Rabu, 06 Mei 2015

MAKALAH HUKUM ADAT KETATANEGARAAN



MAKALAH
HUKUM ADAT KETATANEGARAAN
Diajukan Untuk Memenuhi Sala Satu Tugas Mata Kuliah hokum Adat
Jurusan Hukum Pidana Islam
Dosen : Ende Hasby Nassarudin,S.H. M.H

Disusun Oleh : Kelompok 1
Aisyah (1123060009)
                                                      Kautsar Abidin (1123060042)                                                     
Irma S. Rubiah (1123060037)
Kamal Rullah (1123060041)
Farhatun Hurriyah (1123060025)

Fakultas Syari’ah dan Hukum
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI                                                  SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Kata Pengantar
Alhamdulillah Puja dan Puji tetap atas pemilik Dzat Maha Abadi dan Maha Hakiki yang telah menjadikan hidup ini indah dan penuh berkah,bahagia dan penuh makna.Serta ucapan syukur yang tiada terhitung selalu kami tujukan dan kami utamakan kepada Allah SWT yang mana karena Rahman dan Rahim-Nya, penyusun diberikan kesehatan jasmani dan rohani, keberkahan masa dan usia sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Adat “Hukum Adat Ketatanegaraan” ini. Karena tanpa semua itu mustahil maklah ini dapat di selesaikan dengan baik.
            Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah di Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung. Besar harapan kami hadirnya makalah ini di tengah-tengah pembaca dapat menambah pengetahuan dan pemahaman terhadap Hukum Adat Hukum Adat Ketatanegaraan” khususnya sebagai salah satu bahasan pokok yang terdapat pada pokok bahasan Hukum Adat, dan apa yang di bahas dalam makalah ini merupakan salah satu bagian darinya.
           Tidak terkecuali kami ucapkan banyak terimakasih kepada dosen kami tercinta bidang studi Hukum Adat yang telah memberikan tugas mulia ini sebagai wahana untuk mengukur sejauh mana kemempuan dan pemahaman yang kami miliki.
           Akhirnya, kami mengambil istilah untuk makalah ini sesuai dengan kata pepatah bahwa ”tiada gading yang tak retak”, itu berarti masih banyak kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca khuususnya dari dosen bidang studi terkait sangat kami harapkan sebagai bahan perbaikan di masa mendatang. Karena Kebenaran dan Kesempurnaan hanya Allah-lah Yang Maha Punya dan Maha Kuasa. 
                                                                                                        
                                                                                                                       Penyusun
                                                                                                         Bandung, 25 September 2013



Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………..!
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..!!

BAB  I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang…………………………………………………………………………….
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………………………
C.     Tujuan……………………………………………………………………………………..

BAB  II  PEMBAHASAN
A.    Bentuk Desa………………………………………………………………………………..
B.     Susunan Masyarakat Desa…………………………………………………………………
C.     Pemerintahan Desa…………………………………………………………………………
D.    Harta Kekayaan Desa……………………………………………………………………...

BAB  III  PENUTUP
A.    Kesimpulan…………………………………………………………………………………

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………….



BAB  I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Hukum Adat merupakan hukum yang tidak tercatat dalam buku atau tidak tertulis akan tetapi keberadaannya di akui di masyarakat Indonesia sebagai hokum yang mengatur tatanan atau tradisi yang berkembang di masyarakat.
Hukum adat adalah hukum yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karna masyarakat Indonesia sudah mengakui dan itu turun temurun dari nenek moyang mereka, oleh karna itu bias kita simpulkan bahwa hukum Adat adalah hukum yang sudah dipakai sejak jaman dulu dan tidak bias dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Disini dalam pembahan Hukum Adat Ketata negaraan yang dimana di dalamnya membahas tentang bagaimana bentuk desa, masyarakat desa pemrintahan dsa dan hata kekayaan desa yang di dalamnya dijelaskan tentang fungsi-fungsi dan yang laiannya. Adapun tujuan dari Hukum Adat Ketatanegaraan ialah untuk mengetahui apa yang dibahas dalam hukum adat ketatanegaraan.

















B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana bentuk desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
2.      Bagaimana susunan masyrakat desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
3.      Bagaimana corak pemerintahan desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
4.      Apa yang dimaksud dengan harta kekeyaan desa? Apa saja yang menjadi sumber harta kekayaan desa?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui bentuk desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan.
2.      Mengetahui susunan masyarakat desa dalam hukum adat ketatanegaraan.
3.      Mengetahui sistem atau corak pemerintahan desa.
4.      Mengetahui apa yan dimaksud harta kekayaan desa dan sumber-sumbernya.













BAB  II  PEMBAHASAN
A.    Bentuk Desa

            Menurut Undang-undang no. 5 tahun 1979 pasal I dikatakan yang dimaksud dengan “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, sedangkan “Dusun adalah bagian wilayah dalam Desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksaan pemerintahan Desa”. Pasal 39 mnyatakan “ Pada saat mulai berlakunya Undang-undang, tidak berlaku lagi Undang-undang no 19 tahun 1965 tentang Desapraja dan segala ketentuan yang bertentangan yang atau tidak sesuai dengan Undang-undang ini”.
            Dengan demikian terhitung sejak diundangkan UU no. 5 tahun 1979 tersebut, maka bentuk-bentuk Desa lama yang di zaman Hindia Belanda diatur berdasarka Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) di Jawa-Madura dan Inlandse Gemeentie Ordonantie Buitengewesten (IGOB) di luar Jawa-Madura. Oleh karena pada kenyataanya dalam penerapan UU no. 5 tahun 1979 tidak “lulus oballas” (lancer) dikarenakan disana sini masih nampak ada pengaruh dari bentuk-bentuk desa lama (menurut hukum adat), oleh karena itu bentuk-bentuk desa lama harus kita ketahui untuk menjadi bahan pertimbangan dan pemecahan jika terdapat kelemahan dalam penerapan UU no. 5 tahun 1979 tersebut.
            Bentuk-bentuk desa di seluruh Indonesia berbeda-beda, dikarenakan beberapa faktor, antara lain sebagai berikut;
a.      Wilayah yang ditempati penduduk; ada wilayah yang sempit ditempati ditempati penduduk yang padat, sebaliknya ada wilayah yang luas ditempati penduduk yang jarang.
b.      Susunan masyarakat hukum adat; masyarakat adat (desa) yang susunannya berdasarkan ikatan ketetanggaan (territoriaal) da nada yang susunannya iberdasarkan ikatan kekerabatan (geneologis) atau berdasarkan iakatan keagamaan.
c.      Sistem pemerintahan hukum adat dan nama-nama jabatan pemerintahan adat yang berbeda-beda dan penguasaan iharta kekayaan yang berbeda.
            Di pulau Jawa seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur desa dengan dukuh-dukuhnya merupakan wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang sangat padat. Begitu pula di daerah Pasundan desa dan lembur-lemburya atau di daerah Banten desa dengan ampian-ampiannya. Walaupun penduduknya agak jarang, namun antara bagian-bagian desa dengan pusat desa tidak berjauhan demikian pula halnya dengan di Bali, desa dan banjar-banjarnya, tetapi di Bali penduduk desanya dapat dibedakan antara marga adat Banjar (dalam pemerintahan tanah kering) dan warga adat Subak dalam pemerintahan tanah basah / pengairan).
            Lain halnya dengan daerah-daerah di luar Jawa, bentuk wilayah kediaman yang dapat disamakan dengan bentuk desa adalah seperti di Aceh disebut “mukim” sebagai kesatuan beberapa “gampong” di Batak disebut “Negari” atau “Kuria” dengan beberapa “huta”, di Minangkabau disebut “Nergari” dan beberapa “kampuang” atau “suku” di Sumatera Selatan, “Marga” dan beberapa “Suku”, di Lampung Marga dengan beberapa kampong “Peyuh / Tekon”. Di Kalimantan yang masih merupakan rumpun suku dan anak-anak sukunya; di Sulawesi Selatan, dalam bentuknya yang lama “Wanua” (Bugis), “Pa’rasangan” atau “Bori” (Makasar),  di Sulawesi Utara, “Wanua” (Minahasa); di Ambon (Maluku) “Aman” dengan “soa”’ di Irian Jaya yang masih merupakan perkampungan yang kecil-kecil “keban” (Sumbawa), di Timor yang masih merupakan perkampungan suku-suku yang masih kecil.
            Pada umumnya yang merupakan bentuk desa di luar Jawa, merupakan tempat kediamnan penduduk yang terdiri dari perkampungan yang kecil-kecil yang terdiri dari beberapa rumah denganhak ulayat atas tanah perladangan dan hutan yang luas. Kampong-kampung tersebut ada yang setengah berdiri, mengatur pemerintahan rumah tangga kampungnya dengan raja-raja adatnya masing-masing. Kebanyakan letak perkampungannya jauh dari pusat desa dan bahkan masih ada yang penduduknya tidak menetap masih berpindah-pindah tempat sesuai dengan kehidupan pertanian lading atau pengembalaan ternak.
B.     Susunan Masyarakat Desa
1.      Pemerintahan Desa
Dalam menjalankan tugasnya, kepala desa dibantu oleh perangkat desa. Perangkat desa tersebut disesuaikan dengan kebutuhan di desa. Perangkat desa umumnya adalah sebagai berikut.

·        

2.      Sekretaris Desa
Salah satu perangkat desa ialah sekretaris desa yang bertugas mengurus administrasi di desa. Misalnya, membuat surat akta kelahiran atau surat keterangan. Sekretaris desa merupakan pegawai negri sipil atau PNS.

3.      Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi untuk menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung, dan menyalurkan aspirasi (pendapat) masyarakat. Anggota BPD adalah wakil penduduk desa bersangkutan. Mereka ditetapkan menjadi anggota BPD dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatannya adalah enam tahun yang dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan berikutnya, sama seperti kepala desa. Perangkat desa merupakan badan yang ada di desa dengan tujuan membantu urusan dalam pemerintahan desa. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa, antara lain sebagai berikut.
o   Urusan tingkat pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. Misalnya, mengangkat ketua RW dan RT.
o   Urusan tingkat pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota, tetapi urusan tersebut diserahkan pengaturannya ke desa. Misalnya, membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
o   Tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten/kota. Misalnya, membantu mengumpulkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari masyarakat desa.
o   Urusan pemerintahan lainnya, yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan ke desa. Misalnya, pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan LKMD. Dengan demikian, pemerintahan desa berperan bagi kehidupan masyarakat di desa.

Desa merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Untuk lebih memahaminya, perhatikanlah susunan pemerintahan desa berikut.

Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCL1W7ektkvfwX0NVogY0aH9SMHNDvzkfu4suYGreGA_oOJe1qksnQENDS95_Wwfnb-64245FecDMEMDC3dgvpRAo0QsJJ0OHnsp0zfs0axcO1gI9QTfZ4d8Og0uRfHzGsnbIHLcURqB0/s400/image001.jpg
C.    Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran yang strategis dalam pengaturan masyarakat desa/kelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya yang besar, maka perlu adanya Peraturan-peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal.
Untuk meningkatkan kinerja dari pemerintahan daerah, termasuk pemerintahan desa, pemerintah pusat beberapa kali telah mengeluarkan Undang-Undang yang berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya Undang-Undang No, 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-Undang ini disebutkan disebutkan:
  1. Desa berdasarkan undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.
  2. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Kepala Desa bertanggung jawab pada badan perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.
  3. Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan. Untuk itu Kepala Desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.
  4. Sebagai perwujudan demokrasi, di Desa di bentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
  5. Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa.
  6. Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman Desa.
  7. Berdasarkan hak asal-usul Desa yang besangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari para warganya.
  8. Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang bercirikan perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah Kelurahan yang berada di dalam daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota.
Sedangkan pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Revisi Undang-Undang No. 22/1999 disebutkan:
a.       Kelurahan dibentuk di wilayah Kecamatan dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan Pemerintah
b.      Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota
c.       Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai tugas:
1)      Pelaksanaan kegiatan pemerintah kelurahan
2)      Pemberdayaan masyarakat
3)      Pelayanan masyarakat
4)      Penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
5)      Pemeliharaan prasarana dan fasilitas umum.
d.       Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari PNS yang menguasai pengetahuan teknik pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
e.       Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui camat.f.
f.        Lurah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dibantu oleh perangkat Kelurahan.g.
g.       Untuk kelancaran tugas Lurah sebagaimana dimaksud ayat (3) dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan oleh Peraturan daerah.

D.    Harta Kekayaan Desa

Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang PEMERINTAHAN DESA tidak diatur mengenai harta kekayaan Desa. Pada bagian 8 tentang Sumber Pendapatan, kekayaan dan Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa (pasal 21) dikatakan bahwa:
a.  Pendapatan asli daerah sendiri :
      1)  Hasil tanah-tanah Kas Desa
      2)  Hasil swadaya dan partisipasi masyarakat desa
      3)  Hasil dari gotong royong masyarakat
      4)  Lain-lain dari hasil usaha desa yang sah.
b.  Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah Daerah
      1)  Sumbangan dan bantuan pemerintah
      2)  Sumbangan dan bantuan pemerintah daerah
      3)  Sebagian dari pajak dan retribusi daerah yang diberikan kepada desa.
c.   Lain-lain pendapatan yang sah
Munurut hukum adat suatu desa sebagai badan hukum adat mempunyai harta kekayaan desa yang memiliki atau dikuasai oleh desa, baik berupa tanah, baungunan, hutang piutang, dan lainnya. Di masa yang sekaran hal yang menyangkut pemilikan tanah atau penguasaan tanah harus mengingat UUPA (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960).
Pasal 1 ayat (2) UUPA dinyatakan:
“seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesian sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa babgsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.
Pasal 2 ayat (1) menyatakan:
“atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksuk dalam pasal 1 bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Marilah kita tinjau kembali tentang harta kekayaan desa menurut hukum adat yang dibeberapa daerah masih dianggap berlaku menurut hukum adat setempat. Harta kekayaan tersebut merupakan bidang-bidang tanah, bangunan dan mungkin juga kalau ada berupa hutang piutang dan lain-lain.

a.       TANAH HAK ULAYAT
Semua bidang tanah yang dikatakan tanah hak ulayat desa adalah berupa tanah hutan termasuk hutan larangan yang diserahkan pengawasannya kepada desa yang bersangkutan seperti tanah hutan, semak belukar, rawa-rawa, tanah-tanah bekas peladangan yang telah ditinggalkan penggarapnya yang berada diwilayah batas desa yang bersangkutan yang dikuasai oleh desa (KURIA, MARGA, NAGARI, NEGORIJ, dan lainnya). Yang bukan milik kerabat, milik perseorangan, perusahaan dan sebagainya.
Di beberapa TANAH HAK ULAYAT itu disebut WEWENGGOKONN-Jawa (TORLUK-Angkola), (ULAYAT-Minangkabau), (TANAH MARGA-Lampung), (PENYAMPETO atau PAWATASAN-Kalimantan), (LIMPO-Sulawesi Selatan), (TATABUAN-Bolaang nongodow), (PATUANAN –Ambon), (PAER-Lombok), (PRABUMIAN atau PAYAR-Bali). Bidang-bidang tanah tersebut apabila tidak dimanfaatkan untuk sumber kehidupan penduduk desa yang bersangkutan dan atau tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah (nasional) maka berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) UUPA dikuasai oleh Negara sepenuhnya.
b.      TANAH DESA
Sebidang tanah desa yang berada didalam atau sekitar desa atau kampung yang bukan milik kerabat, milik perorangan, milik yayasan atau lembaga atau perusahaan adalah TANAH DESA  atau TANAH MILIK DESA. Tanah dimaksud seperti Tanah pekuburan, tanah tempat ibadah (masjid, surau, gereja, pura), tanah-tanah tempat lembaga pendidikan (sekolah, madrasah, pesantren, pondok), tanah balai desa, tanah lapangan desa, (tempat olah raga, tempat mengembalakan ternak), tanah pasar desa, dan lain-lainnya.
Bidang-bidang tanah yang disediakan desa untuk kebutuhan hidup dari keluarga kepala desa dan perabot desa-nya selama memangku jabatan seperti TANAH BENGKOK atau TANAH PAKULEN di pedesaan Jawa adalah TANAH DESA. Tetapi bidang-bidang tanah (kebun buah-buahan, tempat penangkapan ikan, dan lain-lain) yang disediakan adau berasal dari cikal bakal keturunan para keluarga penghulu adat yang dipusakai turun temurun sebagai milik bersama bukan tanah desa melainkan TANAH KERABAT atau TANAH SUKU. Tanah-tanah serupa ini kebanyakan terdapat di perkampungan luar Jawa.
c.       BANGUNAN DESA
Semua bangunan seperti Balai Desa, Kantor Desa, Tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, pura, dan sebagainya), Tempat pemandian (ditepi sungai), Bangunan Pasar, Bangunan Pelabuhan Transport di Desa, Pintu Gerbang Desa, Pakaian Perlengkapan Adat Kesenian (tabuhan, gamelan, dan lain-lain) yang bukan milik perorangan, yayasan, perkumpulan atau perusahaan dan bukan dapat meminjam atau menyewa dari pihak lain adalah milik desa. Akan tetapi bangunan berupa Balai Adat, Rumah Kerabat, Alat pakaian kesenian Adat pedesaan yang bersifat kekerabatan (genealogis) bukan milik desa melainkan milik kerabat keturunan yang bersangkutan (persekutuan hukum adat) kecuali telah diserahkan kepada desa.
Selanjutnya termasuk kekayaan adat selain mebeulair, alat-alat kantor (brandcash, mesin ti, dan lain-lain), hutang piutang desa (sewa pasar, inventaris yang belum dilunasi), mesin traktor,  alat pertanian termasuk bibit, pupuk, dan lumbung desa yang tidak ada sangkut pautnya dengan milik perorangan, yayasan, perkumpulan, perusahaan, koperasi dan lain-lainnya, kesemuanya adalah harta kekayaan desa








A.    Kesimpulan
        Hukum adat ketatanegaraan merupakan suatu hukum yang ada di masyarakat Indonesia telah berkembang dengan masanya dalam arti hukum adat ini membahas bagaimana literature kehidupan masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya hukum adat ketatanegaraan yang di dalamnya membahas secara jelas tentang hukum adat ketatanegaraan di Indonesia di gunakan mulai dari kalangan pemerintahan sampai ke anggotanya atau pegawainya dan masyarakat yang menjadi rakyatnya bagaimana hukum adat ketatanegaraan ini mengatur baik dari fungsinya atau dari kegiatannya adapun dalam macam-macam bentuknya dapat kita lihat dari pembagian antara bagaimana sutu hukum adat ini bias berjalan dengan semestinya dengan tidak mengkesampingkan hukum adatnya.

Daftar pustaka
Setiady, Tolib. 2008. INTISARI HUKUM ADAT INDONESIA (dalam kajian kepustakaan).Bandung:ALFABETA.

Sudiyat, Iman. 1991. Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta:LIBERTY.

Warjiyati, Sri. 2006. Memahami Hukum Adat. (Surabaya IAIN Surabaya)
Wulansari, Dewi.2010. Hukum Adat di Indonesia. (Bandung : PT Refika Aditama)

1 komentar: