HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERATUN
Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN) adalah Peraturan Hukum yg mengatur
proses penyelesaian perkara TUN melalui pengadilan (hakim), sejak pengajuan
gugatan sampai keluarnya putusan pengadilan (hakim).
HAPTUN
disebut juga hukum formal yang berfungsi mempertahankan berlakunya HTUN (HAN)
sebagai hukum material.
No
|
Pembeda
|
HAPTUN
|
Acara Perdata
|
1
|
Subjek/Pihak
|
badan/Pejabat TUN
lawan warga masyarakat
|
Warga masy. Lawan
warga masyarakat
|
2
|
Pangkal sengketa
|
Ketetapan tertulis
pejabat
|
Kepentingan perdata
warga masyarakat
|
3
|
Tindakan
|
Perbuatan melawan
hukum penguasa
|
Perbuatan melawan
hukum masy. Wanprestasi
|
4
|
Peran hakim
|
Hakim aktif
|
Hakim pasif
|
5
|
Rekonvensi
|
Tidak dikenal
|
Dikenal, diatur
|
Ø
Kompetensi
absolut à kewenangan
memeriksa/mengadili perkara berdasarkan pembagian wewenang atau tugas (atribusi
kekuasaan)
Ø
Kompetensi
relatif à kewenangan
memeriksa/mengadili perkara berdasarkan pembagian daerah hukum (distribusi
kekuasaan)
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa TUN tertentu dlm hal keputusan yg disengketakan itu
dikeluarkan dlm waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau
keadaan luar biasa yg membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yg
berlaku.
-
Latar
Belakang
Ide dibentuknya
PTUN adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga
negaranya.
-
Pembentukan
Pratun bertujuan mengontrol secara yuridis tindakan pemerintah yang dinilai
melanggar ketentuan administrasi ataupun perbuatan yang betentangan dengan
hukum (abuse of power)
-
Eksistensi
PTUN diatur dalam per-UUan yang khusus yakni UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN
yang kemudian dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No.
5 Tahun 1986 tentang PTUN
-
Sebelum
diundangkan UU No. 9 tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi pejabat
karena tidak ada lembaga eksekutor.
Konsideran
mengingat :
1.) Pasal 5 ayat (1),
pasal 20 (1), pasal 24 dan pasal 25 UUD’45
2.) TAP MPR RI nomor
IV/MPR/1978-TAP MPR No. 11/MPR/1983/ttg GBHN
3.) UU No 4/Tahun 1970
ttg Ket. Pokok-pokok kehakiman LN No 74/70
4.) UU no. 4 tahun 1985
ttg MA RI 73/1985
Isi
UU
A. Terdiri dari VII BAB
dan 145 pasal
-
BAB
I à ketentuan umum (7
pasal)
-
BAB
II à susunan pengadilan
(39 pasal)
-
BAB
III à kekuasaan pengadilan (6 pasal)
-
BAB
IV à Hukum Acara (79 pasal)
-
BAB
V à ketentuan lain (9 pasal)
-
BAB
VI à ketentuan peralihan (2 pasal)
-
BAB
VII à ketentuan penutup (2 pasal)
B. Pengesahan
Disahkan oleh
Presiden RI Soeharto, 29 Desember 1986 diundangkan ygl 29 Desembe 1986, oleh
Mensesneg Sudharmono LN No. 77 Tahun 1986
C. Penjelasan atas UU RI
No 5 Tahun 1981 ttg PTUN, pasal-perpasal
STRUKTUR UU No 5
Tahun 1986 ttg PTUN
TUJUAN
Undang-undang
I.
Konsideran
menimbang :
a. Bahwa negara RI,
sebagai negara hukum yang berdasarkan pancasila dan UUD’45, bertujuan
mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram,
serta tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum
b. Kedudukan yang sama
dalam menghadapi hukum (equality before the law), berlaku bagi orang
biasa maupun pejabat.
c. Terjaminnya hak-hak
manusia oleh UU serta keputusan-keputusan pengadilan
II.
Unsur
Peradilan Administrasi dalam perselisihan
a. Menurut A. V. Dicey “
Unsur Peradilan administrasi dalam perselisihan”
b. Philipus M Hadjon
“civil law” atau “
modern Roman Law” sedangkan konsep “rule of law bertumpu atas sistem hukum
“Common Law”
c. Karakteristik “civil
law” à administrasi membuat
peraturan melalui “dekrit”
-
Kekuasaan
itu didelegasikan kepada pejabat-pejabat administrative yang membuat
pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu
sengketa maka untuk pertama kali muncul cabang hukum baru yang disebut “droit
administrative”
KETENTUAN
UMUM
1.) Administrasi negara
-
TUN
adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan baik dipusat maupun di daerah
2.) Pejabat TUN
-
Badan
atau pejabat TUN adalah Badan/pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan per-UUan yang berlaku
3.) Perselisihan/sengketa
-
Sengketa
TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN, baik dipusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan per-UUan yang berlaku.
4.) Keputusan TUN
-
Keputusan
TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN
yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan per-UUan yang
berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang/badan hukum perdata
5.) Pengadilan
Pengadilan adalah
pengadilan tata usaha negara, pengadilan tinggi TUN
6.) Para pihak yang
berperkara/bersengketa (para subyek hukum dalam berperkara)
a. Penggugat : yaitu
pemohon, adalah orang atau badan hukum perdata yang mengajukan tuntutan terhadap
badan atau pejabat TUN
b. Tergugat : Pejabat/
badan TUN yang mengeluarkan keputusan berbentuk administrasi yang ada padanya
yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata
-
UU No
5/1986àPTUN
-
UU No
9/2004 à Perubahan UU No
5/1986
-
UU No
5/2009 à Perubahan kedua atas
UU No 5/ 1986
PROSES
BERPERKARA
Gugatan
dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterimanya
atau diumumkannya keputusan badan atau pejabat TUN
Surat
Edaran MA/SEMA No 2 Tahun 1991 baggi pihak ketiga yang dituju langsung
keputusan TUN tetapi dia merasa kepentingannya dirugikan, maka tenggang waktu
90 hari di hitung secara kasuistis, sejak ia mengetahui dan merasa dirugikan
atas terbitnya keputusan TUN
Proses
berperkara
1.) Dismissal Procedure
Rapat permusyawaratan
(DP) dilakukan sebelum pemeriksaan persidangan. Hal ini merupakan ke-khususan
pemeriksaan di peradilan TUN yang dipimpin oleh ketua pengadilan atau hakim
senior lainnya yang ditunjuk ketua pengadilan. Tujuan adalah untuk memutus
apakah gugatan yang diajukan itu diterima atau tidak diterima.
2.) Pemeriksaan
Persidangan
Sebelum pemeriksaan
pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk
melengkapi gugatan kurang jelas
HAKIM
WAJIB :
1.) Memberi nasihat
kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang
diperlukan dalam jangka 30 hari
2.) Dapat meminta
penjelasan kepada badan/ pejabat TUN yang bersangkutan
HUKUM
ACARA BIASA
1. Ketua majelis
membacakan gugatan
2. Jawaban dari tergugat
3. Replik dari penggugat
4. Duplik dari tergugat
5. Pembuktian (tertulis
dan saksi dari penggugat dan tergugat)
6. Kesimpulan
7. Putusan (diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum)
8. Upaya hukum (banding,
Kasasi, Peninjauan Kembali/PK)
9. Pelaksanaan putusan
Di
luar badan-bdan yang umum, yaitu :
-
Notaris
-
Camat
PPAT
-
Panitera
Home » Tata
Usaha Negara » Hukum Acara TUN
Hukum Acara TUN
I.
PENDAHULUAN
Dalam
sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan
negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman).
Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU
No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Peradilan
Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir
dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada
tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut
disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara
(PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang
sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat
dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta
selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga
masyarakat.
Dengan
demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara
hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM).
Sebagai
negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan
memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga
tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila
dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap
pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial
atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam
konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan UU
No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang
hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun
1986.
Perubahan
yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya
wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi,
administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya
beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi
lembaga PERATUN.
Di
samping itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif
serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau
melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh
sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi”
nya.
Sejak
mulai efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai
dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di
Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) di jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian
berkembang, dengan telah didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di
seluruh Ibu Kota Propinsi sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini
eksistensi dan peran PERATUN sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai
fungsi, tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha
negara antara anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan
oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang
memadai di dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam
menciptakan prilaku aparatur yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas
dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.
Sesuai
dengan tujuan penyampaian materi ini, sebagai pembekalan kepada para
aparat/pejabat publik, yang diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang ruang
lingkup PERATUN, subjek dan objek, serta proses beracara di persidangan. Oleh
karenanya dalam makalah ini penulis titik beratkan pada masalah Hukum Acara
(Hukum Formil) di Peratun, namun demikian penulis juga menyajikan sekilas
tentang Hukum Materil sebagai pengantar pembahasan Hukum Formil di Peratun. Hal
ini bertujuan agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai aparatur
pemerintah, dapat diantisipasi/dihindarkan permasalahan-permasalahan yang dapat
menimbulkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Prefentif). Di
samping itu jika terjadi juga gugatan tersebut, para pejabat terkait sudah
dapat memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan berkaitan dengan adanya
gugatan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, atau dengan kata lain sudah
dapat mengetahui bagaimana proses persidangan/mekanisme beracara di Pengadilan
Tata Usaha Negara (Tujuan Refresif).
Penyajian
makalah ini sengaja penulis sampaikan selengkap mungkin dengan tujuan
memanfaatkan forum ini sebagai sarana sosialisasi Peratun, khususnya bagi para
aparat pemerintah , karena memang harus diakui masih banyak kalangan masyarakat
yang merasa asing dengan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun).
II.
RUANG LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PERATUN
Peradilan
Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai
tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang
atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN
(pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu
Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku“ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4
UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).
Berdasarkan
uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa yang menjadi subjek di
Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat . Sementara itu yang menjadi
objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek
dan Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan
mengenai unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.
Pengertian
dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :
“Keputusan
Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Selanjutnya
dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil
unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari :
1.
Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis
Penetapan
Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum
yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan
tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis
tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat
TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5
tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai
syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis,
oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan
Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas :
- Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.
- Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.
- Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final.
- Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
2. Dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat TUN.
Sebagai
suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen
yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka
pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan.
Selanjutnya
mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai
subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :
“Badan
atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Badan
atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan
Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga
apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan
siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap
sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.
Sedang
yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai
masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun
yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada
instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan
tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan
legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat
dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di
Peratun.
3.
Berisi Tindakan Hukum TUN.
Sebagaimana
telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu
bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian
selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu
adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau
menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk
dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN
itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan
suatu akibat hukum TUN.
4.
Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.
Kata
“berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan
urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada
dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya
peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar
keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan
atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan
bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan
pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu
ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.
Bersifat Konkret, Individual dan Final.
Keputusan
TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan
TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti
Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan
sebagainya.
Bersifat
Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi
tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun
hal yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau
keadaan tertentu yang nyata dan ada.
Bersifat
Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan
mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang
definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut
ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat
itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan
TUN yang bersangkutan secara final.
6.
Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.
Menimbulkan
Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum
yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum,
maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan
akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu
Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus
mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada,
seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah
ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.
Di
samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas,
dalam UU Peratun diatur juga ketentuan tentang pengertian yang lain dari
Keputusan TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :
- Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
- Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
- Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”
Ketentuan dalam Pasal 3
ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan TUN yang Fiktif
atau Negatif.
Uraian
dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau
Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya,
yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau
Pejabat TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan
kewajibannya, maka walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu
permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan
tersebut.
Ada
kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu
permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah
lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum
juga menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak
permohonan yang diterimanya.
Sementara
itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak
menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan
yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat
TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah
menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal
3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi
pengadilan).
Selanjutnya
disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 diatas, juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan yang
mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi
pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN
seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah
dapat dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal
49, yang menyebutkan :
“Pengadilan
tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.
Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar
biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.
Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Selanjutnya
dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN, yaitu :“
Tidak
termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini
:
- Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
- Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
- Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
- Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
- Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
- Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
III.
HUKUM ACARA PERATUN
3.1.
Karakteristik Hukum Acara Di Peratun.
Secara
sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk
mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di
Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5
tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.
Penggabungan
antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri
yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada
pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan
hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai
pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai
berikut :
- Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).
- Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan Penggugat (Pasal 53).
- Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) (Pasal 62).
- Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63).
- Peranan Hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85, 95 dan 103).
- Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dengan Tergugat, oleh karenanya “konpensasi” perlu diberikan karena kedudukan Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
- Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 107).
- Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67).
- Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
- Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, akan tetapi berlaku juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait.
- Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
3.2.
Gugatan.
3.2.
1. Pengertian Gugatan.
Mengenai
pengertian dari gugatan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5, sebagai berikut :
“Gugatan
adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusan”
Gugatan
di Peratun diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Oleh
karenanya unsur adanya kepentingan dalam pengajuan gugatan merupakan hal yang
sangat urgen dalam sengketa di Peratun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat
(1), sebagai berikut :
“Orang
atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar KeputusanTata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”
Dari
ketentuan Pasal 53 ayat (1) ini menjadi dasar siapa yang bertindak senagai
Subjek Penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN.
Selanjutnya
Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan,
adalah:
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Suatu
gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat hal-hal
yang merupakan syarat formil suatu gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal
56, yaitu :
a.
nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya.
b.
nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat.
c.
dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.
3.2.2.
Pengajuan gugatan.
Menurut
Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada
Pengadilan berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat.
Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan
menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Apabila
Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan
tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan
pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak
berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada
pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada
di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta,
dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan
Tergugat.
Salah
satu kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan
tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN
tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9
Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9
Tahun 2004, sebagai berikut :
“Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48”.
Berhubung
sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka
pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya
keputusan yang bersangkutan.
Pasal
55 menyebutkan bahwa :
“Gugatan
dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan”.
Dalam
hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
(Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu,
dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan yang bersangkutan.
Seandainya
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang
waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan
yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang
waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur
karena telah daluarsa.
Diajukannya
suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda
atau menghalangi dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Namun
demikian Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar Surat
Keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan,
dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya
alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat akan
sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (Pasal
67 ayat 4 a).
3.3.
Pemeriksaan di persidangan
3.3.
1. Pemeriksaan Pendahuluan.
Berbeda
dengan peradilan lainnya, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai suatu
kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa, yaitu adanya tahap Pemeriksaan
Pendahuluan
.
Pemeriksaan
Pendahuluan ini terdiri dari :
a.
Rapat permusyawaratan/Proses Dismissal (Pasal 62).
b.
Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63).
Ad.
a. Rapat Permusyawaratan (Proses Dismissal) :
Rapat
permusyawaratan yang disebut juga dengan Proses Dismissal atau tahap
penyaringan yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan, diatur dalam Pasal 62.
Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan, setelah melalui pemeriksaan
administrasi di kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk. Apakah gugatan
tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU Peratun dan
apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk
mengadilinya.
Dalam
proses dismissal Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan
yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan
tidak diterima atau tidak berdasar, apabila :
a.
Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyata-nyata tidak
termasuk wewenang Pengadilan.
b.
Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh
penggugat sekalipun ia telah diperingatkan.
c.
Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d.
Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat.
e.
Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Penetapan
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua
belah pihak.
Terhadap
penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah diucapkan.
Perlawanan
tersebut harus dengan memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa sebagaimana
diatur dalam Pasal 56.
Perlawanan
diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan acara singkat, yang
dilakukan oleh Majelis Hakim. Apabila perlawanan tersebut diterima atau
dibenarkan oleh Pengadilan yang bersangkutan melalui acara singkat, maka
Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang diambil dalam rapat
permusyawaratan tersebut dinyatakan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan
diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan
pengadilan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum seperti
banding dan kasasi, karena putusan tersebut dianggap sebagai putusan tingkat
pertama dan terakhir, sehingga telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ad.
b. Pemeriksaan Persiapan.
Pemeriksaan
persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun pada umumnya adalah
warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai kedudukan lemah dibandingkan dengan
Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif. Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk
mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan
gugatan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
Pemeriksaan
Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang persidangan yang terbuka
untuk umum. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk :
- Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapai surat-surat atau data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari.
- Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan
- Apabila jangka waktu 30 hari yang ditetapkan untuk memperbaiki gugatannya tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan baru.
3.3.2. Pemeriksaan
Tingkat Pertama.
Pemeriksaan
di tingkat pertama pada umumnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), terkecuali untuk sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan, sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
upaya administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 UU Peratun, maka
pemeriksaan di tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN).
Pemeriksaan
ditingkat pertama ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :
a.
Pemeriksaan dengan acara biasa.
b.
Pemeriksaan dengan acara cepat.
Dalam
proses pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan pula adanya pihak ketiga yaitu
orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam
proses pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan (Pasal 83).
3.4.
Putusan Pengadilan
Dalam
hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab menjawab, penyampaian
surat-surat bukti dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, maka selanjutnya
para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan yang merupakan
pendapat akhir para pihak yang bersengketa (Pasal 97 ayat 1). Setelah
kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan untuk bermusyawarah
guna mengambil putusan.
Putusan
pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7) ) :
a.
Gugatan ditolak.
b.
Gugatan dikabulkan.
c.
Gugatan tidak diterima.
d.
Gugatan gugur.
Terhadap
gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban
yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu
berupa ( Pasal 97 ayat (9) ) :
a.
Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan.
b.
Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang
baru.
c.
Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Disamping
kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga dapat membebankan kewajiban kepada
Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal
menyangkut sengketa kepegawaian.
IV.
UPAYA HUKUM
4.1.
Upaya Hukum Banding.
Terhadap
para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat
pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan
PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat
kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan
pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang
khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut,
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada
yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding
dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat
melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan
tersebut.
Para
pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat
dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan,
dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan
kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126).
Pemeriksaan
banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3
(tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa
pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi
tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan
tambahan.
Setelah
pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi
TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan,
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi
tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan
TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127).
Mengenai
pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum
sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN.
Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak
dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan
permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).
4.2.
Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Terhadap
putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke
Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU
Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo.
UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Menurut
Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang
diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini.
Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan
Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara
juga berpuncak pada Mahkamah Agung.
Sementara
itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan
Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar
biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan
Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa :
Ayat
(1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”
Ayat
(2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.”
V.
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Putusan
pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun.
Putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan
tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya
hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah
lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
Sebagai
contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding
ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana
yang ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut,
sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat
diajukan permohonan eksekusinya.
Mengenai
mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119 UU Peratun.
Sebagaimana
telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9 Tahun 2004,
putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan
adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap
Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun.
Lebih
lanjut Pasal 116 UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun,
sebagai berikut :
- Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
- Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
- Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
- Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
- Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Sumber:
www.albatrozz.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar