Jumat, 01 Mei 2015

Adat yang dapat dipertimbangkan adalah yang biasa terjadi bukan yang jarang terjadi.

NAMA                       : Kausar Abidin
NIM                            : 1123060042
JURUSAN                 : HPI/A/VI
MATKUL                  : Qowaid Fiqh Jinayah
DOSEN                      : Enceng Arif Faizal., M.Ag.


الأصل إعتبار الغالب لا للنادر
Artinya :
“Adat yang dapat dipertimbangkan adalah yang biasa terjadi bukan yang jarang terjadi.
Kaidah ini mengandung arti bahwa adat yang dapat dipertimbangkan sebagai dasar penetapan hukum adalah adat yang biasa atau sering terjadi, bukan yang jarang terjadi, sehimgga adat yang biasa terjadi harus didahulukan apabila bertentangan dengan adat yang jarangterjadi.[1] Mushthafa Ahmad al-Zarqa’ (guru besar Fiqih Islam  Unifersitas’ ‘Amman ,Jordania) mengatakan bahwa ‘urf merupakan baigian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku kepada kebanyakan orang didaerah tertentu bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagai mana yang berlaku dalam kebanyakan adat tapi muncul dari sesuatu pemikiran dan pengalaman

A.    Dalil Qur’an  
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡ وَلَايَهۡتَدُونَ ١٧٠
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"." (QS. Al-Baqarah 2: 170).[2]
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩
Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf 199)[3]
Dalam ayat di atas Allah SWT  memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang  dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hokum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا  (سورة البقرة آية : 29)
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”(QS Al-Baqarah : 29)
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.” (QS Al-Mulk : 15)
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik (QS Al-A’raf : 32). dari ayat ini kita dapat mengambil faedah bahwasanya hukum asal perhiasan serta apa saya yang Allah anugerahkan buat hambanya adalah boleh dan halal.
B.     Hadist
حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
ذَكَرُوا النَّارَ وَالنَّاقُوسَ فَذَكَرُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فَأُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَأَنْ يُوتِرَ الْإِقَامَةَ
(BUKHARI - 568) : Telah menceritakan kepada kami 'Imran bin Maisarah telah menceritakan kepada kami 'Abdul Warits telah menceritakan kepada kami Khalid Al Hadza' dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik berkata, "Orang-orang menyebut-nyebut tentang api dan lonceng (dalam mengusulkan cara memanggil shalat). Lalu ada juga di antara mereka yang mengusulkan seperti kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nahrani. Maka Bilal diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dengan dua kali dua kali dan iqamat dengan bilangan ganjil."[4]
الحلال ما احله الله و الحرام ما حرمه الله وما سكت عنه  فهو عفو ( حديث رواه ابو داود في كتاب الاطعمة  باب ما لم يذكر تحريمه حديث رقم : 3800 و قال الشيح الألباني : صحيح الأسناد )
“Sesuatu yang halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah dan sesuatu yang haram apa-apa yang diharamkan Allah, adapun sesuatu yang didiamkan-Nya adakah dimaafkan (HR Abu Dawud kitab Al Ath’imah bab: Apa Saja yang Tidak Disebutkan Pengharamanya hadist no : 3800 dan berkata As-Syeikh Al-Albani: shahih sanadnya)
Ucapan sahabat Rasulullah saw., Abdullah bin Mas’ud berkata:
فَمَا رَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَ مَا رَآه المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْءٌ
“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah buruk di sisi Allah.”
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam, merupakan sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan semacam itu patut untuk dijaga dan dipelihara. Maksud dari kaidah diatas ialah adat yang dapat digunakan atau dipertimbangkan dalam mengambil suatu keputusan yang berkenaan dengan permasalahan yang terjadi yang menyangkut hukum atau kebiasaan yang harus di ambil ialah adat yang sering digunakan dalam setiap permasalahan untuk mengambil hukum yang dapat dipake dan itu kebiasaan atau adat yang selalu digunakan. (pendapat saya)
C.    Contoh
Hukum yang dapat berubah karena ‘urf ini dapat kita contohkan seperti pendapat Abu Hanifah bahwa kesaksian sesorang yang dhahirnya tidak fasik dapat dijadikan saksi, kecuali pada kasus hudud dan qisas. Akan tetapi, murid beliau Abu Yusuf menyatakan bahwa kesaksian baru dapat diterima setelah melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap sifat-sifat saksi tersebut. Pendapat Imam Abu Hanifah sejalan dengan masanya karena pada umumnya akhlak dan agama masyarakat masih dipegang teguh dan terpelihara. Demikian pula halnya dengan pendapat Abu Yusuf sesuai dengan kondisi pada masanya, di mana masyarakat pada umumnya mulai mengalami kemerosotan agama dan akhlak.
Imam Ibnu Taimiyah berkata : "Asal dari adat itu tidak di larang kecuali apa yang dilarang oleh Allah"( Kitab Semua Bid'ah Sesat, hal: 42) Di kalangan ahli syari’ah istilah populer tentang masalah adat ini, antara lain: al-'adatu muhakkamah. Maknanya, bahwa sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat itu bisa dijadikan dasar hukum.
Penyebutan Dan Penetapan Gelar Bagi Yang Mengaku Pernah Haji Dengan Gelar “H” Bagi Lelaki Dan “Hj” Bagi Wanita Termasuk dari kebiasaan masyarakat Indonesia, bila ada yang sudah naik haji atau sudah mengaku telah haji maka mereka beramai-ramai menyebutnya dengan “pak haji” atau “mama haji”, bahkan terkadang orang yang merasa pernah haji dengan bangga menulis gelar “H” atau “Hj” pada awal namanya, dan bahkan dia senang bila dipanggil dengan “pak haji” atau “mama haji”.
Para wanita berdiam diri di rumahnyaTermasuk dari kebudayaan masyarakat Indonesia di zaman dahulu adalah mereka sangat memperhatikan putri-putri mereka, para anak wanita tidak dibiarkan berkeliaran, jika sudah malam maka mereka semuanya berada di rumah mereka masing-masing.
Contohnya, masyarakat Indonesia sudah saling mengenal sebuah kebiasaan dalam transaksi jual beli di warung makan atau restaurant, umumnya orang Indonesia terbiasa makan terlebih dahulu lalu selesai makan baru bayar. Akan tetapi berbeda halnya ketika  di Sudan, karena masyarakat Sudan memiliki kebiasaan yang berlainan dengan adat orang Indonesia yaitu bayar dulu baru makan. Begitu juga dalam prosesi pernikahan pada sebuah masyarakat tertentu dibolehkan bagi pengantin pria untuk langsung membawa pulang pengantin wanita walaupun maharnya masih hutang, tapi di daerah lain adat yang berlaku kebalikan dari yang pertama.
Permasalahan semacam ini tidak ada dasarnya bila dilihat dari nash Quran atau Sunnah, melainkan didapat dari hasil pengamatan empiris pada kebiasaan yang terjadi pada sebuah masyarakat dari daerah yang saling berbeda. Namun dalam implementasinya, kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai hukum yang di atasnya disandarkan hukum itu. Maka sebagai seorang muslim hendaknya kita tetap mengutamakan syari’at Allah dan rosul-Nya di atas kepentingan-kepentingan lainnya, sehingga jikalau kita telah mengetahui adanya sebuah kemungkaran pada suatu hal, entah itu keyakinan yang mendasari pemikiran kita, ataupun adat yang ada di sekitar kita, maka dengan mudah dan ringan kita bisa mengambil sikap tegas dengan menyingkirkan semua itu dan menggantinya dengan yang lebih baik yaitu syari’at islam. Dan hendaknya kita terus ber’azm (berkeinginan kuat) serta mengoptimalkan segala sarana apalagi di zaman gadget seperti sekarang ini, dalam rangka meningkatkan khazanah ilmu agama kita agar kita tidak tersesat di jalan yang salah dan agar kita mengetahui hakikat kebenaran itu sendiri, karena kalau bukan orang yang alim yang mengetahui hakikat diin ini siapa lagi yang akan merubah segala kemungkaran tersebut.



[1] Enceng Arif Faizal., M.Ag. LEMBAGA PENELITIAN UIN BANDUNG.
[2] Aplikasi Qur’an In Word
[3] Ibid
[4] Lidwa pusaka i-Sofwer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar