpah ketua Pengadilan Tinggi agama dilakukan oleh ketua Mahkamah Agung sesuai
dengan bunyi sumpah yang tercantum dalam pasal 16 ayat (1).
4.
Syarat
pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera pengadilan tinggi agama
a.
Syarat-syarat
panitera pengadilan tinggi agama
Mengenai
persyaratan panitera pengadilan tinggi agama diatur dalam pasal 27 jo. pasal 28 yang terdiri
dari:
a)
Warga negara
indonesia;
b)
Beragama islam
c)
Bertakwa
kepada Tuhan yang maha esa;
d)
Setia kepada
pancasila dan UUD 1945
e)
Berijasah
sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum islam;
f)
Berpengalaman
sekurang-kurangnya: 4 tahun sebagai wakil panitera pengadilan tinggi agama,
atau 8 tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 4 tahun
sebagai panitera pengadilan agama.
b.
pengangkatan
dan pemberhentian jabatan panitera Pengadilan Tinggi Agama
Menurut pasal
36 panitera pengadilan tinggi agama diangkat dan di berhentikan menteri
agama.pengangkatan dan pemberhentian menurut pasal 36, dapat dilakukan menteri
agama berdasar usul ketua pengadilan tinggi agama.
c.
Pengambilan
sumpah panitera Pengadilan Tinggi Agama
Menurut pasal
37, pengambilan sumpah panitera pengadilan tinggi agama dilakukan ketua
pengadilan tinggi agama sesuai dengan bunyi rumusan sumpah yang di cantumkan dalam
pasal 37.
d.
Larangan Rangkap
Pasal 35
mengatur larangan rangkap bagi panitera pengadilan tinggi agama yang terdiri
dari:
a)
tidak boleh
merangkap menjadi wali
b)
pengampun
c)
merangkap
sebagi pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak
sebagai panitera;
d)
tidak boleh
merangkap sebagai penasihat hukum.
5.
Syarat
pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan wakil panitera pengadilan tinggi
agama
a.
syarat-syarat
wakil panitera
Persyaratan
yang harus di penuhi agar dapat diangkat sebagai wakil panitera pengadilan
tinggi agama sama dengan syarat-syarat panitera seperti yang diatur pasal 27
jo. pasal 30,kecuali mengenai syarat pengalaman kerja. Bagi calon wakil
panitera, persyaratan pengalaman masa kerja di tentukan dalam pasal 30 huruf c:
a)
berpengalaman
sekurang-kurangnya 4 tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau
b)
sekurang-kurangnya
7 tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi agama, atau
c)
paling tidak 4
tahun menjabat sebagai wakil panitera pengadilan agama.
b.
pengangkatan
dan pemberhentian wakil panitera
Pengangkatan
dan pemberhentian wakil panitera pengadilan tinggi agama sama ketentuannnya
dengan apa yang di perlukan kepada panitera pengadilan tinggi agama sebagai
mana yang di atur dalam pasal 36. sama sama di angkat dan di berhentikan
menteri agama boleh atas usul atau tampa usul ketua pengadilan tinggi agama
sesuai dengan penjelasan pasal 36.
c.
pengambilan
sumpah wakil panitera
Pengambilan
sumpah wakil panitera pengadilan tinggi agama dilakukan oleh etua pengadilan
tinggi agama sesuai dengan bunyi sumpah yang tercantum pasal 37.
6.
Syarat
pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera muda pengadilan tinggi
agama
a.
syarat-syarat
panitera muda
persyaratan
untuk dapat diangkat sebagaipanitera muda pengadilan tinggi agama sama dengan
syarat yang di tentukan pasal 27, terkecuali mengenai syarat huruf f. syarat
huruf f tersebut diubah menjadi seperti yang ditentukan dalam pasal 32 huruf b
yakni;
a)
berpengalaman
sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi agama
atau
b)
4 tahun
sebagai panitera pengadilan agama,atau
c)
8 tahun
sebagai panitera pengganti pengadilan agama, atau
d)
sedang
menjabat wakil panitera pengadilan agama.
b.
pengangkatan
dan pemberhentian panitera muda
Proses
pengangkatan dan pe,mberhentian panitera muda pengadilan tinggi agama sama
dengan panitera dan wakil panitera pengadilan tinggi agama. Diangkat dan di
berhentikan menteri agama baik atas usul atau tanpa usul ketua pengadilan
tinggi agama. sebagi yang di atur dalam pasal 36 jo. Penjelasan pasal 36.
c.
penganbilan
sumpah panitera muda
Mengenai hal
ini pun sama aturanya dengan yang diperlakukan kepada panitera dan wakil
pengadilan tinggi agama, sama-sama merujuk pada ketentuan pasal 37 yakni
pengabilan sumpah dilakukan ketua pengadialn tinggi agama sesuai dengan bunyi
rumusan sumpah yang tercantum dalam pasal 37 tersebut.
7.
Syarat
pengangkatan, pemberhentian, dan penyumpahan panitera pengganti pengadilan
tinggi agama
a.
Syarat-syarat
panitera pengganti
syarat-syarat
panitera pengganti pengadilan agama, sama dengan syarat yang ditentukan dalam
pasal 27, kecuali mengenai syarat huruf f diubah oleh pasal 34 b, sehingga
syarat pengalaman kerja yang mencukupi untuk diangkat menjadi panitera
pengganti pengadilan tinggi agama menjadi;
a)
sekurang-kurangnya
berpengalaman 5 tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama, atau
b)
sekurang-kurangnya
10 tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tinggi agama.
b.
pengangkatan
dan pemberhentian panitera pengganti
Untuk
menentukan cara dan penjabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
panitera pengganti pengadilan agama, kembali merujuk kepada ketentuan pasal 36
dan penjelasan pasal tersebut yakni pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan
menteri agama boleh atas usul atau tanpa usul ketua pengadilan tinggi agama.
c.
Pengambilan
sumpah panitera pengganti
Sesuai dengan
ketentuan pasal 37, pengambilan sumpah panitera pengganti pengadilan tinggi
agama,dilakukan oleh ketua pengadilan tinggi agama sesuai dengan bunyi rumusan
sumpah yang tercantum dalam pasal 37.
8.
Syarat
pengangkat, pemberhentian dan penyumpahan wakil sekretaris pengadilan tinggi
agama
a.
Syarat wakil
sekretaris pengadilan tinggi agama
Mengenai syarat-syarat
yang di penuhi seseorang agar bisa di angkat menjadi wakil sekretaris
pengadilan tinggi agama diatur dalam pasal 45 dan pasal 46 yang terdiri dari;
a)
warga negara
indonesia
b)
beragama
islam;
c)
bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d)
setia kepada
pancasilan dan UUD 1945;
e)
berijazah
sarjana syari’ah atau sarjana Hukum yang menguasai hukum islam.
f)
berpengalaman
di bidang administrasi peradilan.
b.
Pengangkatan
dan pemberhentian wakil seretaris
Pengangkatan dan pemberhentian wakil
sekretaris pengadilan tinggi agama sama dengan pengangkatan dan pemberhentian
wkil sekretaris pengadilan Agama sebagai mana yang di atur dalam pasal 47.jo
penjelasan pasal 47 tersebut yakni di angkat dan di berhentikan mentri agama.
c.
Pengambilan
sumpah wakil sekretaris
Pengambilan sumpah wakil sekretaris
Pengadilan Tinggi di atur dalam pasal 48. Sama dengan pengaturan pengambilan
wakil sekretaris pengadilan Agama, dalam hal ini, pengambilan sumpah dilakukan
oleh ketua pengadilan tinggi agama dengan bunyi sumpah yang tercantum dalam
pasal 48 itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengadilan
Agama di Indonesia merupakan pengadilan yang mengadili perkara-perkara yang
berhubungan dengan Perdata dalam Islam saja, dalam Pengadilan Agama perkara
yang berhubungan dengan perdata islam dapat di selesaikan melalui Peradilan
Agama tingkat Kabupaten/Kota, yang merupakan pengadilan tingkat pertama pada
proses menangani permasalahan dan pemutusan perkara yang di ajukan oleh pihak
yang berperkara. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama yang pada
persidangannya merupakan pengadilan banding, dalam hal ini terperkara dapat
mengajukan banding setelah putusan dari pengadilan Agama, dan putusan itu tidak
merasa sesuai dengan apa yang diinginkan maka terperkara boleh mengajukan
banding ke pengadilan tinggi Agama Untuk mendapatkan keadilan yang sepadan.
Pengadilan
yang didalamnya terdapat ketua dan wakilnya serta di ikuti dengan
anggota-anggota yang oleh Mentri Agama di tunjuk untuk menjabat sebagai bidang
yang telah ada didalam pengadilan Agama, pungsi ketua dan wakil ketua merupakan
penanggung jawab daripada pengadialan, sedangkan untuk hakim yang memutuskan
perkara mempunyai kebebasan dalam hal putusan yang dipersidangkannya dan tetap
merujuk atau berpegang pada Syari’at Islam dan Undang-undang yang berlaku di
indonesia.
Untuk menjadi
seorang ketua dan wakilnya, Hakim, Panitera, sekretaris, dan juru sita
mempunyai syarat berlaku untuk semua yang berada dilingkungan Peradilan Agama
maupun Pengadilan Tinggi Agama. Dan pengangkatannya melalui mentri Agama,
sebaliknya pemberhentiannya juga oleh mentri Agama yang di ajukan oleh pengadilan
Tinggi Agama kepada mentri Agama.
Pengambilan
sumpah untuk hakim di laksanakan oleh ketua Pengadialan Agama untuk hakim
pengadilan Agama dan hakim pengadilan tinggi Agama di sumpah oleh ketua
Pengadialan Tinggi Agama.
DAFTAR PUSTAKA
M. Yahya Harahap. 2007. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Sinar
Grafika : Jakarta.
Sodiq, Salahuddin. Kamus
Istilah Agama. CV. Sientrarama : Jakarta.
[1] M. Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Sinar
Grafika : Jakarta. 2007. hal. 112
ii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar