tugas mata kuliah hukum TATA
NEGARA
PERKEMBANGAN DEMOKRASI DAN
KONSTITUSI DI INDONESIA
Tugas Ini Disusun Guna
Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara
Dosen: Utang
Rosidin, SH, MH
JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2013/1434
Oleh
:
Afifudin 1123060005
Elvina
Damayanti 1123060023
Fitria
Irawan 1123060029
Kausar
Abidin 1123060042
KATA PENGANTAR
Puja marilah kita panjatkan kepada dzat yang maha kuasa yang telah
menciptakan alam semesta beserta isinya yakni Allah SWT. Puji marilah kita
panjatkan kepada dzat Rabbul izzati yaitu Allah Yang Maha Suci. Syukur marilah
kita panjatkan kepada dzat robbul ghofur yang telah memberikan nikmat yang
sangat banyak kepada kita sehingga
tidaklah pantas kalau kita bebuat kufur.
Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah-limpahkan kepada
baginda junjunan alam, pembawa risalah ajaran islam, pemberantas kemaksiatan
yakni Nabi Besar Muhammad SAW. Kepada keluarganya, sahabat-sabatnya,
tabiit-tabi’in nya sampai kepada kita semua selaku umat yang memegang teguh
ajarannya. Amiin ya rabbal alamin
Penulis senantiasa bersyukur kepada Allah SWT yang mana berkat
kudrat dan iradat-Nya lah penulis dapat menyelsaikan pembuatan Karaya Tulis
Ilmiah ini. Penulis senantiasa mengucapkan beribu terimakasih kepada
pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam pembuatan makalah ini. Terutama
kepada orang tua kami yang sangat
berjasa kepada kami, kepada yang terhormat dosen mata kuliah Hukum
Tata Negara yang senantiasa
mentransper ilmu kepada kami sehingga kami mampu menyelsaikan tugas ini,dan
insya Allah akan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kami. Dan kepada seluruh
pihak yang telah membantu saya dalam pembuatan makalah ini khususnya kepada
teman-teman saya mahaiswa rekan
seperjuangan yaitu mahasiswa pai kelas C. Kalian dalah reka yang sangat baik
dan luar biasa yang insya Allah akan menjadi pemimpin bangsa yang akan merubah
nasib bangsa ini di masa yang akan datang.
Penulis sadar bahwa penulis masih dalam tahap belajar sehingga
dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, untuk
itu penulis mengucapkan beribu maaf.
Bandung, 21 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
................................................................................. I
DAFTAR ISI ................................................................................................ II
BAB I. PENDAHULUAN
A.
latar belakang Masalah ................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Demokrasi Indonesia……………….. 3
B.
Sejarah UUD 1945 sebagai
Konstitusi Negara Indonesia……. 7
BAB III. KESIMPULAN.......................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Berbicara
mengenai perjalanan demokrasi di indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pelaksanaan pasang surut demokrasi itu sendiri. Bangsa indonesia pernah
menerapkan tiga model demokrasi, yaitu demokrasi parlementer, demokrasi
terpimpin, dan demokrasi pancasila. Setiap fase tentunya memiliki karakteristik
yang merupakan ciri khas dari pelaksanaan tiap-tiap tiap fase demokrasi.
Menurut
Robert Dahl pandangan Yunani tentang demokrasi, bahwa warga Negara adalah
pribadi yang utuh yang baginya politik adalah aktivitas social yang alami dan
tidak terpisah secara tegas dari bidang kehidupan lain. Nilai-nilai tidak
terpecah tetapi terpadu karena itu mereka aktif dalam kegiatan politik. Namun
dalam prakteknya pula demokrasi Yunani dalam hal kewarganegaraannya merupakan
hal yang eksklusif, bukan inklusif. Persyaratan kewargaanegaraan adalah kedua
orang tua harus warga Athena asli. Jika orang asing aktif dan memberikan
sumbangan besar pada kehidupan ekonomi dan intelektual akan mendapat status
tertentu.
Eksistensi konstitusi dalam kehidupan
ketatanegaraan suatu negara merupakan sesuatu hal yang sangat krusial, karena
tanpa konstitusi
bisa jadi tidak akan terbentuk sebuah negara. Dalam lintasan sejarah hingga
awal abad ke-21 ini, hampir tidak ada negara yang tidak memiliki konstitusi. Hal ini menunjukkan betapa urgennya
konstitusi sebagai suatu perangkat negara. Konstitusi dan negara ibarat dua
sisi mata uang yang satu sama lain tidak terpisahkan.
Terdapat referensi
lama dalam buku karangan Budiardjo (1978: 96) “Didalam
negara – negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang
– Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah
sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang –
wenang. Dengan demikian diharapkan hak – hak warga negara akan lebih
terlindungi”.
Sebagai
negara yang berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal
dengan Undang – Undang Dasar 1945. Keberadaan dan perkembangan Undang – Undang
Dasar 1945 sebagai konstitusi di Indonesia mengalami sejarah yang sangat
panjang hingga akhirnya diterima sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
Menurut Kaelan (2007:89) sebagai berikut.
Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi
(hukum dasar), tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Sistem
ini memberikan penegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh
ketentuan – ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan –
ketentuan hukum lain merupakan produk konstitusional, Ketetapan MPR, Undang –
Undang dan sebagainya. Dengan demikian sistem ini memperkuat dan menegaskan
lagi sistem negara hukum seperti dikemukakan di atas.
B.
Rumusan
masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada
makalah ini adalah
1. Bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimana sejarah perkembangan konstitusi di
Indonesia ?
C.
Tujuan
penulisan
Adapun penulisan makalah ini selain bertujuan untuk
memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Tata Negara penulisan makalh
ini juga bertujuan untuk lebih memahami perkembangan demokrasi serta konstitusi
di negara indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Demokrasi Indonesia
1. Demokrasi Kerakyatan Pada Masa Revolusi
Periode
panjang pergerkan nasional yang didominasi oleh munculnya organisasi modern
digantikan periode revolusi nasional. Revolusi yang menjadi alat tercapainya
kemerdekaan merupakan kisah sentral sejarah indonesia. Semua usaha untuk
mencari identitas (jati) diri, semangat persatuan guna menghadapi kekuasaamn
kolonial, dan untuk membangun sebuah tatanan sosial yang adil akhirnya
membuahkan hasil dengan diproklamasikannya kemerdekaan indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945.
Pada
masa revolusi 1945 – 1950 banyak kendala yang dihadapi bangsa indonesia,
misalnya perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dengan
kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka
yang menentangnya dan antara kekuatan islam dalam kekutan sekuler. Di awal
revolusi tidak satupun perbedaan di antara bangsa indonesia yang terpecahkan.
Semua permasalahan itu baru dapat diselesaikan setelah kelompok-kelompok
kekuatan itu duduk satu meja untuk memperoleh satu kata sepakat bahwa tujuan
pertama bangsa indonesia adalah kemerdekaan bangsa indonesia. Pada akhirnya
kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi bersama-sama
berhasil mencapai kemerdekaan.
2. Demokratisasi Dalam Demokrasi Parlementer
Setelah
indonesi merdeka, kini menghadapi prospek menentukan masa depannya sendiri.
Warisan yang ditinggalkan pemerintahan kolonial berupa kemiskinan, rendahnya
tingkat pendidikan dan tradisi otoriter merupakan merupakan pekerjaan rumah
yang harus diselesaikan para pemiipin nasional indonesia. Pada periode tahun
1950-an muncul kaum nasionalis perkotaan dari partai sekuler dan partai-partai
islam yang memegang kendali pemerintahan. Ada sesuatu kesepakatan umum bahwa
kedua kelompok inilah yang akan menciptakan kehidupan sebuah negara demokrasi
di indonesia.
Undang
– Undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana baedan
eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta
para menteri yang mempunyai tanggung jawab politik. Setiap kabinet terbentuk
berdasarkan koalisi pada satu atau dua partai besardengan beberapa partai
kecil. Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai koalisi kurang dewasa
dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain
pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagi oposisi
kontruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan
segi-segi negatif dari tugas oposisi (Miriam Budiardjo, 70).
Pada
umumnya kabinet dalam masa pra pemilu tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih
lama dari rata-rata delapan bulan dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi
dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan dalam untuk
melaksanakan programnya. Pemilu tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang
diharapkan, malah perpecahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
tidak dapat dihindarkan. Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD
1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
Mengingat
kondisi yang harus di hadapi pemerintah indonesia pada kurun waktu 1950-1959,
maka tidak mengherankan bahwa pelaksanaan demokrasi mengaklami kegagalan karena
dasar untuk dapat membangun demokrasi hampir tidak dapat ditemukan. Mereka yang
tahu politik hanya sekelompok kecil masyarakat perkotaan. Para politisi
jakarta, meskipun mencita-citakan sebuah negara demokrasi. Kebanyakan adalah
kaum elite yang menganggap diri mereka sebagai pengikut suatu budaya kota yang
istimewa. Mereka bersikap paternalistik terhadap orang-orang yang kurang
beruntung yakni masyarakat pedesaan. Tanggung jawab mereka terhadap struktur
demokrasi parlementer yang merakyat adalah sangat kecil. Banguan indah sebuah
demokrasi parlementer hampir tidak dapat berdiri dengan kokoh.
3. Demokratisasi Dalam Demokrasi Terpimpin
Di
tengah-tengah krisis tahun 1957 dan pengalaman jatuh bangunnya pemerintahan,
mengakibatkan diambilmnya langkah-langkah menuju suatu pemerintahan yang oleh
Soekarno dinamakan Demokrasi Terpimpin. Ini merupakan suatu sistem yang
didominasi oleh kepribadian soekarno yang prakarsa untuk pelaksanaan demokrasi
terpimpin diambil bersama-sama dengan pimpinan ABRI (Hatta, 1966 : 7). Pada
masa ini terdapat beberapa penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945, misalnya
partai-partai politik dikebiri dan pemilu ditiadakan. Kekuatan-kekuatan politik
yang ada berusha berpaling kepada pribadi Soekarno untuk mendapatkan
legitimasi, bimbingan atau perlindungan. Pada tahun 1960, presiden Soekarno
membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan menggantikanya dengan DPRGR, padahal
dalam penjelasn UUD 1945 secara ekspilisit ditentukan bahwa presiden tidak
berwenang membubarkan DPR.
Melalui
demokrasi terpimpin Soekarno berusaha menjaga keseimbangn politik yang
mherupakan kompromi antara kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukan
kembali dan memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang
masa depan bangsanya, tetapi ia tidak mampu merumuskan sehingga bisa diterima
oleh pimpinan nasional lainnya. Janji dari demokrasi terpimpin pada akhirnya
tidak dapat terealisasi. Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 telah mengakhiri
periode demokrasi terpimpin dan membuka peluang bagi dilaksanakannya demokrasi
Pancasila.
4.
Demokratisasi Dalam Demokrasi Pancasila
Pada
tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde
Baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan
orde hampir seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan
melenyapkan rezim lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan
menerapkan demokrasi Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan
kembali azas negara hukum dirasakan oleh segenap warga negara, hak azasi
manusia baik dalam aspek kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan
penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional. Dalam rangka
mencapai hal tersebut, lembaga-lembaga dan tata kerja orde baru dilepaskan dari
ikatan-ikatan pribadi (Miriam, 74).
Sekitar
3 sampai 4 tahun setelah berdirinya Orde Baru menunjukkan gejala-gejala yang
menyimpang dari cita-citanya semula. Kekuatan – kekuatan sosial-politik yang
bebas dan benar-benar memperjuangkan demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik
dijinakkan sehingga menjadi kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai
kontrol sosial. Kekuatan sosial politik yang diikutsertakan dalam pemilu
dibatasi. Mereka tidak lebih dari suatu perhiasan dan mempunyai arti seremonial
untuk dipertontonkan kepada dunia internasional bahwa indonesia telah
benar-benar berdemokrasi, padahal yang sebenarnya adalah kekuasaan yang
otoriter. Partai-partai politik dilarang berperan sebagai oposisi maupun
kontrol sosial. Bahakan secara resmi oposisi ditiadakan dengan adanya suatu
“konsensus nasional”. Pemerintahan Soeharto juga tidak memberikan check and
balances sebagai prasyarat dari sebuah negara demokrasi (sarbini Sunawinata, 1998
;8).
Pada
masa orde baru budaya feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat subur. Kedua
sikap ini menganggap pemimpin paling tahu dan paling benar sedangkan rakyat
hanya patuh dengan sang pemimpin. Mental paternalistik mengakibatkan soeharto
tidak boleh dikritik. Para menteri selalu minta petunjuk dan pengarahan dari
presiden. Siakp mental seperti ini telah melahirkan stratifikasi sosial,
pelapisan sosial dan pelapisan budaya yang pada akhirnya memberikan berbagai
fasilitas khusus, sedangkan rakyat lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama
sekali. Berbagai tekanan yang diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang tidak pernah tercapai, mengakibatkan
pemerintahan Orde Baru mengalami krisis kepercayaan dan kahirnya mengalami keruntuhan.
5. Rekonstruksi Demokrasi Dalam Orde Reformasi
Melalui
gerakan reformasi, mahasiswa dan rakyat indonesia berjuang menumbangkan rezim
Soeharto. Pemerintahan soeharto digantikan pemerintahan transisi presiden
Habibie yang didukung sepenuhnya oleh TNI. Lembaga-lembaga di luar presiden dan
TNI tidak mempunyai arti apa-apa. Seluruh maslah negara dan bangsa indonesia
menjadi tanggung jawab presiden/TNI. Reformasi menuntut rakyat indonesia untuk
mengoreksi pelaksanaan demokrasi. Karena selama soeharto berkuasa jenis
demokrasi yang dipraktekkan adalah demokrasi semu. Orde Baru juga meninggalkan
warisan berupa krisis nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan
politik.
Tugas
utama pemerintahan Habibie ada dua, yakni pertama bekerja keras agar harga sembilan
pokok (sembako) terbeli oleh rakyat sambil memberantas KKN tanpa pandang bulu.
Kedua, adalah mengembalikan hak-hak rakyat guna memperoleh kembali hak-hak
azasinya. Agaknya pemerintahan “Orde Reformasi” Habibie mecoba mengoreksi
pelaksanaan demokrasi yang selama inidikebiri oleh pemerintahan Orde baru.
Pemerintahan habibie menyuburkan kembali alam demokrasi di indonesia dengan
jalan kebebasan pers (freedom of press) dan kebebasab berbicara (freedom of
speech). Keduanya dapat berfungsi sebagai check and balances serta memberikan
kritik supaya kekuasaan yang dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh.
Membangun
kembali indonesia yang demokratis dapat dilakukan melalui sistem keparataian
yang sehat dan pemilu yang transparan. Sistem pemilu multipartai dan UU politik
yang demokratis menunjukkan kesungguhan pemerintahan Habibie. Asalkan kebebasan
demokratis seperti kebebasan pers, kebebasab berbicara, dan kebebasan mimbar
tetap dijalankan maka munculnya pemerintahan yang KKN dapat dihindari.
Dalam
perkembanganya Demokrasi di indonesia setelah rezim Habibie diteruskan oleh
Presiden Abdurahman wahid sampai dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sangat signifikan sekali dampaknya, dimana aspirasi-aspirasi rakyat dapat bebas
diutarakan dan dihsampaikan ke pemerintahan pusat. Hal ini terbukti dari setiap
warga negara bebas berpendapat dan kebebasan pers dalam mengawal pemerintahan
yang terbuka sehingga menghindarkan pemerintahan dari KKN mungkin dalam
prakteknya masih ada praktik-praktik KKN di kalangan pemerintahan, namun
setidaknya rakyat tidak mudah dibohongi lagi dan pembelajaran politik yang baik
dari rakyat indonesia itu sendiri yang membangun demokrasi menjadi lebih baik.
Ada satu hal yang membuat indonesia dianggap negara demokrasi oleh dunia
Internasional walaupun negara ini masih jauh dikatakan lebih baik dari negara
maju lainnya adalah Pemilihan Langsung Presiden maupun Kepala Daerah yang
dilakukan secara langsung. Mungkin rakyat indonesia masih menunggu hasil dari
demokrasi yang yang membawa masyarakat adil dan makmur secara keseluruhan![1]
B.
Sejarah UUD 1945 sebagai
Konstitusi Negara Indonesia
UUD
“45 dirancang sejak 29 mei 1945 oleh Badan Penyelidikan Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI ) yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat. Tugas utamanya
adalah menyusun rancangan Undang-Undang sebagai salah satu persiapan Untuk
membentuk negara yang merdeka, namun anggota lembaga ini sibuk mengusung
ideologinya masing-masing ketika membicarakan masalah Ideologi negara
Akibatnya, pembahasan tentang rancangan UUD menjadi terbengkalai. Maka BPUPKI
dalam sidang pertamanya membentuki panitia kecil untuk merumuskan UUD yang
diberinama Panitia Sembilan[2].
Dan pada tanggal 22 juni 1945 Panitia Sembilan ini berhasil mencapai kompromi
untuk menyetujui sebuah naskah mukhodimah UUD yang kemudian diterima dalam
siding II BPUPKI tanggal 11 Julu 1945. Setelah itu Ir. Soekarno membentuk
panitia kecil pada tanggal 16 juli 1945 yang diketuai oleh Soepomo dengan tugas
menyusun rancangan UUD dan membentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang beranggotakan 21 orang. Sehingga UUD atau konstitusi Negara
Indonesia ditetapkan oleh PPKI pada hari sabtu tanggal 18 Agustus 1945,
Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang
bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. . Dengan demikian sejak itu Indonesia
telah menjadi suatu Negara modern karena telah memiliki suatu system
ketatanegaraan yaitu dalam UUD 1945[3].
1.
Periode berlakunya UUD 1945 18 Agustus 1945- 27 Desember 1949
Dalam
kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena
Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa
KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal
14 November 1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel (“Semi-Parlementer”) yang
pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar
dianggap lebih demokratis.[4]
2.
Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
Pada
masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer. Bentuk pemerintahan
dan bentuk negaranya federasi yaitu negara yang didalamnya terdiri dari
negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan
sendiri untuk mengurus urusan dalam negerinya. Namun karena tidak sesuai dengan
jati diri bangsa serta mencuat issu disintegrasi, maka kemudian Indonesia
berganti bentuk lagi menjadi Negara kesatuan Republik.
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir dengan
kemenangan di pihak Tentara Sekutu dan kekalahan di pihak Jepang, maka
kepergian Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah air Indonesia dimanfaatkan
oleh Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Namun, usaha
Pemerintah Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya tidak mudah karena
mendapat perlawanan yang sengit dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena
itu, Pemerintah Belanda menerapkan politik adu domba dengan cara mendirikan dan
mensponsori berdirinya beberapa negara kecil di berbagai wilayah nusantara,
seperti Negara Sumatera, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa
Timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan negara-negara yang terpecah-pecah itu
diharapkan pengaruh kekuasaan Republik Indonesia di bawah kendali pemerintah
hasil perjuangan kemerdekaan dapat dieliminir oleh Pemerintah Belanda.
Sejalan dengan hal itu, Tentara Belanda
melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun1948 untuk maksud
kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak, maka atas pengaruh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal
2 November 1949 diadakan Konperensi Meja Bundar (Round Table Conference) di
Den Haag. Konperensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan ‘Bijeenkomst
voor Federal Overleg’ (B.F.O.) serta wakil Nederland dan Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konperensi Meja Bundar tersebut berhasil menyepakati tiga hal, yaitu:
1. Mendirikan Negara
Republik Indonesia Serikat.
2. Penyerahan
kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal, yaitu (a) piagam penyerahan kedaulatan
dari Kerajaan Belanda lepada Pemerintah RIS; (b) status uni; dan (c)
persetujuan perpindahan.
3. Mendirikan uni
antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda
Naskah konstitusi Republik Indonesia
Serikat disusun bersama oleh delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO ke
Konperensi Meja Bundar itu. Dalam delegasi Republik Indonesia yang dipimpin
oleh Mr. Mohammad Roem, terdapat Prof. Dr. Soepomo yang terlibat dalam
mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar tersebut. Rancangan UUD itu disepakati
bersama oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan sebagai Undang-Undang Dasar
RIS. Naskah Undang- Undang Dasar yang kemudian dikenal dengan sebutan
Konstitusi RIS itu disampaikan kepada Komite Nasional Pusat sebagai lembaga
perwakilan rakyat di Republik Indonesia dan kemudian resma mendapat persetujuan
Komite Nasional Pusat tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Selanjutnya,
Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Republik
Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS Tahun 1949 itu, wilayah Republik
Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara federal Republik Indonesia
Serikat. Karena, sesuai ketentuan Pasal 2 Konstitusi RIS, Republik Indonesia
diakui sebagai salah satu negara bagian dalam wilayah Republik Indonesia
Serikat, yaitu mencakup wilayah yang disebut dalam persetujuan Renville. Dalam
wilayah federal, berlaku Konstitusi RIS 1949, tetapi dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai salah satu negara bagian tetap berlaku UUD 1945. Dengan
demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal ketatanegaraan Indonesia, baru
berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa berlakunya Konstitusi RIS, yaitu
tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS 1950 resmi diberlakukan.
Konstitusi RIS yang disusun dalam
rangka Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya
juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Disadari bahwa lembaga
yang membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah representatif. Karena itu, dalam
Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan ketentuan bahwa Konstituante
bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini, jelas sekali artinya bahwa
Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den Haag itu hanyalah bersifat sementara
saja.[5]
3.
Periode UUDS 1950 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
Perubahan
bentuk Negara secara otomatis juga membuat perubahan dalam konstitusinya. Mulai
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Konstitusi Indonesia berubah menjadi Undang-Undang
Sementara Republik Indonesia. Pada periode UUDS 50 ini diberlakukan
sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada
periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak
berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai
atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi
Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat
Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok,
karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden
menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk
mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959
mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD
1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
Bentuk negara federal nampaknya memang
mengandung banyak sekali nuansa politis, berkenaan dengan kepentingan
penjajahan Belanda. Karena itu, meskipun gagasan bentuk negara federal mungkin
saja memiliki relevansi sosiologis yang cukup kuat untuk diterapkan di Indonesia,
tetapi karena terkait dengan kepentingan penjajahan Belanda itu maka ide
feodalisme menjadi tidak populer. Apalagi, sebagai negara yang baru terbentuk,
pemerintahan Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap konsolidasi kekuasaan
yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk negara kesatuan dinilai jauh lebih
cocok untuk diterapkan daripada bentuk negara federal.
Karena itu, bentuk negara federal RIS ini
tidak bertahan lama. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan itu, mula-mula tiga
wilayah negara bagian, yaitu Negara Republilk Indonesia, Negara Indonesia Timur
dan Negara Sumatera Timur menggabungkan diri menjadi satu wilayah Republik
Indonesia. Sejak itu wibawa Pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi
berkurang, sehingga akhirnya dicapailah kata sepakat antara Pemerintah Republik
Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali bersatu
mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan itu dituangkan dalam
satu naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950, yang pada intinya menyepakati
dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam rangka persiapan ke arah itu, maka
untuk keperluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang Dasar, dibentuklah statu
Panitia bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah selesai, rancangan
naskah Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya,
naskah UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus, 1950,
yaitu dengan ditetapkannya UU No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini bersifat mengganti
sehingga isinya tidak hanyamencerminkan perubahan terhadap Konstitusi Republik
Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS itu
dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950.
Seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950
ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan Pasal 134
yang mengharuskan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah segera menyusun
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara Tahun 1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari Konstitusi RIS yang
tidak sempat membentuk Konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat
UUDS 1950 telah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil
diselenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.
Pemilihan Umum ini diadakan berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953.
Undang-Undang ini berisi dua pasal. Pertama berisi ketentuan
perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; Kedua berisi
ketentuan mengenai tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950 itu menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. Atas dasar
UU inilah diadakan Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya
Konstituante yang diresmikan di kota Bandung pada tanggal 10 November 1956.
Majelis Konstituante ini tidak atau belum
sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru
ketika Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa Konstituante telah gagal, dan atas
dasar itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali
UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia selanjutnya. Menurut Adnan
Buyung Nasution dalam disertasi yang dipertahankannya di negeri Belanda,
Konstituante ketika itu sedang reses, dan karena itu tidak dapat dikatakan
gagal sehingga dijadikan alasan oleh Presiden untuk mengeluarkan dekrit. Namun
demikian, nyatanya sejarah ketatanegaraan Indonesia telah berlangsung
sedemikian rupa, sehingga Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 itu telah menjadi
kenyataan sejarah dan kekuatannya telah memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai
UUD negara Republik Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Memang kemudian timbul kontroversi yang luas
berkenaan dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden yang dituangkan dalam
bentuk Keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum yang sah untuk
memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Profesor Djoko Soetono
memberikan pembenaran dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit Presiden yang diberi
baju hukum dalam bentuk Keputusan Presiden itu dengan prinsip ‘staatsnoodrecht’.
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim[8], prinsip ‘staatsnoodrecht’ itu pada pokoknya sama dengan
pendapat yang dijadikan landasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
masa Orde Baru untuk menetapkan Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah
Orde Baru itu saja menggambarkan pendirian MPRS bahwa masa antara tahun 1959
sampai tahun 1965 adalah masa Orde Lama yang dinilai tidak mencerminkan
pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Oleh karena itu, MPRS
mengeluarkan TAP No.XX/MPRS/1966 tersebut dengan asumsi bahwa perubahan drastis
perlu dilakukan karena adanya prinsip yang sama, yaitu keadaan darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas dari kontroversi itu, yang jelas,
sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945 terus berlaku dan
diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap sebagai UUD sementara.
Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan yang makin lama makin terpusat di
masa Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi yang statis karena
pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian selama 32 tahun,
akibatnya UUD 1945 mengalami proses sakralisasi yang irrasional selama kurun
masa Orde Baru itu. UUD 1945 tidak diizinkan bersentuhan dengan ide perubahan
sama sekali. Padahal, UUD 1945 itu jelas merupakan UUD yang masih bersifat
sementara dan belum pernah dipergunakan atau diterapkan dengan sungguh-sungguh.
Satu-satunya kesempatan untuk menerapkan UUD 1945 itu secara relatif lebih
murni dan konsekuen hanyalah di masa Orde baru selama 32 tahun. Itupun
berakibat terjadinya stagnasi atas dinamika kekuasaan. Siklus kekuasaan
berhenti, menyebabkan Presiden Soeharto seakan terpenjara dalam kekuasaan yang
dimilikinya, makin lama makin mempribadi secara tidak rasional. Itulah akibat
dari diterapkannya UUD 1945 secara murni dan konsekuen.[6]
4.
Periode kembalinya ke UUD 1945 5 Juli 1959-1966
Karena
situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur
kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu
isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada
masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.
- MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
- Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
5.
Periode UUD 1945 masa orde baru 11 Maret 1966- 21 Mei 1998
Pada
masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang
dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33
UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan
sumber alam kita.
Pada
masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”,
diantaranya melalui sejumlah peraturan:
- Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983[7].
6.
Periode 21 Mei 1998- 19 Oktober 1999
Pada
masa ini dikenal masa transisi. Yaitu masa sejak Presiden Soeharto digantikan
oleh B.J.Habibie sampai dengan lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI.
7.
Periode Pasca Reformasi (Amandemen)
Setelah
Reformasi banyak kalangan yang menginginkan dilakukannya perubahan (amandemen)
terhadap UUD 1945. Tujuan dilakukannya perubahan adalah untuk menambah sesuatu
yang belum ada aturannya dalam konstitusi serta untuk merespon tuntutan zaman.
Para pengamat politik berpandangan bahwa keberadaan UUD 1945 didesain oleh para
pembuatnya bersifat sementara karena belum menentunya kondisi Negara pada saat
itu. Selain itu Undang-Undang dasar 1945 juga telah diselengkan oleh pemerintah
orde baru untuk melanggengkan Kekuasaanya.
Salah
satu hal yang berubah dengan adanya amandemen adalah keberadaan lembaga
Negara. Keberadaan lembaga ini cukup vital karena pada masa sebelumnya
berbagai macam lembaga Negara dikendalikan oleh satu orang saja, yaitu
Presiden. Meskipun secara formal terdapat aturan untuk memisahkan antara
lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif namun karena ketiadaan aturan yang
jelas, maka aturan tersebut dapat dimanipulasi. Oleh sebab itu setelah
reformasi mencoba diperbarui agar lebih jelas pola pemisahannya serta memunggkinkan
adanya control secara baik diantara berbagi macam lembaga Negara. Dengan
adanya check and balances maka bisa mengurangi penumpukan kekuasaan dan
penyalahgunaan wewenang [8].
Dalam
kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
- Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 oktober 1999 : Perubahan Pertama UUD “45
- Sidang Umum MPR 2000, tanggal 7-18 Oktober 2000: Perubahan Kedua UUD “45
- Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001: Perubahan Ketiga UUD “45
- Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002: Perubahan Keempat UUD “45
Perubahan UUD 1945 merupakan salah
satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada
runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada
manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan
ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya
manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945
bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18
Agustus 1945[9].
Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan
momentumnya di era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden membentuk Tim
Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya terdapat Kelompok
Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut menghasilkan
pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat
kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan UUD 1945
menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di
MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:[10]
1. sepakat untuk
tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2. sepakat untuk
mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. sepakat untuk
mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan
agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4. sepakat untuk
memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam
pasal-pasal UUD 1945; dan
5. sepakat untuk
menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara
bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR [11]dari
tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002
bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas
melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan
Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama pada tahun 1999,
Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan
Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi UUD
1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan
materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang
telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi
konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai
Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan
dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai dengan
tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu tepatnya
dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak
sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di
sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD
1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan
sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945,
yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21.
Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya
berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Gelombang perubahan atas naskah UUD
1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI
sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan
materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan lebih banyak
lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang
Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang
Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV
tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27
pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka
isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah
dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, agenda perubahan
dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil menetapkan
naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001. Bab-bab UUD 1945
yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini adalah Bab I tentang
Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III
tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab
VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, dan Bab
VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23
pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari segi jumlahnya dapat dikatakan
naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan materinya. Tapi di
samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian besar sangat mendasar.
Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya
dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif materi
Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara
kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan Sangay mendasar pula.
Perubahan yang terakhir dalam
rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun 2002,
adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002.
Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan
pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan
Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat “Perubahan tersebut
diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c)
pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat
(2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang
Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya
ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau
penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat
(2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara keseluruhan naskah Perubahan
Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari
naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang
mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD.
Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam rumusan
pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar
berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945
pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal II
Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya
perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian,
jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang
selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi
diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan
dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah
tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat
naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam
Penjelasan UUD 1945 tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Konstitusi
adalah instrument wajib yang harus dimiliki oleh suatu Negara, tanpa Konstitusi
Negara tidak akan berjalan dengan baik, karena arah dari erjalanan suatu Negara
ditentukan oleh Konstitusi itu sendiri. Meskipun para ilmuan memiliki banyak
definisi tentang Konstitusi namun, secara umum Konstitusi adalah
ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu Negara baik dalam bentuk tertulis
maupun tidak tertulis.
UUD
1945 sebagai Konstitusi Negara Indonesia telah mengalami sejarah yang sangat
panjang dan telah mengalami pasang surut serta perubahan-peubahan, dari awal
pembentukan hingga proses amandemen. Hal ini adalah agar terwujud suatu
kesempurnaan yang dapat mewujudkan cita-cita bangsa. Dan dengan masalah-masalah
yang dihadapi bangsa Indonesia diharapkan dapat menjadikan bangsa kita menjadi
lebih dewasa dan lebih bijak dalam proses berbangsa dan bernegara.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa upaya
(a) pembentukan Undang-Undang Dasar, (b) penggantian Undang-Undang Dasar, dan
(c) perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar. Pada tahun 1945,
Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk atau disusun oleh Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) sebagai hukum dasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada tahun 1949, ketika bentuk Negara
Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federasi), diadakan
penggantian konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi Republik
Indonesia Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun 1950, ketika bentuk
Negara Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan,
Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun Undang- Undang Dasar baru
sama sekali dengan dibentuknya lembaga Konstituante yang secara khusus
ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru. Setelah Konstituante terbentuk,
diadakanlah persidangan-persidangan yang sangat melelahkan mulai tahun 1956
sampai tahun 1959, dengan maksud menyusun Undang-Undang Dasar yang bersifat
tetap. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa usaha ini gagal diselesaikan,
sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusannya
yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain
membubarkan Konstituante dan menetapkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar
1945 menjadi hukum dasar dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perubahan dari Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945 ini tidak ubahnya bagaikan tindakan
penggantian Undang-Undang Dasar juga. Karena itu, sampai dengan berlakunya
kembali Undang-Undang Dasar 1945 itu, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
modern belum pernah terjadi perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar,
melainkan baru perubahan dalam arti pembentukan, penyusunan, dan penggantian
Undang-Undang Dasar. Sementara perubahan UUD 1945 dalam arti pembaharuan
Undang-Undang Dasar, baru terjadi pada era reformasi pada tahun 1998, yaitu
setelah Presiden Soeharto berhenti dan digantikan oleh Presiden Prof. Dr. Ir.
Bacharuddin Jusuf Habibie.
UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana
terakhir diubah pada tahun 1999, 2000, 2001 sampai tahun 2002 merupakan satu
kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia di masa depan dalam satu
naskah Undang-Undang Dasar yang mencakupi keseluruhan Hukum Dasar yang sistematis
dan terpadu secara lebih utuh. Semula materi muatan naskah asli UUD 1945 berisi
71 butir ketentuan, setelah perubahan menjadi 199 butir ketentuan yang isinya
mencakup dasar-dasar normative yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool
of social and political control) terhadap penyimpangan dan penyelewengan
dalam dinamika perkembangan zaman dan sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool
of social and political reform) serta sarana perekayasaan (tool of
social and political engineering) ke arah cita-cita kolektif bangsa.
Meskipun perubahan-perubahan UUD 1945
tersebut, meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945.. Namun sesuai dengan
kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No.
IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat
cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan
kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus
hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat
tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah
kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische
grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di
antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Inilah yang
oleh William G. Andrews disebut sebagai Kesepakatan (consensus)
pertama.
Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan kesepakatan pertama penyangga
konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945, maka tidak
berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan Negara
Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan
cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna
Pancasila sebagai ideologi terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem
yang demokratis dan bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
·
A.G. Pringgodigdo, “Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia”, majalah Hukum dan Masyarakat,
Tahun III No.2, Mei 1958
·
Jimly Asshidiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945
Terhadap Pembangunan Hukum Masional, Kontsitusi Pres, Jakarta,
2005,
·
Khoirul Anam, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan untuk perguruan tinggi, Yogyakarta: Inti
Media, 2011
[1]
Sumber :
http://candra.blog.fisip.uns.ac.id/2010/10/18/sejarah-perkembangan-demokrasi-di-indonesia/
[2]
Ibid,
hlm 143-144
[3]
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945
[4]
A.G. Pringgodigdo, “Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia”, majalah Hukum dan Masyarakat, Tahun III No.2, Mei 1958, hal.
3-26.
[5] http://bentangkusuma.wordpress.com/2011/06/24/perkembangan-konstitusi-di-indonesia/
[7]
Ibid
[8]
Khoirul Anam, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan untuk perguruan tinggi, Yogyakarta: Inti Media,
2011 hlm. 145-146
[9]
Jimly Asshidiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Masional,
Kontsitusi Pres, Jakarta, 2005, hal. 5
[10]
Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR
No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
[11]
Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi
berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang
Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Casino Bonus & Slots
BalasHapusCODES 바카라 총판 for casinos. 3 3 토토 강인경 마루에몽 CasinoBonusOddsTos review✔️ Casino 스포츠 토토 하는 법 BonusOddsTos casino review✔️ Casino Bonus 메이플 캐릭터 슬롯 ❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱❱.