HUKUMAN GANGGUAN KEAMANAN (HIRABAH) PERSPEKTIF TEOLOGIS,
FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS, DAN POLITIS
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi salahsatu tugas Tafsir Ahkam Jinayah
Dosen
: Drs. H. Asep Arifin., M.Ag.
Oleh
:
Kausar
Abidin (1123060042)
Hukum
pidana Islam/VI/A
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015/2016
Daftar
Isi
Kata
Pengantar.................................................................................................................. i
Daftar
Isi............................................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN
Latar
Belakang 1
Rumusan
Masalah............................................................................................................. 2
Tujuan ............................................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Hukuman Gangguan Keamanan (Hirabah)....................................................... 3
B.
Bukti Bukti Tindak Pidana Hirabah 8
C.
Perspektif Teologis, Filosofis,
Sosiologis, Yuridis, dan Politis 9
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan 15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 15
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya dan senantiasa
meridhai amal ibadah kita. Sholawat serta salam semoga selamanya tetap tercurah
limpahkan kepada baginda alam yakni Nabi besar Muhammad SAW.
Melalui karya tulis
ilmiyah ini saya ucapkan terimakasih kepada dosen kami yang telah memberikan
pencerahan dalam merangkai kata demi kata untuk menjadi sebuah kalimat dalam
sebuah karya ilmiah ini yang tentunya masih jauh dalam kesempurnaan, besar
harapan dengan melalui karya tulis ilmiah ini mencakup pembahasan-pembahsan
mengenai HUKUMAN
GANGGUAN KEAMANAN (HIRABAH) PERSPEKTIF TEOLOGIS, FILOSOFIS,
SOSIOLOGIS, YURIDIS, DAN POLITIS. dan kami bisa belajar menulis dari literatur yang kami fahami, selain
mencoba memahami literatur yang kami terima juga menjadi bahan ajar yang sangat
bermanfaat bagi kami semua.
Besar harapan dengan belajarnya
menulis karya ilmiah ini kami mendapat kesempatan berlatih supaya menjadi lebih
sesuai dengan literatur yang sebenarnya. Akhinya, hanya Allah-lah yang dapat
memberikan balasan yang setimpal terhadap amal baik kita Semoga amal ibadah dan
kerja kita senantiasa mendapatkan maghfirah dan ampunannya. Amiin...
Bandung,06 April 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hirabah adalah
pembegalan (Qat’u at-tariq) atau pencurian besar menemakan pencurian dengan
pembegalan adalah bentuk majas, bukam hakikat, karena pencurian adalah
pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan pembegalan adalah pengambilan
harta secara terang-terangan. Akantetapi, dalam pembegalan terdapat bentuk
sembunyi-sembunyi, yaitu sembunyinya pelaku dari imam (penguasa atau kepala
negara) dan orang yang mewakilinya demi keamanan. Karenanaya, pencurian tidak
dinamakan pembegalan kecuali ia memenuhi beberapa ketentuan yang membuatnya
dianggap sebagai pencurian besar. Jika dinamakan pencurian saja, ungkapan
tersebut tidak akan diahami sbagai pembegalan. Adanya beberapa ketentuan ini
berarti adanya majas.
Law
is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah
dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan
tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip
oleh Prof Lili Rasyidi. Perdebatan mengenai hububngan hukum dan politik
memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran
positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk
politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan
aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum
dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada
dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan
umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Memperhatikan
perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang
spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan
Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari
berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang
berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian
besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum
tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan hukuman gangguan pada keamanan (Hirabah).?
2.
Bagaimana hukuman bagi
pengganggu keamanan (Hirabah).?
3.
Apa bukti dari tindak
pidana (Hirabah).?
4.
Bagaimana perspektif Teologis,
Filosofis, Sosiologis, Yuridis, dan Politis. Bagi hukuman mati (Hirabah).?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui apa yang
dimaksud dengan hukuman gangguan pada keamanan (Hirabah)!
2.
Mengetahui bagaiman
hukuman bagi pengganggu keamanan (Hirabah)!
3.
Menegtahui apa bukti
dari tindak pidana (Hirabah)!
4.
Mengetahui Bagaimana
perspektif Teologis, Filosofis, Sosiologis, Yuridis, dan
Politis. Bagi hukuman mati (Hirabah)!
BAB II
PEMBAHAAN
A.
Hukuman Gangguan Keamanan (Hirabah)
Hukum islam
telah menetapkan emapat hukuman bagi tindak pidana gangguan keamanan (hirabah):[1]
1.
Hukuman mati biasa
2.
Hukuman mati disalib
3.
Potong tanagn dan kaki, dan
4.
Pengasingan.
Firman Allah SWT,
إِنَّمَا
جَزَٰٓؤُاْ ٱلَّذِينَ يُحَارِبُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَسۡعَوۡنَ فِي ٱلۡأَرۡضِ
فَسَادًا أَن يُقَتَّلُوٓاْ أَوۡ يُصَلَّبُوٓاْ أَوۡ تُقَطَّعَ أَيۡدِيهِمۡ وَأَرۡجُلُهُم
مِّنۡ خِلَٰفٍ أَوۡ يُنفَوۡاْ مِنَ ٱلۡأَرۡضِۚ ذَٰلِكَ لَهُمۡ خِزۡيٞ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ
وَلَهُمۡ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ ٣٣
Artinya”
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar (QS. Al-Maidah:33)
Diriwayatkan
Ibnu Abbas dalam Nilul Haram, adalah sebagai berikut:
اذا قتلواواخذواالم ل قتلوا وصابوا
واذقتلواا ولم يأ خذواالم ل قتلوا ولم يصلبوا
واذ اخذواالم ل ولم يقتلوا قطعت ايد يهم وار
جلهم من حلاف
واذا اخافزا السلبيل ولم يأ خذوا المال نفوا من
الارض
Artinya’’
Pertama: Apabila dia
membunuh dan sekaligus mengambil harta korban, maka hukumannya adalah dibunuh
dan disalib. Kedua: Apabila ia membunuh tetapi tidak mengambil
harta korban maka hukumannya adalah dibunuh tidak disertai disalib.Ketiga:
Apabila dia hanya mengambil hartanya saja dan tidak membunuh maka hukumannya
adalah dipotong tangan dan kaki secara silang. Keempa: Apabila
dia hanya menakut-nakuti membuat keonaran, maka hukumannya diasingkan keluar
wilayah.[2]
1.
Hukuman Mati
Hukuman ini
wajiba dijatuhkan kepada pengganggu keamanan yang melakukan pembunuhan. Hukuman
ini adalah hukuman hudud, bukan qishas sehingga tidak bisa dimaafkan oleh wali
korban. Hukuman ini didasarkan atas ilmu pengetahuan dan karakter manusia.[3]
Ketika
melakukan pembunuhan pelaku hirabah didorong oleh motivasi atau naluri untuk
hidup. Bila ia menyadari bahwa ketika membunuh orang lain itu sebenarnya ia
membunuh dirinya sendiri, biasanya ia tidak akan meneruskan perbuatannya. Jadi,
hukuman mati yang telah ditetapkan oleh hukum islamakan menolak faktor-faktor
psikologis yang mendorong dilakukannya pembunuhan dengan satu-satunya faktor
psikologis yang dapat mencegah dilakukannyatindak pidana tersebut.[4]
firman Allah,
وَٱبۡتَغِ
فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ
وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
Artinya’’
Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan (QS. Al-Qasaas:77)
2.
Hukuman Mati disalib
Rasulullah SAW
Bersabda,
“Sesungguhnya,
Allah SWT telah menjadikan kebaiakan atas segala sesuatu. Jka kalian membuuh,
berbuat baik dalam membunuh.”[5]
“Sesungguhnya
sebaik-baiknya manusia dalam membuh adalah orang yang beriman.”[6]
“Semoga
AllahSWT melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang mempunyai nyawa sebagai
tujuan (kepentingan).”[7]
Hukum ini
wajib dijatuhkan terhadap pengganggu keamanan yang melakukan pembunuhan dan
perampasan harta. Jadi hukuman ini dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian
harta sekaligus. Artinya hukuman ini adalah hukuman duaatsa tindak pidana, baik
kedua tindak pidana tersebut saling berhubungan maupun pembunuhan yang
dilakukan bertujuan untuk mempermudah melakukan perampasan harta.[8] Dasar
penjatuhan mati disalib tidak berbeda dengan dasar penjatuhan hukuman mati.
Akan tetapi, keinginan mendapatkan harta menjadi didorong melakukan tindak
pidana ini. Karenaya hukumannya harus diberatkan sehingga apabila ia berpikir
dan berniat untuk melakukan tindak pidana ini lalu ia teringat akan hukuaman
berat yang akan didapatkannya, ia akan segera mengurungkan niat melakukan
tindak pidana tersebut.[9]
Menurut Imam
Asy-syafi’i dan Ahmad bin Hambal, hukumana mati didahulukan daripada
penyaliban. Alasan mereka, karena Nas Al-Qur’an mendahulukan
penyebutan hukuman mati daripada hukuman salib sehingga pelaksanaan hukumannya
harus didahulukan. Selain itu melakukan penyaliban sebelum hukuman mati adalah
penyiksaan terhadap orang yang dikenakan hukuman tersebut, sedangkan hukum
islam melarang adanya hukuman penyiksaan.[10]
Pada masa
sekarang hukuman mati dengan disalib sama dengan hukuman mati dengan ditembak,
dimana terhukum diikat pada kayu berbentuk salib kemudian ditembak. Hukum islam
telah membedakan antara hukuman pembunuhan saja dan hukuman membunuh disertai
dengan perampasan harta, karena diantar dua tindak pidana ini berbeda dan
mempunya hukuman yang berbeda pula.
Pada dasarnya
hukuman penyaliban tidak mempunyai pengaruh apapun kepada pelaku setelah ia
mati tetapi pengaruhnya terhadap masyarakat sangat besar bahkan terkadang dapat
menjadi satu-satunya faktor yang menunjukan nilai hukuman mati bagi orang
banyak, khususnya bagi para pengganggu keamanan yang lain.[11]
3.
Pemotongan Anggota Badan (Al-Qot’u)
Hukuman ini
harus dijatuhkan kepada pelaku hirobah (gangguan keamanan) jika ia mengambil
harta, tetapi tidak melakukan pembunuhan. Hukuman bagi pelaku hirobah sama
dengan hukuman ini tidak diragukan lagi adalah hukuman yang adil kareana bahaya
gangguan keamanan tidak kalah dengan bahaya pencurian biasa dan karena
kesempatan pengganggu keamanan untuk berhasil dan meloloskan diri lebih banyak
daripada kesempatan pencurian biasa.
Di indonesia
pencurian bisa diancam dengan hukuman penjara selam-lamanya lima tahun (pasal
36), sedangkan pelaku pencurian yang mengakibatkan kematian dihukum penajra
Lima belas tahun atau mengakibatkan mati dan luka berat. Adapun pencurian yang
dilaikukan duao orang tau lebih diancam dengan hukuman mati atau penjara
selama-lamanya dua puluh tahun (pasal 265 ayat 3 dan 4).[12]
4.
Hukuman Pengasingan (pembuangan)
Hukuman ini
ditetapkan bagi pelaku hirobah apabila ia hanya menakut-nakuti orang, tetapi
tidak mengambil harta dan tidak membunuh.[13]
Alasannya
karena karena seseorang yang melakukan gangguan keamanan dalam bentuk ini
bermaksud untuk mencari popularitas. Karena itu, ia harus diasingkan sehingga
menjadikannya tidak dikenal. Bisa jadi, alasan ini pelaku menakut-nakuti orang
lain adalah untuk melenyapkan keamanan dijalan-jalan umum yang termasuk bagian
dari suatu negeri. Aslan manapun yang benar yang pasti dalam hal ini, faktor
psikologis yang mendorong dilakukannya tindak pidana ini dilawan dengan faktor
psikologis yang dapat menghindarkannya dari tindak pidana tersebut.
Menurut
pendapat yang kuat pengasingan dilakukan dari satu negeri kenegeri lain yang
masuk dalam batas wilayah darul islam dengan syarat jarak antara kedua negara
tersebut tidak kurang dari jarak qasar, yaitu satu hari perjalanan sedang
(tidak cepat tidak lambat). Ini menurut Imam Malik, asy syafi’i dan Ahmad bin
Hambal. Adapun menurut Abu Hajifah tiga hari perjalanan sedang dan menurut
sebagian fuqaha yang lain sejarak sepuluh mil (1 mil=1.609 meter).[14]
Tidak ada
batasan lamanya hukuman kurungan tersebut , tetapi tergantung pada tobat dan
tanda-tanda kebaikan pada diri pelaku sehingga apabila tampak tobat dan
kebaikannya ia dapat dibebaskan.
B.
Bukti Bukti Tindak Pidana Hirabah
Tindak pidana
hirobah bisa dibuktikan berdasarkan saksi dan pengakuan pelaku. Saksi tindak
pidana ni cukup dua orang. Permasalahan tentang saksi dan pengakuan atas tindak
idana pencurian juga tak berbeda dengan tindak pidana hirabah.
Jika saksi
tidak memenuhi syarat, misalnya hanya terdiri atsa seorang laki-laki atau satu
saksi laki0laki dan perempuan, atau satu orang yang beraksi berdasarkan yang ia
lihat dan satu lagi bersaksi atsa apa yang ia denger, atau semuanya saksi
dengar atau tidak ada saksi dan tertuduh mengaku tetapi menarik kembali
pengakuannya.[15]
C.
Perspektif Teologis, Filosofis,
Sosiologis, Yuridis, dan Politis.
1. Pandangan
Aliran Positivis Tentang Hukum
Aliran
positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof
Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian
adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup
bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat
oleh negara. (Achmad Ali, 2002, : 265). Untuk memahami positivisme hukum tidak
dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan dilakukannya
validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang
diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya
kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci. Menurut
Fletcher (Fletcher 1996 : 33) Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama
tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat
menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang
tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam
perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam
undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan
merubahnya.[16]
Positivisme
hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan
undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat
diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai
hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral,
walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat
berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang
mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem
hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan
memberlakukannya sebagai hukum.
Lebih
jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari
pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara
lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggeris yang mewakili
pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan
Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili
pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Menurut
John Austin (seperti dikutip Achmad Ali, Ibid, hlm. 267), hukum adalah perintah
kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan
ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat Austin
sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai kedaulatan negara yang memiliki
dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan sisi
internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari
penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan
ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap
kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi. Menurut pandangan Austin (Lili
Rasyidi, 2001, : 58), hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat
tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara tegas dari
keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat
unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.
Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatan sebagai positive
law.[17]
Selanjutnya Lili
Rasyidi (Ibid, : 59-60) menyimpulkan pokok-pokok ajaran Analytical
Jurisprudence dari Austin, yaitu :[18]
- Ajarannya tidak berkaitan dengan
soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain terbeut berada di luar
hukum;
- Walau diakui adanya hukum moral
yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting
bagi hukum.
- Pandangannya bertolak belakang
dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah;
- Hakekat dari hukum adalah perintah.
Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa.
- Kedaulatan adalah hal di luar
hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak
perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam
kenyataan;
- Ajaran Austin kurang/tidak
memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dari
kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal
dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran
positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu
diketengahkan ( Ibid. : 60). Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat
murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht
yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti
ajaran hukum murni Hans Kelsen (Ibid. : 61) adalah bahwa hukum itu harus
dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis,
politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi
betrlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang
terlepas dari das sein / kenyataan sosial.
Sedangkan
ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu
hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada
ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang paling tanggi
adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan
yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi.
Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan
tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang
senyatanya itu adil atau tidak adil.
a)
Selanjutnya Prof.
H.L.A. Hart (seperti dikutip oleh Lili Rasyidi, Ibid. : 57), menguraikan
tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai berikut:Pengertian
bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
b)
Pengertian bahwa tidak
ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan moral atau hukum
sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang sebenarnya;
c)
Pengertian bahwa
analisis konsepsi hukum adalah :
1.
mempunyai arti penting,
2.
harus dibedakan dari
penyelidikan :
a.
historis mengenai
sebab-musabab dan sumber-sumber hukum,
b.
sosiologis mengenai
hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan
c.
penyelidikan hukum
secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi
hukum dan lain-lainnya.
Pengertian
bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam
mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan
alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan
sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran
moral; Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau
dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan
argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.[19]
Dengan
demikian kita dapat pula mengatakan, karena negara adalah ekspresi atau
merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam masyarakat, maka
hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang
tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan
cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas
dan rumit, pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik,
yang dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi
dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik (Ibid, :
93).
3.
Pengaruh Politik Dalam
Pembentukan Hukum di Indonesia
A.
Peranan Struktur dan
Infrastruktur Politik
Menurut
Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan
struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan
alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada
keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi,
sosial, dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii).
Walaupun
kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan
maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika
pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur
kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan
terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik
dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi,
kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur
sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Pengertian hukum yang
memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat
kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi
harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process)
yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan (Lihat Mieke Komar at.
al, 2002 : 91).
Seperti
telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh
kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia
adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari
dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di
Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional
(Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di
tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang
disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar
itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum.
Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan
oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan
perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.
Pengaruh
kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan
berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances,
seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika
diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan
kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing
lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara
dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”,
yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar,
tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur
berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.
Dengan
sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa
dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik
pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut.
Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka
dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk
hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada
Mahkamah Agung.
B.
Pengaruh Kelompok
Kepentingan dalam Pembentukan Hukum
Di
luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik,
terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi
produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan
tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan
perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi,
seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan,
organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain.
Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat
yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang
Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kenyataan
di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan
hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan
masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan,
dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter,
maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai
dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar
dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh
pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan
diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan
adalah soal hidup mati (Walter Lippmann, 1999 : 21).[20]
Kenyataan
yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap
pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika
tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu
Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek
opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika
tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan
yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.
C.
Sistem Politik
Indonesia
Untuk
memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu
dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana
kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme
pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal
penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum.[21]
Beberapa
prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini
adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional
serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling
mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya
sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur
utama, yaitu pemisahan kekuasaan – check and balances – prinsip
due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan
serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional
mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak
hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang
diberikan konstitusi.
Dengan
prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala
bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik,
maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai
struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi
(keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling
menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang
disepakati bersama.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukuman atas
tindak pidana penggaggu keamanan Hirabah adalah hukuman mati bagi pelaku
tindak pidana hirobah. Karna dalam pembahasan diatas bahwa pelaku yang
mengganggu ketentraman orang lain berdasarkan tindak pidana nya. Menurut Imam
Abu Hanifah, Asy-syafi’i, Ahmad bin hanbaldan ukama syi’ah jaidiyah hukuman
atas tindak pidana hirabah berbeda-beda;
1.
Menakutanakuti orang dijalan tanpa
mengambil harta atau membunuh orang, (Hukumannya diasingkan)
2.
Hanya mengambil harta tidak yang
lain, (hukumannya dipotong tangan dan kakinya secara bersilang)
3.
Membunuh saja tidak yang lain,
(Hukumannya di hukum mati)
4.
Mengambil harta dan membunuh,
(Hukumannya di hukum mati disalib)
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Asep Arifin, TAFSIR AYAT
HUKUM PIDANA ISLAM
At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy
Muqaranan Bil Qonunil Wad’iy Abdul Qodir Audah. ENSIKLOPEDI HUKUM PIDANA ISLAM
JILID III.
At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy
Muqaranan Bil Qonunil Wad’iy Abdul Qodir Audah. ENSIKLOPEDI HUKUM PIDANA ISLAM
JILID V.
Andi Hamzah. KUHP dan KUHAP
Drs. H Rahmat Hakim, HUKUM
PIDANA ISLAM (FIQIH JINAYAH) 2000 Pustaka Setia Bandung.
ttps://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/02/20/hukum-dan-politik-dalam-sistem-hukum-indonesia
[1] At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan
Bil Qonunil Wad’iy Abdul Qodir Audah. ENSIKLOPEDI HUKUM PIDANA ISLAM III. Hlm 60
[2] Drs. H Rahmat Hakim, HUKUM PIDANA ISLAM
(FIQIH JINAYAH) 2000 Pustaka Setia Bandung. Hlm 90
[3] At-
Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan Bil Qonunil Wad’iy Abdul Qodir Audah.
ENSIKLOPEDI HUKUM PIDANA ISLAM III. Hlm 60
[4] Drs. H. Asep Arifin, TAFSIR AYAT HUKUM PIDANA
ISLAM
[5] At-
Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan Bil Qonunil Wad’iy Abdul Qodir Audah.
ENSIKLOPEDI HUKUM PIDANA ISLAM JILID V. Hlm 211
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan
Bil Qonunil Wad’iy Abdul Qodir Audah. ENSIKLOPEDI HUKUM PIDANA ISLAM III. Hlm
61
[9] ibid
[10] Ibid. Hlm 62
[11] ibid
[12] Andi Hamzah. KUHP dan KUHAP
[13] At- Tasyri’ al-jina’i al-Islamiy Muqaranan Bil Qonunil Wad’iy Abdul
Qodir Audah. ENSIKLOPEDI HUKUM PIDANA ISLAM JILID III. Hlm 63
[14] ibid
[15] At- Tasyri’ al-jina’i
al-Islamiy Muqaranan Bil Qonunil Wad’iy Abdul Qodir Audah. ENSIKLOPEDI HUKUM
PIDANA ISLAM JILID V. Hlm 205
[16]
ttps://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/02/20/hukum-dan-politik-dalam-sistem-hukum-indonesia
(diunduh senin 06 Maret 20015. jam18.37)
[17] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar