Nama : Kausar Abidin
NIM : 1123060042
Jurusan : HPI/V/A
Mata Kuliah : Hukum Acara
Peradilan Agama
Dosen : Didi Kusnadi,
KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DAN MAHKAMAH SYARI’AH DAN QANUN
Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan
kini telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama, kekuasaan dan kewenangan peradilan adalah memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
|
Adapun yang dimaksud dengan ‘Perkawinan’
adalah hal-hal yang diatur dalam undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku
dan dilakukan menurut syariah.
Yang dimaksud dengan ‘Waris’ adalah
penetuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seorang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli
waris.
Yang dimaksud dengan ‘Wasiat’ adalah
perbuatan seseorang memberikan suatu benda/manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah permberi tersebut meninggal dunia.
Yang dimaksud dengan ‘Hibah’ adalah
pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seorang atau
badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Yang dimaksud dengan ‘Wakaf’ adalah
perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut Syariah.
Yang dimaksud dengan ‘Zakat’ adalah
harta yang wajib disisihkan oleh seorang Muslim atau badan hukum yang dimiliki
seorang Muslim sesuai dengan ketentuan Syariah untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya.
Yang dimaksud dengan ‘Infaq’ adalah
perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi
kebutuhan, baik berupa makan, minuman, mendermakan, memberikan rizki
berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah SWT.
Yang dimaksud dengan ‘Shadaqah’ adalah
perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan
hukum secara spontan dan suka rela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah
tertentu dengan mengharap ridho Allah SWT.
Yang dimaksud dengan ‘Ekonomi Syariah’
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip-prinsip
Syariah, antara lain meliputi :
- Bank Syariah;
- Lembaga Keuangan Mikro Syariah;
- Asuransi Syariah;
- Reasuransi Syariah;
- Reksadana Syariah;
- Obligasi Syariah;
- Surat berharga berjangka menengah syariah;
- Sekuritas Syariah;
- Pembiayaan Syariah;
- Pegadaian Syariah;
- Dana pensiun lembaga keuangan Syariah dan
- Bisnis Syariah
MAHKAMAH SYARI’AH DAN QANUN
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) menyebutkan
bahwa penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dilaksanakan oleh Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menjelaskan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.
Peradilan syari’at Islam di Aceh yang dilakukan
oleh Mahkamah Syar’iyah merupakan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan
Agama. Peradilan syari’at Islam di Aceh (Mahkamah Syar’iyah) merupakan
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang menyangkut
wewenang peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan umum sepanjang menyangkut wewenang peradilan umum. Dalam badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dimungkinkan dibentuknya
pengadilan khusus seperti Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak
Asasi Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial
yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan khusus dalam lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Pajak.
Mahkamah Syar’iyah memiliki kekuasaan untuk
melaksanakan wewenang Peradilan Agama dan juga memiliki kekuasaan untuk
melaksanakan sebahagian wewenang Peradilan Umum. Mahkamah Syar’iyah memiliki
kekuasaan yang lebih luas dibandingkan dengan Peradilan Agama, seperti yang
dikatakan oleh Tim Lindsey and Cate Summer yang menjelaskan bahwa: “Shari'ah in
the Indonesian system of courts for Muslims is thus largely symbolic, at least
as a formal source of law. With the exception of Aceh (where its jurisdiction
as the Mahkamah Syar'iyah is much wider), the Religious Courts jurisdiction is limited
by statute to only few aspects Islamic legal tradition.”
Kekuasaan Pengadilan Agama dibatasi oleh
undang-undang hanya beberapa aspek dari hukum Islam. Namun demikian Mahkamah
Syar’iyah tetap merupakan bagian dari sistem peradilan nasional. Hal ini secara
tegas telah dinyatakan dalam UU Pemerintaha Aceh pasal 128 ayat (1).
Mahkamah Syar’iyah juga menganut tiga tingkat
peradilan, yakni tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi ke
Mahkamah Agung. Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah lebih luas dalam melaksanakan
kewajiban penetapan hukum-hukum Islam, terhadap perkara-perkara hukum keluarga
(al-akhwal al-syakhshiyah),mu'amalah (hukum perdata) serta hokum jinayat (pidana).
Mahkamah Syar’iyah juga berwenang mengadili dan
memutuskan perkara-perkara jarimah
(tindak pidana), seperti penyebaran aliran
sesat (bidang aqidah), tidak shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa uzur
syar'i (bidang ibadah), menyediakan fasilitas/peluang kepada orang muslim tanpa
uzur syar'i untuk tidak berpuasa (bidang ibadah), makan minum di tempat umum di
siang hari di bulan puasa (bidang ibadah), dan tidak berbusana Islami (bidang
syiar Islam). Mahkamah Syar’iyah dipercayakan pula untuk mengadili
perkara-perkara tindak pidana dalam pengelolaan zakat.
Sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 7 Tahun
2004 tentang Pengelolaan Zakat, Tindak pidana dimaksud, meliputi tidak membayar
zakat setelah jatuh tempo, membuat surat palsu atau memalsukan surat baitul
mal, serta menyelewengkan pengelolaan zakat.
Adapun hukum materil dalam bidang mu’amalah (perdata
pada umumnya) yang telah ditetapkan pula menjadi wewenang Mahkamah Syar’iyah,
sampai saat ini belum disusun qanunnya. Oleh karena itu wewenang di bidang
tersebut belum dapat dilaksanakan, kecuali beberapa perkara perdata yang sejak
dulu telah menjadi wewenang Pengadilan Agama, seperti masalah wakaf, hibah,
wasiat dan sadaqah.
PELAKSANAAN WEWENANG MAHKAMAH SYAR’IYAH YANG
MENYANGKUT SELURUH WEWENANG PERADILAN AGAMA
UU Pemerintahan Aceh memberi kewenangan untuk
membentuk Mahkamah Syar’iyah sebagai badan peradilan yang akan melaksanakan
syari’at Islam. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus dan keistimewaan di
bidang kehidupan beragama (Syariat Islam) Pemerintah Provinsi Aceh telah
membentuk beberapa lembaga pendukung seperti Dinas Syari’at Islam, Wilayatul
Hisbah dan beberapa lembaga lain terkait dengan pelaksanaan syari’at Islam.
Pemerintah Aceh juga mengesahkan beberapa Peraturan Daerah/Qanun terkait dengan
pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah.
Adapun hukum materil dalam bidang: mu’amalah (perdata
pada umumnya) yang telah ditetapkan pula menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah,
sampai saat ini belum disusun qanunnya. Oleh karena itu kewenangan di bidang
tersebut belum dapat dilaksanakan, kecuali beberapa perkara perdata yang sejak
dulu telah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, seperti masalah wakaf, hibah,
wasiat dan sadaqah.
Kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok
pengadilan agama (Mahkamah Syar’iyah di Aceh) tersebut dibagi dua yaitu:
a.
Kewenangan relatif.
Kewenangan relatif atau kompetensi relatif
yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan
suatu perkara yang diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum
pengadilan mana tergugat bertempat tinggal. Kewenangan relatif
ini mengatur pembagian kekuasaan pengadilan yang sama, misalnya antara
Pengadilan Agama Banjarnegara dengan Pengadilan Agama Purbalingga, sehingga
untuk menjawab apakah perkara ini menjadi kewenangan Pengadilan Agama
Banjarnegara ataukah Pengadilan Agama Purbalingga, didasarkan kepada wilayah
hukum mana Tergugat bertempat tinggal. Dalam bahasa Belanda Kewenangan relatif
ini disebut dengan “distributie van rechtsmacht”. Atas dasar ini maka
berlakulah asas “actor sequitur forum rei”.
Namun demikian ada penyimpangan dari asas
tersebut di atas, yaitu khusus perkara gugat cerai bagi yang beragama Islam,
maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama di mana Penggugat bertempat
tinggal. Hal ini adalah hukum acara khusus yang diatur dalam Pasal 73
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sehingga berlaku asas “lex specialis derogat
legi generalis” artinya aturan yang khusus dapat mengalahkan aturan yang umum.
b.
Kewenangan mutlak
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut
adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini
untuk menjawab pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya sengketa ekonomi
syari’ah, menjadi kewenangan Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Agama. Dalam
bahasa Belanda kewenangan mutlak disebut “atribute van rechtsmacht”
atau atribut kekuasaan kehakiman. Setelah
reformasi bergulir dan dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 khususnya
Pasal 24 yang mengukuhkan Badan Peradilan Agama masuk dalam sistem hukum
nasional, maka politik hukum Indonesia mulai merespon kepentingan dan kebutuhan
hukum umat Islam dalam menjalankan syariatnya., kemudian lahirlah Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
HAL-HAL YANG TERDAPAT DALAM BIDANG PERKAWINAN
Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama
diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
- Ijin beristeri lebih dari seorang;
- Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
- Dispensasi kawin;
- Pencegahan perkawinan;
- Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
- Pembatalan perkawinan;
- Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
- Perceraian karena talak;
- Gugatan perceraian;
- Penyelesaian harta bersama;
- Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
- Penguasaan anak-anak;
- Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
- Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
- Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
- Pencabutan kekuasaan wali;
- Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
- Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
- Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
- Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
- Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur; dan
- Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar