NAMA : Kausar
Abidin
NIM : 1123060042
JURUSAN : HPI/IV/A
MATA KUL : Hukum
Pidana Dalam Yurisprudensi
DOSEN : Popon
Munawaroh, S.Hi., M.H
Hukum Adat Pidana Menurut Yurisiprudens
Yurisprudensi berasal dari kata bahasa Latin: jurisprudential,
secara tehnis artinya peradilan tetap atau hukum. Yurisprudensi adalah putusan
hakim (judge made law) yang diikuti hakim lain dalam perkara serupa (azas
similia similibus), kemudian putusan hakim itu menjadi tetap sehingga
menjadi sumber hukum yang disebut yurisprudensi. Yurisprudensi dalam praktek berfungsi untuk mengubah memperjelas menghapus, menciptakan
atau
mengukuhkan hukum yang
telah hidup dalam masyarakat.
Dalam hukum adat, yurisprudensi hukum, selain merupakan keputusan
pengadilan yang telah menjadi tetap dalam bidang hukum adat, juga merupakan
sarana pembinaan hukum adat, sesuai cita-cita hukum, sekaligus dari
yurisprudensi dari masa ke masa dapat dilacak perkembangan-perkembangan hukum
adat, baik yang masih bersifat local maupun yang telah berlaku secara nasional.
Perkembangan-perkembangan hukum adat melalui yurisprudensi akan memberikan
pengetahuan tentang pergeseran dan tumbuhnya hukum adat, melemahnya hukum adat
local dan menguatnya hukum adat yang kemudian menjadi bersifat dan mengikat
secara nasional. Perkembangan hukum adat melalui yurisprudensi dapat dilacak
dalam beberapa hal antara lain:
1. Prinsip Hukum Adat
Hukum adat antara lain bersandarkan pada azas: rukun,
patut, laras, hal ini ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung-RI
Nomor: 3328/Pdt/1984 tanggal 29 April 1986. Dalam Putusan MA-RI Nomor 2898
K/Pdt/1989 tanggal 19 Nomember 1989, berdasarkan sengketa adat yang dimbul di
Pengadilan Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur, Mahkamah Agung menegaskan:
“ Dalam menghadapi kasus gugatan perdata yang
fondamentum petendi dan petitumnya berdasarkan pada pelanggaran hukum adat dan
penegasan sanksi adat; Bila dalam persidangan penggugat dapat membuktikan dalil
gugatannya, maka hakim harus menerapkan hukum adat mengenai pasal tersebut yang
masih berlaku di daerah bersangkutan, setelah mendengar ketua adat setempat“. Kaedah hukum selanjutnya:
“Penyelesaian pelanggaran hukum adat, disamping
melalui gugatan perdata tersebut di atas, dapat pula ditempuh melalui tuntutan
pidana ig pasal 5 (3)b UU No. 1 Drt/1951“.
1. Kedudukan
Menguatnya Keluarga Inti (Gezin)
Golongan masyarakat adat di Indonesia terdiri dari
golongan masyarakat patrilineal, golongan masyarakat matrilineal dan golongan
masyarakat parental (bilateral). Dalam Perkembangannya ternyata semakin kuat
dan diakuinya pergeseran system kekeluargaan dalam masyarakat adat matrilineal
dan masyarakat adat matrilineal ke arah system parental atau bilateral.
Yurisprudensi tanggal 17 Januari 1959b Nomor 320K/ Sip/ 1958 sebagai berikut:
1.
Si istri dapat mewarisi harta pencaharian sang
suami yang meninggal dunia;
- Anak yang belum dewasa dipelihara dan berada dalam pengampuan ibu;
- Karena anak berada dalam pengampuan ibu, maka harta kekayaan anak dikuasai dan diurus oleh ibu.
4.
Kedudukan sama laki dan perempuan.
5.
Menguatnya Perlindungan kepada Perempuan Dalam
Hukum Waris
2. Kedudukan
anak Perempuan Dalam Hukum Waris
Semula menurut hukum adat dalam masyarakat
patrilineal, anak perempuan bukan ahli waris. Namun dalam
perkembangannya diakui oleh yurisprudensi bahwa anak perempuan sebagai ahli
waris almarhum orang tuanya.
3.
Kedudukan Janda dalam Hukum Waris
Perkembangan awal seorang janda bukan ahli waris,
dalam kenyataannya kemudian janda menjadi menderita sepeninggal suaminya,
kemudian timbul praktek pemberian hibah oleh suami kepada istrinya untuk
melindungi dan mempertahankan kehidupan sosial ekonomi sepeninggal suaminya,
praktek demikian semakin lama semakin melembaga. Perkembangan hukum adat berikutnya adalah, janda sebagai ahli waris
bersama-sama dengan anak-anak almarhum suaminya. Selanjutnya janda sebagai ahli
waris yang kedudukannya sama dengan ahli waris anak. Perkembangan selanjutnya
janda sebagai ahli waris kelompok keutamaan, yang menutup ahli waris lainnya.
Yurisprudensi Putusan MA No. 387K/Sip/1956 tanggal 29 Okt0ber 1958, Janda
dapat tetap menguasai harta gono gini sampai ia meninggal dunia atau kawin
lagi. Puncaknya adalah Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 3190K/
Pdt/`985, tanggal 26 Oktober 1987, janda memiliki hak waris dari harta
peninggalan suaminya, dan haknya sederajad dengan anak kandungnya, jika tidak
memiliki anak, ia jadi penghalang ahli waris saudara suaminya, terhadap harta
gawan dan harta gono gini.
4. Prinsip-prinsip Jual
Beli Tanah
Jual beli tanah sah bila memenuhi syarat terang
dan tunai, hal ini ternyata secara konsisten dipegang dalam
yurisprudensi tentang jual beli tanah. Terang artinya
transaksi peralihan hak atas tanah harus disaksikan oleh Pejabat Umum. Tunai
artinya jual beli tanah hanya sah bila berlangsung adanya pembayaran lunas dan
penyerahan tanah pada saat yang sama.
5. Prinsip Pelepasan Hak
Sebagai Dasar Timbul atau Hilangnya Hak Bukan Daluarsa Hukum adat tidak
mengenal lembaga daluarsa, melainkan mengenal apa yang disebut lembaga
pelepasan hak (rechsververking), artinya bila sebidang tanah dibiarkan,
maka lama kelamaan haknya akan menyurut dan puncaknya akan terlepas, seiring
semakin renggangnya hubungan fisik antara pemilik dan tanah yang bersangkutan
demikian juga sebaliknya.
6. Hukum Pidana Adat.
Dalam sistem hukum adat, sesungguhnya tidak ada pemisahan hukum pidana
dengan hukum lain sebagaimana sistem hukum barat, penjatuhan pidana semata-mata
dilakukan untuk menetapkan hukumnya (verklaring van recht) berupa sanksi
adat (adatreaktie), untuk mengembalikan hukum adat yang dilanggar. Hukum
pidana adat mendapat rujukan berlakunya dalam pasal 5 ayat 3 UU No. 1/Drt/1951.
Beberapa Yurisprudensi penting mengenai Hukum pidana adat adalah:
1.
Perbuatan melawan Hukum.
Misalnya PN Luwuk No. 27/Pid/ 1983, mengadili perkara hubungan kelamin di
luar perkawinan, hakim memutus terdakwa melanggar hukum yang dihupo di wilayah
banggai, Sulawesi Tengah, berdasarkan unsur pidana dalam pasal 5 ayat 3 sub b
UU Drt 1/ drt/1951, yang unsurnya adalah:
Unsur pertama, suatu perbuatan melanggar hukum yang hidup;
Unsur kedua, perbuatan pelanggaran tersebut tidak
ada bandingannya dalam KUHP;
Unsur ketiga, perbuatan pelanggaran tersebut masih
tetap berlaku untuk kaula-kaula dan oarng-orang yang bersangkutan.
Putusan PT Palu No. 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984
menguatkan putusan PN Luwuk, dengan menambahkan bahwa, untuk memenuhi rasa
keadilan masyarakat, yang menganggap perbuatan tersebut adalah perbuatan
pidana, hakim memutuaskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh dengan
seorang wanita di luar nikah. Mahkamah
Agung, dengan putusan No. 666K/ Pid/ 1984 tanggal 23 februari 1985, perbuatan
yang dilakukan terdakwa dikatagorikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum
adat.
Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 3898K/Pdt/1989,
tanggal 19 Nopember 1992, mengenai pelanggaran adat serupa di daerah
Kafemenanu, mamun diajukan secara perdata dengan gugatan, intinya: Jika dua orang
dewasa melakukan hubungan kelamin atas dasar suka sama suka yang mengakibatkan
di perempuan hamil, dan si laki-laki tidak bertanggung jawab atas kehamilan
tersebut, harus ditetapkan suatu sanksi adat berupa pembayaran belis
(biaya atau mas kawin) dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan (di kenal
dengan nama Pualeu Manleu).
2.
Perbuatan melanggar hukum adat Logika Sanggraha di
Bali.
Dalam perkara Nomor 854K/Pid/1983 tanggal 30
Oktober 1984, Menurut Mahkamah Agung, seorang laki-laki yang tidur bersama
dengan seorang perempuan dalam satu kamar dan pada satu tempat tidur, merupakan
bukti petunjuk bahwa laki-laki tersebut telah bersetubuh dengan wanita itu.
Berdasarkan keterangan saksi korban dan adanya bukti petunjuk dari para
saksi-saksi lainnya, terdakwa telah bersetubuh dengan saksi korban sebagaimana
dimaksud dalam dakwaan subsider.
Mengenai
dakwaan primer, Mahkamah Agung berpendirian bahwa dakwaan ini tidak terbukti
dengan sah , karena unsur barang dalam pasal 378 KUHP tidak terbukti de gan sah
dan meyakinkan, dengan demikian maka terdakwa harus dibebaskan datri dakwaaan
primer ex pasal 378 KUHP. Berdasarkan pertimbangan di atas Mahkamah Agung dalam
diktum putusannya berbunyi:
1.
Membebaskan terdakwa dari dakwaan primer;
2.
Menyatakan terdakwa bersaklah terhadap dakwaan
subsider melakukan tindak pidana adat Logika Sanggraha;
3.
Menghukum terdakwa dengan hukuman penjara dua
bulan;
Hukum
adat pidana Logika Sanggraha di Bali Peswara Bali, merupakan suatu perbuatan
seorang pria yang memiliki unsur-unsur:
a.
bersetubuh dengan seorang gadis;
b.
Gadis tersebut menjadi hamil karenanya;
c.
Pria tersebut tidak bersedia mengawini gadis
tersebut sebagai istrinya yang sah.
3. Putusan
Pengadilan negeri Mataram NO. 051/Pid.Rin/1988 tanggal 23 Maret 1988 Pengadilan
mempertimbangkannnya telah menyebut pelanggaran terhadap hukum adat delik
Nambara yang atau Nagmpesake.
4. MA-RI
Nomor 481 K/Pid/1986 tanggal 31 Agustus 1989 dari PN Ende Problematika organ
tubuh wanita beberapa kali diterapkan ketentuan pasal 378 KUHP,
menempatkan organ tubuh peremuan sebagai barang. Solusinya diterapkan pasal 5
(3) b Undang-undang Drt Nomor 1 Tahun 1951 LN. Nomor 9 Tahun 1950 tanggal 13
Januari 1951. Dalam kasus serupa di pengadilan Negeri Medan Nomor 571/KS/1980
tanggal 5 Maret 1980 pernah diterapkan ketentuan pasal 378 KUHP dan dikuatkan
oleh PT Nomor 144/Pid/ 1983 tanggal 8 Agustus 1983. Barang ditafsirkan secara
luas , sehingga barang termasuk juga jasa. Barang sesuatu yang melekat bersatu
pada diri seseorang ( kemaluan) juga termasuk pengertian barang, yang dalam
bahasa Tapanuli dikenal dengan ” Bonda” yang artinya ” barang” yang tidak lain
adalah ” kemaluan” . Sehingga bilama seorang gadis menyerahkan kehormatannya
kepada pria, maka samalah artinya gadis tersebut menyerahkan barang kepada pri
tersebut. Dengan penafsiran secara luas tersebut, maka telah terpenuhi unsur
barang dalam pasal 378 KUHP. Dalam praktek kemudian banyak diikuti penegak
hukum ( jaksa) Untuk menjerat seorang pria yang berhasil menyetubuhi gadis yang
akan dikawini, tetapi akhirnya pria ingkar janji, dan gadis menjadi korban yang
merana seumur hidup.
Dalam
putusan MA-RI Nomor 61 K/ Pid/ 1988 tanggal 15 Maret 1990 berdasarkan perkara yang diputus pengadilan Negeri
Pamekasan, penyelesaian tidak dapat menggunakan ketentuan pasal 378 KUHP,
melainkan dengan melalui jalur delik adat zina ex pasal 5 (3) sub
bUndang-undang Drt Nomor 1 Ytahun 1951 yang ada bandingannya dalam KUHP, yaitu
pasal 381 KUHP, sehingga pria si pelaku dapat dipidana. Sikap MA-RI terhadap
persoalan tersebut sejak putusannya Nomor 93K/Ke/1976, menjadi yurisprudensi
tetap
5.
Penerapan delik pasal 293 KUHP Pria yang ingkar
janji kawin, MA menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan kejahatan:
” Penyesatan dengan sengaja , membujuk seorang yang
belum dewasa untuk melakukan perbuatan cabul, padahal tentang belum cukup
umurnya itu dihitung selayaknya harus diduganya
Uraian Putusan
Dalam hal ini dapat di
di jelaskan dari putusan di atas:
1. Bahwa
batasan umur ” belum dewasa ” Mahkamah Agung tetap berpendirian seperti putusan
sebelumnya, gadis yang belum mencapai umur 21 tahun; dalam kasus ini gadis
tersebut berumur 20 tahun.;
2. Unsur
membujuk dalam kasus ini berupa : ” Janji terdakwa untuk mengawini gadis
setelah keinginanya bersetubuh tercapai, tidak ditepainya;
3. Kuwalifikasi dirumuskan oleh judex
factie (pertama maupun banding) dengan kata-kata : ” perempuan yang belum
dewasa” sedangkan MARI merumuskan : ”seorang yang belum dewasa”;
4.
Diktum Putusan PT dijumpai perumusan hukuman :
Pidana penjara selama 2, 5 tahun ( dua setengah tahun). Menururt psal 27 KUHP
dengan menyebut banyaknya hari, bulan dan tahun..”, maka seharusnya: ” dua
tahun enam bulan”;
Referensi:
1.
Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan
Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan
Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal 21
2.
Satjipto
Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia, Kompas, 2003,23,24
3.
Satjipto Rahardjo: Penafsiran Hukum Yang Progresif, dalam : Anthon Freddy Susanto,SH,MH:
Semiotika Hukum, Dekontruksi Teks Menuju Progresifitras Makna, Efika Aditama,
Bandung, 3
4.
Satjipto Rahardjo: Modernisasi Dan Perembangan Kesadaran Hukum Masyarakat,
Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6 Tahun X/ 1980, hal 18.
5.
Ibid, hal 19
Jurisprudential atau yurisprudensi mengenai hukum pidana waris dapat menghambat kemajuan suatu Negara karena baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun budaya. Mengingat bahwa kejahatan itu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. maka wajar kalau sejak dulu hingga kini orang selalu membicarakan kejahatan, mulai dari kejahatan yang sederhana (kejahatan biasa), sampai pada kejahatan yang sulit pembuktiannya. Bahkan, sebenarnya secara histories, kejahatan sudah ada sejak zaman nabi Adam, diantaranya adalah kasus pembunuhan putra Adam dan Hawa oleh saudara kandungnya sendiri.
BalasHapus