Rabu, 06 Mei 2015

PASAL 285 TENTANG PEMERKOSAAN



NAMA                       : KAUSAR ABIDIN
NIM                            : 1123060042
JURUSAN                 : HUKUM PIDANA ISLAM/III/A
DOSEN                      : POPON MUNAWAROH, S.Hi. M.H
MATA KUL              : HUKUM PIDANA



PASAL 285 TENTANG PEMERKOSAAN

Pasal 285 KUHP
"Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan , diancam karena perkosaan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun"
Unsur unsur dari pasal 285
1.      Kekerasan atau ancaman
2.      Memaksa atau pemaksaan
3.      Diluar pernikahan
Analisis pasal 285 KUHP pemerkosaan
Dalam hal ini analisa tentang pasal 285 KUHP harus ada pembaharuan terhadap hukum positif yang dinilai ortodoks, kuno, dan formalistik dengan pendekatan yang lebih kritis. Studi hukum kritis memandang bahwa hukum positif yang berlaku tidak selamanya sesuai karena masyarakat terus berkembang dan hukum positif akan ketinggalan dengan fenomena itu.
Salah satu peraturan dalam hukum positif yang dapat dianalisis dari sudut pandang teori hukum kritis adalah pasal 285 KUHP tentang perkosaan. Dalam pasal ini perkosaan dirumuskan sebagai tindakan “… dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia…”. Unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana ini antara lain: dengan kekerasan atau ancaman kekerasa; memaksa perempuan yang bukan istrinya; untuk melakukan hubungan seksual (bersetubuh). Dalam konteks masyarakat saat ini, rumusan ini tentunya sangat ketinggalan zaman, karena kejahatan perkosaan saat ini mengalami perkembanganyang luar biasa baik modus operandi dan modelnya.
Misalnya; bagaimana jika seandainya “perkosaan” itu terjadi tidak dalam bentuk persetubuhan (contohnya dengan memasukkan penis ke mulut dan anus atau memasukkan benda-benda lain ke vagina), bagaimana jika perkosaan tersebut terjadi terhadap istri  atau bagaimana jika korban perkosaan itu adalah laki-laki? tentunya pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh hukum positif. Jika para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) tetap menggunakan hukum positif dan logika formal (pasal 285 KUHP) an sich dalam kasus-kasus perkosaan, maka kemungkinan akan banyak kasus perkosaan dan pemerkosa yang lepas dari jeratan hukum karena perbuatannya tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur pasal 285 KUHP. Beberapa kelemahan yang terdapat dalam KUHP tersebut sangat wajar mengingat usia KUHP saat ini lebih dari 65 tahun.
Dengan demikian, menurut studi hukum kritis penerapan pasal 285 KUHP secara an-sich oleh aparat penegak hukum harus sudah mulai ditinggalkan. Artinya, aparat penegak hukum harus membuka wacananya bahwa kejahatan perkosaan terus berkembang sehingga tidak hanya menerapkan hukum secara tekstual menggunakan logika formal, tetapi juga kontekstual menggunakan nalar dan hati nurani sebagai pisau alanisis dalam menyelesaikan perkara hukum.
Di Indonesia, praktek penggunaan analisis hukum kritis ini bukan barang baru, hal ini sudah diperkenalkan oleh Bismar Siregar, seorang Hakim yang sangat hebat di era tahun 1980-an yang berani menggunakan nalar pikirnya melampaui hukum positif yang ada pada waktu itu. Meskipun pada akhirnya putusannya dimentahkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, namun dari situ dapat dilihat bahwa kelemahan hukum positif adalah tidak mampu menjangkau perkembangan kehidupan manusia yang sangat kompleks, sehingga perlu dilakukan kritik dan pembaharuan hukum secara terus menerus.
KUHP sebagai landasan hukum positif dalam bidang kepidanaan harus segera diperbahui mengingat usianya yang sudah ‘tua’ dan sudah tidak dapat mengikuti perkembangan dunia kriminalitas yang semakin pesat dan canggih. Penerapan kajian hukum kritis terhadap hukum positif harus ditingkatkan, khususnya oleh aparat penegak hukum. Karena saat ini hakim dan penegak hukum lainnya tidak lagi hanya sebagai corong undang-undang, tetapi juga harus kritis dalam menerapkan hukum agar tercipta keadilan dalam masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar