Money
Laundering Dalam Pandangan Fiqh Jinayat
PENDAHULUAN
Dewasa ini
kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas, maupun
kecanggihannya. Demikian juga dengan ancamannya terhadap keamanan dunia.
Akibatnya, kejahatan tersebut dapat menghambat kemajuan suatu Negara, baik dari
aspek social, ekonomi, maupun budaya. Mengingat bahwa kejahatan itu berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakat. maka wajar kalau sejak dulu hingga kini
orang selalu membicarakan kejahatan, mulai dari kejahatan yang sederhana
(kejahatan biasa), sampai pada kejahatan yang sulit pembuktiannya. Bahkan,
sebenarnya secara histories, kejahatan sudah ada sejak zaman nabi Adam,
diantaranya adalah kasus pembunuhan putra Adam dan Hawa oleh saudara kandungnya
sendiri. Atau perbuatan Adam dan Hawa yang berakibat kepada diturunkannya Adam
dan Hawa ke Dunia karena melanggar aturan Allah untuk tidak memakan buah Kuldi,
bisa juga dikatakan sebagai kejahatan.
Kejahatan
merupakan sebuah istilah yang sudah lazim dan popular di kalangan masyarakat
Indonesia atau crime bagi orang Inggris. Tetapi kita tentu akan mulai
berpikir ketika ada pernyataan, apakah sebenarnya kejahatan itu? Menurut
Hoefnagels, kejahatan merupakan suatu pengertian yang relative. Banyak
pengertian yang digunakan dalam ilmu ilmu social yang berasal dari bahasa
sehari hari (common parlance), tetapi sering berbeda dalam
mengartikannya. Hal itu disebabkan karena bahasa sehari hari tidak memberikan
gambaran yang jelas tentang kejahatan, tetapi hanya merupakan suatu ekspresi
dalam melihat perbuatan tertentu. Dalam hal ini Sudarto memberikan contoh,
misalnya terhadap tindakan “penodongan”, tentu semua orang akan mengatakan
bahwa perbuatan tersebut merupakan kejahatan. Berbeda dengan permintaan “uang
hangus” oleh seorang peminjam uang, yang disinyalir oleh presiden Soeharto
sebagai hal yang harus dihapus, mungkin ada orang yang berpendapat itu sesuatu
yang sudah sewajarnya.[1]
Karena
pengertian kejahatan yang relatif tersebut itulah, maka sangat wajar kalau
masing masing negara di dunia ini berbeda beda dalam mengklasifikasikan mana
perbuatan yang merupakan kejahatan, dan mana yang tidak, artinya bahwa suatu
perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan di suatu negara belum tentu merupakan
suatu kejahatan pula di negara lain. Hal ini juga berakibat pada kesulitan
suatu negara untuk menangkap pelaku kejahatan warganya yang melarikan diri ke
luar negeri. Misalnya, seorang koruptor Indonesia yang lari ke Singapura akan
sulit untuk ditangkap dan diadili karena perjanjian ekstradisi antara Indonesia
dan Singapura tidak pernah mencapai kata sepakat, hal itu disebabkan perbuatan
yang dianggap korupsi oleh Indonesia, belum tentu merupakan tindakan korupsi
bagi Singapura.
Terlepas dari
itu semua, bahwa sehubungan dengan semakin berkembangnya kejahatan dari waktu
ke waktu sudah sejak tahun 1825 hingga 1970 saja sudah tercatat lebih dari 80
kali konferensi Internasional yang upaya upaya untuk mengatasi persoalan
kejahatan.[2]
Salah satu kejahatan yang sempat menjadi perhatian dunia dewasa ini adalah
kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering), selain di samping itu masih
banyak kejahatan lain yang menjadi perhatian dunia terutama yang masuk dalam
kategori kejahatan transnasional, seperi the drug trafficking industry,
smuggling of illegal migrants, arms trafficking, terrorism, trafficking in
women and children, dan lain lain.
Terhadap
masalah masalah kejahatan baru yang muncul tersebut, bagaimana Islam
menyikapinya, mengingat Islam merupakan agama yang kaffah di mana bidang
Jinayat (Pidana) juga sudah diatur sedemikian banyak baik dalam al Qur’an
maupun hadits nabi, khususnya terhadap kejahatan Money Laundering yang
akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
- Pengertian Kejahatan Money Laundering
Amerika adalah
negara pertama yang menggunakan istilah Money Laundering. Istilah
tersebut menunjuk kepada pencucian hak milik mafia, yaitu hasil usaha yang
diperoleh secara gelap yang dicampurkan dengan maksud menjadikan seluruh hasil
tersebut seolah olah diperoleh dari sumber yang sah. Singkatnya, istilah Money
Laundering kali pertama digunakan dalam konteks hukum dalam sebuah kasus di
Amerika Serikat pada tahun 1982. Kasus tersebut menyangkut denda terhadap
pencucian uang hasil penjualan kokai Kolombia. Dalam perkembangannya proses
yang dilakukan lebih kompleks lagi dan sering menggunakan cara mutakhir
sedemikian rupa sehingga seolah olah uang yang diperoleh benar benar alami.
Sementara Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF)
merumuskan bahwa money loundering adalah proses menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul hasil kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan
penghilangan jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati keuntungan
keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan. Penjualan senjata
illegal, human trafficking dan kegiatan kegiatan lain yang dapat
menghasilkan uang banyak dapat mendorong untuk menghalalkan (legitimasi)
hasil yang diperoleh melalui Money Laundering. Bahkan dengan teknologi Money
Laundering dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime.[3]
Sementara
menurut pasal 1 UU No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, bahwa Pencucian Uang adalah
perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbang- kan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan
lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul
Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Dunia
internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika
dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah konvensi the
United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and
Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna
Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan
para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang
berhubungan dengan narkotika dan money laundering.[4]
Perhatian dunia
internasional tersebut tidak mengeherankan, karena Money Laundering
merupakan kejahatan yang menimbulkan dampak negatif sangat luar biasa. Menurut
Pemerintah Canada dalam suatu paper yang dikeluarkan oleh Department of Justice
Canada yang berjudul Electronic Money laundering: An Environmental Scan
dan diterbitkan Oktober 1998, ada beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kegiatan money laundering terhadap masyarakat. Konsekuensi-konsekuensi yang
ditimbulkan itu dapat berupa:
a. Money
laundering memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para
penyeludup dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan
operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk
memberantasnya dan biaya perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para korban
atau para pencandu narkoba.
b. Kegiatan money
laundering mempunyai potensi untuk merongrong keuangan masyarakat (financial
community) sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam
kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan
peredaran jumlah uang haram yang sangat besar.
c. Pencucian (laundering)
mengurangi pendapatan Pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung merugikan
para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
d. Mudahnya uang
masuk ke Canada telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan,
menurunkan tingkat kualitas hidup dan meningkatkan kekhawatiran terhadap
keamanan nasional.[5]
Sifat money
laundering sudah menjadi universal dan bersifat internasional yakni
melintasi batas-batas yurisdiksi negara. Transaksi dari negara ke negara
sekarang sudah sangat mudah, yaitu melalui system cyber space
(internet), pembayaran dilakukan melalui bank secara elektronik (cyber
payment). Maka tidak mengherankan jika Money Laundering sudah bisa
disebut sebagai kejahatan transnasional, karena praktik money laundering
dapat dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri.
- Kejahatan Money Laundering di Indonesia[6]
Walaupun
terlambat dibandingkan dengan negara negara lain, namun kebijakan melakukan
kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dengan keluarnya UU No.
15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (diundangkan pada tanggal 25
April 2002) sudah menunjukkan keikutsertaan Indonesia dalam upaya penaggulangan
Money Laundering yang sudah lama menjadi perhatian Internasional. Bahkan
kemudian UU No. 15 tahun 2002 diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang dapat berjalan secara efektif. Dasar pemikirannya adalah untuk disesuaikan
dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar
internasional.
Dengan
diundangkannya UU No. 15 tahun 2002 tersebut berarti penanganan Tindak Pidana
Pencucian Uang di Indonesia lebih menitik beratkan pada upaya penanggulangan
dengan sarana “penal”. Komdisi demikian merupakan langkah maju dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya karena sebelum diundangkannya UU tersebut belum ada
aturan secara khusus tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.[7]
Sebagai mana
yang telah disebutkan di atas, bahwa dalam pasal 1 UU No. 15 tahun 2002 jo. UU
No. 25 tahun 2003 disebutkan bahwa Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Pada pasal 2
ayat (1) disebutkan bahwa Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang
diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan
barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. di bidang
perbankan; g. di bidang pasar modal; h. di bidang asuransi; i. narkotika; j.
psikotropika; k. perdagangan manusia; l. perdagangan senjata gelap; m.
penculikan; n. terorisme; o. pencurian; p. penggelapan; q. penipuan; r.
pemalsuan uang; s. perjudian; t. prostitusi; u. di bidang perpajakan; v. di
bidang kehutanan; w. di bidang lingkungan hidup; x. di bidang kelautan; y. atau
tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau
lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah
Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak
pidana menurut hukum Indonesia. Ayat (2) Harta Kekayaan yang dipergunakan
secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan
sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.”[8]
Perubahan atas
pasal 2 ini merupakan langkah maju dibanding dengan UU sebelumnya, karena Predicate
Offence dalam TPPU terbatas pada tindak pidana dengan kategori sebagai
berikut; Harta Kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau
tidak langsung dari kejahatan: korupsi; penyuapan; penyelundupan barang;
penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan imigran; perbankan; narkotika;
psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap;
penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan yang dilakukan di
wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik
Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.[9]
Sementara dalam
hal pembuktian, karena TPPU ini merupakan tindak pidana yang pasti didahului
dengan tindak pidana lain, maka yang menjadi persoalan apakah tindak pidana
yang merupakan Predicate Offence harus terlebih dahulu dibuktikan. Dalam
hal ini Barda Nawawi melakukan analisis hingga pada kesimpulan.
kalau
memperhatikan pada unsur unsur delik TPPU, maka harus dibuktikan bahwa terdakwa
mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil
kejahatan/ tindak pidana. Jadi, yang harus dibuktikan adalah unsur subjektifnya
(unsur sikap batin jahat/ kesalahannya), bukan unsur objektifnya, yaitu bukan
membuktikan apakah jejahatan itu telah terjadi atau belum. Oleh karena itu
adalah wajar dalam penjelasan ayat 3 ayat (1) hruf a dinyatakan bahwa yang
dimaksud dengan “merupakan hasil tindak pidana” yaitu sudah terdapat bukti
permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana.[10]
Oleh karena
itu, yang dimaksud dalam penjelasan itu ialah bahwa untuk membuktikan apakah
terdakwa “mengetahui/ sepatutnya menduga bahwa harta kekayaan itu merupakan
hasil tindak pidana, tidak perlu betul betul dibuktikan telah terjadi tindak
pidana, tetapi dibuktikan telah ada bukti yang cukup atas terjadinya tindak
pidana. Jadi mirip dengan tindak pidana Penadahan pada pasal 480 KUHP yang
dalam beberapa yurisprudensi dinyatakan bahwa pemeriksaan tindak pidana
penadahan tidak perlu menunggu adanya putusan mengenai tindak pidana yang
menghasilkan barang barang tadahan yang bersangkutan.
- Money Laundering dalam Pandangan Hukum Islam
Pada ranah
hukum Islam Islam, permasalahan kejahatan Money Laundering ini dapat
dikategorikan ke dalam fiqih Jinayat. Jinayat dalam istilah hukum
sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara etimologi, Jinayah
merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana yang berarti
berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau
perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa
pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa,
harta benda, atau lainnya.[11]
Sebelum
membahas mengenai bagaimana Hukum Islam, khususnya fiqh Jinayat dalam memandang
kejahatan Money Laundering, maka lebih dahulu harus diketahui pembagian
tindak pidana (jarimah) dalam Hukum Islam. Macam macam tindak pidana (Jarimah) dalam Islam dilihat dari
berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga, yaitu hudud, qishosh diyat dan
ta’zir.[12]
- Jarimah Hudud. Yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman hudud (hak Allah). Hukuman hudud yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama’ sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qodzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirobah), minum-minuman keras (surbah), dan murtad (riddah).
b. Jarimah
Qishosh Diyat. Yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman
qishosh dan diyat. Baik qishosh maupun diyat
merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah
dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini
berbeda dengan hukuman hudud yang menjadi hak Allah semata. Penerapan
hukuman qishosh diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh
bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila
dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh
diyat antara lain pembunuhan sengaja (qotl ‘amd), pembunuhan semi
sengaja (qotl sibh ‘amd), pembunuhan keliru (qotl khotho’),
penganiayaan sengaja (jarh ‘amd) dan penganiayaan salah (jarh khotho’).[13]
c. Jarimah
Ta’zir. Jenis sanksinya secara penuh ada pada
wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur
akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap
lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya.
Dalam penetapan jarimah ta’zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta’zir harus sesuai
dengan prinsip syar’i (nas).
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan yang masuk ke dalam jarimah
hudud dan qishosh diyat bersifat limitatif, yaitu pada delik delik
tertentu saja yang sudah ditentukan oleh nas, baik al Qur’an maupun hadits.
Delik delik yang masuk dalam ke dua jarimah tersebut juga terikat oleh syarat
syarat tertentu. Oleh karena itu, kejahatan Money Laundering sebagai
suatu kejahatan yang berakibat pada kemadhorotan yang besar dapat dimasukan ke
dalam jarimah ta’zir, yaitu jarimah yang diancam
dengan hukuman ta’zir (selain hudud dan qishash diyat) di
mana pelaksanaanya baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak,
baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya
diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.[14]
Untuk hukuman
bagi terpidana TPPU ini sepenuhnya diserahkan kepada hakim sesuai dengan berat
ringannya jarimah dan keadaan terpidana, karena hukuman ta’zir banyak
jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang
terberat. Khusus terhadap penerapan mati dalam jarimah ta’zir, pada dasarnya
menurut syari’ah Islam, hukuman ta’zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta’dib)
dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta’zir tidak boleh
ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa
foqoha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan
dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau
pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti
mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian
fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati.[15]
Penulis memang
tidak menemukan mengenai Money Laundering di dalam khazanah Fiqh
Jinayat, akan tetapi kejahatan tersebut dapat dimasukkan ke dalam perbuatan
fasad. Allah SWT menbenci perbuatan fasad, dan ini jelas dalam
ayat Al-Qur’an. kata fasad dan derivasinya diulang selama 47 kali dalam
al Qur’an, dan 83 kali dalam hadits yang terdapat dalam kitab kitab hadits.
fasad mengandung makna yang luas, yaitu: eksploitasi, salah arus, anarkhi,
ketidakadilan dengan berbagai bentuknya, penyia nyiaan, penyimpangan moral,
keburukan, kejahatan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, dan segala bentuk
yang menyimpang dari kebenaran.[16]
Namun perlu
diperhatikan bahwa Money Laundering merupakan kejahatan yang pasti
didahului dengan kejahatan lain. Dari kejahatan kejahatan yang mendahului Money
Laundering ini ada beberapa yang dikategorikan sebagai jarimah hudud, yaitu
perbuatan
melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu
hukuman had (hak Allah). Hukuman hudud yang dimaksud tidak
mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh
perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).
Misalnya saja pencurian yang jenis hukumannya sudah ditentukan oleh nas. Maka
pencuriannya merupakan jarimah tersendiri, sementara untuk Pencucian
uang sudah juga merupakan jarimah tersendiri.
KESIMPULAN
Money
Laundering merupakan kejahatan yang sangat merugikan, karena
berakibat pada dampak negatif yang luar biasa, baik bagi negara maupun
masyarakat. Hal itu sudah diakui oleh dunia internasional. Kesepakatan
Internasional untuk melarang kegiatan Money laundering ini dituangkan dalam
sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in
Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut
dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention
1988.
Karena dampak
negatifnya yang sangat besar dalam berbagai dimensi baik bagi negara maupun
masyarakat, maka sudah menjadi keharusan praktek Money Laundering untuk
dilarang. Kalau dalam hukum Pidana Indonesia sudah jelas, yaitu diatur dalam UU
No. 15 tahun 2002 jo. UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang. Sementara di dalam Hukum Islam, penulis tidak menjumpai dalam nas ataupun
kitab kitab fiqh mengenai pengaturan secara khusus tentang Money Laundering.
Akan tetapi menurut penulis Money laundering dapat dikategorikan sebagai
perbuatan fasad yang dibenci oleh Allah. Oleh karena itu, maka
sepatutnya untuk dilarang oleh ulil amri yaitu dengan ketentuan hukuman yang
diserahkan kepada penguasa karena bukan merupakan kategori jarimah hudud
atau qishosh diyat.
Yang perlu
dicatat, bahwa dengan kemajuan teknologi saat ini, tidak mustahil Tindak Pidana
Pencucian uang (TPPU) berkaitan erat dengan cyber crime karena uang yang
akan dicuci melalui bank kemungkinan dapat ditempatkan dan ditransfer secara
elektronik. Oleh karena itu, kriminalisasi di bidang pencucian ini pun harus
didukung pula dengan kebijakan penal di bidang cyber crim. Kebijakan
dengan ini pun belum merupakan jaminan. Masih harus ditunjang pula dengan
pendekatan non-penal, baik berupa pendekatan techno prevention maupun dengan
pendekatan budaya dan administrasi prosedural yang ketat di bidang keuangan/
perbankan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qodir
Audah. 2000 M/ 1421 H. Tasyri’ Jina’I Islami. Beirut: Al Muassasah Al
Risalah.
Abu Bakar Jabir
Al Jazair. 2003. Minhajul Muslim. Beirut: Darul Fikri.
Ahmad Hasan
Hanafi. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Barda Nawawi.
2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Asitya Bakti.
http://www.economic-law.net/PencucianUang.doc
http://www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=9 yang direkam
pada 23 Okt 2007 01:04:35 GMT.
Indonesia,
Undang undang Republik Indonesia No. 15 tahun 2002 jo. Undang undang No. 25
tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
M. Amir
Amirullah. 2003. Money Laundering; Tindak Pidana Pencucian Uang. Malang:
bayu Media Publishing.
Makhrus
Munajat. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta: Logung pustaka.
Robitul
Firdaus. 2007. Melawan Korupsi Demi Kemaslahatan. Makalah yang
disampaikan pada mata kuliah masa’il Fiqhiyyah fil Jina’I di Pondok
Pesantren Universitas Islam Indonesia.
[1] M. Amir
Amirullah. 2003. Money Laundering; Tindak Pidana Pencucian Uang. Malang:
bayu Media Publishing. Hal. 1.
[3] M. Amir
Amirullah. 2003. Money Loudering…………………………………. Hal. 9. Dalam buku ini
juga dicantumkan definisi Money Laundering yang dikutip oleh Bambang
Setijoprojo dari M Giovanoli dan J. Koers masing masing pendapatnya adalah, (1)
Money Luondering merupakan suatu proses dan dengan cara seperti itu,
maka aset yang diperoleh dari tindak pidana (kejahatan) dimanipulasikan
sedemikian rupa sehingga aset tersebut seolah dari sumber yang sah (legal). (2)
Money Laundering merupakan suatu cara untuk mengedarkan hasil kejahatan
ke dalam suatu peredaran uang yang sah dan menutupi asal usul uang tersebut.
[4] Berdasarkan
kon-vensi ini RI telah meratifikasi dengan UU No 7 tahun 1997. Implementasi
ratifikasi ini baru pada tahun 2002 RI membuat UU No 15 tahun 2002 menyatakan
bahwa money laundering sebagai tindak pidana. UU No 15 tahun 2002
kemudian diubah dengan UU No 25 tahun 2003 (http://www.economic-law.net/PencucianUang.doc).
[5] http://www.ppatk.go.id/content.php?s_sid=9 yang direkam pada 23 Okt 2007 01:04:35 GMT. Dalam situs ini juga
disebutkan pendapat John McDowel dan Gary Novis, dari Bureau of International
Narcotics and Law Enforcement Affair, U.S. Department of State mengenai dampak
dari kejahatan Money Laundering. Mereka mengemukakan dalam papernya pada
bulan Mei 2001 beberapa dampak dari pencucian uang. Sejalan dengan pendapat
pemerintah Canada sebagaimana telah dikemukakan di atas, mereka mengemukakan
dampak-dampak pencucian uang itu adalah sebagai berikut: a) Merongrong sektor
swasta yang sah (Undermining the Legitimate Private Sector). b)
Merongrong integritas pasar-pasar keuangan (Undermining the Integrity of
Financial Markets). Lembaga-lembaga keuangan (financial institutions)
yang mengandalkan pada dana hasil kejahatan dapat menghadapi bahaya likuiditas.
c) Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya (Loss
of Control of Economic Policy). d) Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan
ekonomi (Economic Distortion and instability). e) Hilangnya pendapatan
negara dari sumber pembayaran pajak (Loss of Revenue). e) Membahayakan
upaya-upaya privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang dilakukan oleh
pemerintah (Risks to Privatization Efforts). f) Menimbulkan rusaknya
reputasi negara (Reputation Risk). g) Menimbulkan biaya sosial yang
tinggi (Social Cost).
[6] Untuk
mengetahui lebih banyak tentang pengaturan TPPU di Indonesia bisa dibaca dalam
UU No. 15 tahun 2002 jo. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
[7] Dalam
pertemuan tahunan ke dua pejabat senior ASEAN mengenai kejahatan lintas Negara
(The Second ASEAN Annual Senior Officials Meeting on Transnational Crime)
tanggal 17 Mei 2002 telah diterima program kerja untuk mengimplementasikan
“Rencana ASEAN Menghadapi Kejahatan Transnasional” (The ASEAN Pland of
Action to Combat Transnasional Crime), antara lain dalam menghadapi Money
Laundering atau TPPU. Dalam pertemuan tersebut disepakati beberapa program
kerja dalam memberantas Money Laundering di negara ASEAN. Pertemuan
inilah yang sedikit banyak berakibat pada perubahan atas UU No. 15 tahun 2002.
(Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra
Asitya Bakti. Hal. 182.)
[8] Oleh karena
itu Predicate Offence atau delik delik yang menjadi sumber asal dari
uang haram (dirty money) atau hasil kejahatan (criminal proceeds)
yang kemudian dicuci bersifat limitative.
[9] Dalam UU No.
15 tahun 2002 membatasi jumlah harta kekayaan yang dicuci, yaitu Rp.
500.000.000,-. Tetapi dalam UU No. 25 tahun 2003 tidak membatasi. Memang pada
beberapa Negara lain, termasuk Filipina dan Malaisyia tidak ditentukan
batasnya.
[10] Barda Nawawi.
2003. Kapita Selekta.....................................................Hal.
172..
[11] Abdul Qodir
Audah. 2000 M/ 1421 H. Tasyri’ Jina’I Islami. Beirut: Al Muassasah Al
Risalah. Hlm. 67. Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah
mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas
pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat
berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun
demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk
perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan,
pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi istilah Jinayat
kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash,
tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang
sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan
larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman hudud atau ta’zir
(A. Djazuli. 2000. Fiqh Jinayat; Menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 1). Sementara Mahrus Munajat dalam bukunya
mengatakan bahwa sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk
perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh,
melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama
dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan hukum pidana dalam syari’at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum
syara’ yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran
terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan
atau harta (Makhrus Munajat. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam.
Yogyakarta: Logung pustaka. Hlm. 2).
[12] Abdul Qodir
Audah. 2000 M/ 1421 H. Tasyri’ Jina’I......................................Hlm.
78.
[13] Diantara
jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan sengaja (qotl ‘amd) karena hukuman baginya adalah
dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain tanpa alasan
syar’i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah
kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. “Dan barang siapa membunuh
orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam, ia kekal di
dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta menyediakan azab yang
besar baginya.” (an nisa’: 93). Rosulullah SAW juga bersabda, “ Sesuatu yang
pertama diadili di antara manusia di hari kiamat adalah masalah darah”.
(Muttafaqun ‘alaih) (Abu Bakar Jabir Al Jazair. 2003. Minhajul Muslim.
Beirut: Darul Fikri. Hlm. 397). Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap
pelaku pembunuhan sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh
keluarga korban dia hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda
senilai 100 onta (‘Abdl Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat
merupakan hukuman pengganti (‘uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan
hukuman asli (‘uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari
keluarganya (Ahmad Hasan Hanafi. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam.
Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 260).
[14] Hukuman dalam jarimah
ta’zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan
batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa).
Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk
bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah (Makhrus Munajat. 2004. Dekonstruksi
Hukum...................... Hlm. 13).
[16] Fethi Ben
Jomaa Ahmed dalam Robitul Firdaus. 2007. Melawan Korupsi Demi Kemaslahatan.
Dalam makalah yang disampaikan pada mata kuliah masa’il Fiqhiyyah fil Jina’I
di Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar