Rabu, 06 Mei 2015

makalah MONEY LAUNDRY



MONEY LAUNDRY

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri Hukum Pidana Islam III
Dosen : Enceng Arif Faizal, M.Ag











Oleh :
Kausar Abidin (1123060042)
Hukum pidana Islam/V/A

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014/2015




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Kata Pengantar
Pencucian uang adalah proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan penyitaan. Pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang sering dibicarakan dewasa ini, perbuatan pencucian uang sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan negara. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan tasyri' yaitu mencegah mafsadah dan menciptakan mashlahah. Pencucian uang menimbulkan kerusakan, kerugian, mudharat, sekaligus menjauhkan kemaslahatan dari kehidupan manusia, tercela, dan terlarang sehingga dapat disebut sebagai tindak pidana dan dalam konteks hukum Islam, dapat dikenai hukuman ta'zir.[1]bagi pelakunya.
Daya rusak yang ditimbulkan oleh kejahatan ini membuat banyak negara (termasuk Indonesia) memahami pentingnya memiliki perangkat hukum anti pencucian uang. Maka dikeluarkan undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian diubah dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003.
Money laundering atau pencucian uang merupakan modus baru dari kejahatan non konvesional sebagai side effect yang mengiringi datangnya era globalisasi. Oleh karenanya, jenis kejahatan ini merupakan kejahatan yang bersifat lintas batas teritorial negara. Lahirnya ”ide kreatif” tentang praktik kejahatan money laundering karena didorong oleh maraknya berbagai macam kejahatan baru yang juga bersifat lintas negara, yang memerlukan trik-trik khusus untuk menghindari upaya law enforcement dalam rangka survival bahkan development, seperti perdagangan ilegal narkotika, psikotropika, korupsi, penyuapan, perjudian, terorisme, perdagangan senjata ilegal, perdagangan budak, wanita, anak-anak, dan sebagainya.
Dana-dana yang berasal dari berbagai macam kejahatan pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan. Sebab konsekuensinya akan mudah dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber memperolehnya. Biasanya, dana yang terbilang besar dari hasil kejahatan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sistem keuangan, terutama dalam sistem perbankan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kejahatan Maney Laundry?
2.      Bagaimana kejahatan Maney laundry dalam hukum positif?
3.      Bagaimana perspektif hukum islam mengenai Maney laundry?
4.      Apa dalil maney Laundry dalam hukum islam dan bagaiman pemidanaannya?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui apa yang dimaksud kejahatan Maney laundry.
2.      Mengetahui kejahatan apa saja yang termasuk Maney laundry dalam hukum positif.
3.      Mengetahui bagaiman perspektif hukum islam dalam kejahatan maney laundry.
4.      Mengetahui apa dalil tentang Maney laundry dalam hukum islam serta hukuman apa yang diberikan pada kejahatan maney laundry.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kejahatan Money Laundering
Amerika adalah negara pertama yang menggunakan istilah Money Laundering. Istilah tersebut menunjuk kepada pencucian hak milik mafia, yaitu hasil usaha yang diperoleh secara gelap yang dicampurkan dengan maksud menjadikan seluruh hasil tersebut seolah olah diperoleh dari sumber yang sah. Singkatnya, istilah Money Laundering kali pertama digunakan dalam konteks hukum dalam sebuah kasus di Amerika Serikat pada tahun 1982. Kasus tersebut menyangkut denda terhadap pencucian uang hasil penjualan kokai Kolombia. Dalam perkembangannya proses yang dilakukan lebih kompleks lagi dan sering menggunakan cara mutakhir sedemikian rupa sehingga seolah olah uang yang diperoleh benar benar alami. Sementara Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa money loundering adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan penghilangan jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati keuntungan keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan. Penjualan senjata illegal, human trafficking dan kegiatan kegiatan lain yang dapat menghasilkan uang banyak dapat mendorong untuk menghalalkan (legitimasi) hasil yang diperoleh melalui Money Laundering. Bahkan dengan teknologi Money Laundering dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime.
Sementara menurut pasal 1 UU No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, bahwa Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering.
B.     Money Laundering dalam Hukum Positif
Money laundering merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yang berasal dari kejahatan dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara memasukan uang ke dalam sistem keuangan (financial system)[2] sehingga uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan sebagai uang yang halal.
Menurut Welling, Money laundering dimulai dari adanya uang kotor (dirty money). Uang kotor ini bisa didapat melalui dua cara, yaitu: Pertama, melalui pengelakan pajak. Maksud dari pengelakan pajak adalah memperoleh uang secara legal atau halal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang diperoleh sebenarnya. Kedua, memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum, seperti korupsi, perdanggangan narkoba (drug sales or drug trafficking), perjudian gelap (illegal gambling), penyuapan (bribery), teroris (terrorism), pelacuran (prostitution), perdagangan senjata (arms trafficking), penyelundupan minuman keras, ganja, dan pornografi (smuggling of contraband alcohol, tobacco, pornography), dan kejahatan kerah putih (white collar crime).
Pada perbuatan pertama yaitu pengelakan pajak, asal-usul semula dari uang itu atau uang yang bersangkutan adalah halal, akan tetapi uang itu menjadi haram karena tidak dilaporkan kepada otoritas pajak yang berwenang. Cara perbuatan yang kedua yaitu uang tersebut sejak awal sudah menjadi uang haram karana perolehan uang tersebut melalui cara-cara yang illegal.
Praktik-praktik money laundering mula-mula dilakukan terhadap uang yang diperoleh dari lalu lintas perdagangan minuman keras, narkotika, (mirasantika), dan sejenisnya. Namun, diperluas lagi terhadap uang yang diperoleh dari sumber-sumber kejahatan lainnya. Suatu contoh yang dekat adalah uang yang diperoleh dari hasil korupsi. Di mana korupsi tersebut telah merusak pembangunan nasional yang meliputi: ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Menurut Undang-undang RI No. 21 tahun 2001 Tentang Korupsi menyatakan bahwa korupsi terwujud dalam bentuk yang berbeda-beda dan biasanya meliputi beberapa unsur, seperti penyuapan, pencurian, curang, pemerasan, memanfaatkan konflik, perdagangan manusia dalam hal penawaran/penerimaan persenan secara melawan hukum, pemberian/komisi illegal, fanatisme dan nepotisme dari sumbangan politik secara illegal.
Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terimplementasikan dalam perundang-undangan tersebut arahnya pada memidana si pelaku, baik penjara, denda atau hukuman mati dari tindakan pidana korupsi yang telah dilakukannya. Draft United Nations Manual On Anti Corruption Policy dalam program globalnya adalah memerangi korupsi, bahwa tindakan tersebut ditujukan kepada pencegahan dan penanggulangan pencucian uang dari hasil kejatahan korupsi yang berkesinambungan.
Dalam prosesnya, money laundering dapat dibagi dalam tiga tahapan, yang meliputi:
  1. Placement, yaitu menempatkan uang haram ke dalam financial system. Biasanya dilakukan dengan cara memecah jumlah uang tunai yang sangat besar ke dalam sistem keuangan, pencucian uang ini berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya, hal ini dilakukan dengan cara memindahkan uang tersebut dari satu bank ke bank lain dan dari negara yang satu ke negara yang lainnya sampai beberapa kali, dan yang paling sering dilakukan oleh pelaku adalah memecah-mecah jumlahnya sehingga dengan pemecahan dan pemindahan beberapa kali, asal-usul uang itu tidak mungkin lagi dapat dilacak oleh otoritas moneter (penegak hukum)[3] Selain itu, para pelaku pencuci uang menyamarkan pemindahan dana tersebut (transfer) seakan-akan sebagai pembayaran untuk barang dan jasa agar terlihat seperti transaksi yang sah, atau dengan cara membeli sejumlah instrumen-instrumen moneter seperti cheuques, money orders dan lainnya. Kemudian dapat menagih uang tersebut dan dapat juga mendepositokannya ke dalam rekening-rekening di lokasi lainnya. Uang yang telah ditempatkan di bank, maka uang itu telah masuk ke dalam sistem keuangan negara bahkan sistem keuangan global atau internasional yang mana dapat dipindahkan ke bank yang lainnya, baik di dalam negara atau antar, dan luar negara.
  2. Layering, Setelah melakukan placement, maka selanjutnya dilakukan layering (heavy soaping). Tahap ini, pelaku pencuci uang berusaha untuk memutuskan hubungan dengan uang hasil kejahatan dari sumbernya atau mengupayakan konversi dana menjauh dari asalnya. Biasanya pelaku tersebut mungkin memilih suatu tempat pusat bisnis regional (offshore financial center) atau pusat perbankan dunia, yang mana menyediakan infrastruktur keuangan atau bisnis yang memadai. Dana yang telah dicuci hanya transit di rekening-rekening bank di beberapa tempat, yang dapat dilakukan tanpa meniggalkan jejak baik sumber atau tujuan akhir dari dana tersebut.
  3. Integration atau bisa disebut dengan repatriation and integration atau spin dry. Pada tahap ini, uang yang telah dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih, bahkan merupakan objek pajak. Begitu uang tersebut dapat diupayakan sebagai uang halal melalui cara layering, maka uang yang dianggap halal tersebut dibelanjakan untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan atau organisasi kejahatan yang akan diualngi lagi oleh pelaku, dan para pelaku ini dapat memilih penggunaannya dengan cara menginvestasikan dana tersebut ke dalam real estate (barang-barang maupun perusahaan).
Secara yuridis dalam Undang-undang no. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana money laundering dibedakan dalam dua tindakan pidana pencucian uang: Pertama, tindak pidana yang aktif, di mana sesorang dengan sengaja menempatkan, mentransfer, menghibahkan, membayar, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan uang-uang hasil tindakan pidana dengan tujuan mengaburkan atau menyembunyikan asal-usul uang itu, sehingga muncul seolah-olah menjadi uang yang sah. Kedua, pencucian uang yang pasif, yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, penerimaan hibah, sumbangan, penitipan, penukaran uang yang berasal dari tindak pidana tersebut dengan tujuan yang sama yaitu menyembunyikan asal-usulnya. Hal ini dianggap sama dengan pencucian uang. Dengan demikian, secara hukum yang berlaku baik taraf nasional dan internasional tidak dibenarkan hal ini dilakukan atau diperbuat oleh berbagai pihak.


C.    Kejahatan Money Laundering di Indonesia
Walaupun terlambat dibandingkan dengan negara negara lain, namun kebijakan melakukan kriminalisasi Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia dengan keluarnya UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (diundangkan pada tanggal 25 April 2002) sudah menunjukkan keikutsertaan Indonesia dalam upaya penaggulangan Money Laundering yang sudah lama menjadi perhatian Internasional. Bahkan kemudian UU No. 15 tahun 2002 diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif. Dasar pemikirannya adalah untuk disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional.
Dengan diundangkannya UU No. 15 tahun 2002 tersebut berarti penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia lebih menitik beratkan pada upaya penanggulangan dengan sarana “penal”. Komdisi demikian merupakan langkah maju dibandingkan dengan kondisi sebelumnya karena sebelum diundangkannya UU tersebut belum ada aturan secara khusus tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa dalam pasal 1 UU No. 15 tahun 2002 jo. UU No. 25 tahun 2003 disebutkan bahwa Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. di bidang perbankan; g. di bidang pasar modal; h. di bidang asuransi; i. narkotika; j. psikotropika; k. perdagangan manusia; l. perdagangan senjata gelap; m. penculikan; n. terorisme; o. pencurian; p. penggelapan; q. penipuan; r. pemalsuan uang; s. perjudian; t. prostitusi; u. di bidang perpajakan; v. di bidang kehutanan; w. di bidang lingkungan hidup; x. di bidang kelautan; y. atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Ayat (2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Perubahan atas pasal 2 ini merupakan langkah maju dibanding dengan UU sebelumnya, karena Predicate Offence dalam TPPU terbatas pada tindak pidana dengan kategori sebagai berikut; Harta Kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan: korupsi; penyuapan; penyelundupan barang; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Sementara dalam hal pembuktian, karena TPPU ini merupakan tindak pidana yang pasti didahului dengan tindak pidana lain, maka yang menjadi persoalan apakah tindak pidana yang merupakan Predicate Offence harus terlebih dahulu dibuktikan. Dalam hal ini Barda Nawawi melakukan analisis hingga pada kesimpulan.
Kalau memperhatikan pada unsur unsur delik TPPU, maka harus dibuktikan bahwa terdakwa mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil kejahatan/ tindak pidana. Jadi, yang harus dibuktikan adalah unsur subjektifnya (unsur sikap batin jahat/ kesalahannya), bukan unsur objektifnya, yaitu bukan membuktikan apakah jejahatan itu telah terjadi atau belum. Oleh karena itu adalah wajar dalam penjelasan ayat 3 ayat (1) hruf a dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “merupakan hasil tindak pidana” yaitu sudah terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana.
Oleh karena itu, yang dimaksud dalam penjelasan itu ialah bahwa untuk membuktikan apakah terdakwa “mengetahui/sepatutnya menduga bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana, tidak perlu betul betul dibuktikan telah terjadi tindak pidana, tetapi dibuktikan telah ada bukti yang cukup atas terjadinya tindak pidana. Jadi mirip dengan tindak pidana Penadahan pada pasal 480 KUHP yang dalam beberapa yurisprudensi dinyatakan bahwa pemeriksaan tindak pidana penadahan tidak perlu menunggu adanya putusan mengenai tindak pidana yang menghasilkan barang barang tadahan yang bersangkutan.
D.    Money Laundering dalam Perspektif Hukum Islam
Pandangan hukum Islam tentang money laundering ini merupakan bagian jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir menurut bahasanya adalah mashdar dari azzara yang berarti menolak atau mencegah kejahatan maupun juga berarti menguatkan, memuliakan, dan membantu. Secara terminologis, jarimah ta’zir adalah perbuatan maksiat yakni meninggalkan perintah yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan, di mana perbuatan itu dikenakan hukuman had maupun kifarat.[4] Maka, tindak pidana pencucian uang masuk dalam kategori jarimah ta’zir.
Kejahatan model ini merupakan suatu penyalahgunaan kewenangan (publik) untuk kepentingan pribadi yang merugikan kepentingan umum. Sebab uang adalah benda, dan benda tidak dapat disifati/dihukumi dengan halal atau haram, yang dapat disifati/dihukumi halal atau haram adalah perbuatan (perilaku) manusia. Kalau dalam pergaulan kita sahari-hari ada yang mengatakan ”uang haram atau uang halal”, maksudnya adalah uang yang diperoleh lewat jalan haram atau halal. Jadi perkataan tersebut adalah majazi/metaforis, bahwa hukuman hanyalah menjadi atribut/sifat dari perbuatan. Dalam Hasyiah Radd al-Muhtar Ibn Abidin dijelaskan, ”status keharaman uang/harta yang diperoleh lewat jalan haram tersebut adalah haram lighairih. Tetapi ia menegaskan kembali sekalipun haramnya lighairi, namun setatusnya qath’iy”. Berdasarkan penjelasan tadi, bahwasanya perbuatan pencucian uang, secangih apapun melalui teknologi dan cara yang digunakan untuk proses pencucian uang adalah haram dan dilarang oleh agama.
Pencucian uang merupakan perbuatan yang tercela dan dapat merusak, membahayakan, dan merugikan kepentingan umum. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan hukum Islam. Para pelaku kejahatan pencucian uang membawa luka dan mengganggu ketertiban, kedamaian serta ketentraman hajat hidup orang banyak, hal inilah yang dikatakan sebagai jarimah ta’zir. Money laundering dimasukkan ke dalam jarimah ta’zir karena memenuhi berbagai kategori sebagai berikut:
1. Perbuatan tersebut tercela menurut ukuran moralitas agama, sebab merusak, merugikan, dan membahayakan kehidupan manusia.
2. Perbuatan tersebut mencegah terwujudnya kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
3. Adanya unsur merugikan kepentingan umum.
4. Perbuatan tersebut mengganggu kepentingan umum dan ketertiban umum.
5. Perbuatan itu merupakan maksiat yang dilarang.
6. Perbuatan tersebut mengganggu kehidupan dan harta orang serta kedamaian dan ketentraman masyarakat.
Di samping itu, money laundering juga mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi, timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi, hilangnya pendapatan negara, menimbulkan rusaknya reputasi negara, dan menimbulkan biaya sosial yang tinggi. Akibat yang ditimbulkannya pun sangat besar terhadap kehidupan manusia.
E.     Dalil Dalil Tentang Hukum Maney Laundering
Dari Jabir ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Penghianatan, pencopetan, dan perampokan tidak dikenakan hukuman potong tangan”. (H.R Ahmad dan Imam empat. Hadits ini Shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Dari ibnu umar bahwa nabi SAW, pernah memotong (tangan pencuri) karena mengambil sebuah perisai seharga tiga dirham. (H.R Muttafaq’alaih)
Dari  Aisyah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apakah engkau akan memberikan pertolongan untuk membebankan suatu hukum hukuman dari hukum-hukum yang telah di tetapkan Allah? Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah beliau bersabda. “wahai manusia orang-orang sebelummu bisa adalah karena jika sesungguhnya yang terpandang diantara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum kepadanya” (H.R muttafaq’alaih).


F.     Pemidanaan Kejahatan Money Laundering
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syariat Islam adalah pencegahan (ar-rad-u waz-zajru), pengajaran, dan pendidikan (al-ishlah wat-tahdzib). Jarimah pada hakekatnya perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap perbuatannya dan merugikan korbannya. Hukuman yang dijatuhkan adalah berupa pemberian sanksi sebagai balasan dari perbuatannya yang merugikan masyarakat dan melanggar kehormatan norma yang sejalan dengan hukum yang berlaku. Dasar dari hukuman bagi pelaku kejahatan tersebut sebagai rasa derita yang harus dialami akibat dari perbuatannya, sekaligus sebagai penyuci dirinya. Sehingga adanya hukuman tersebut terwujudlah rasa keadilan.
Dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2003 tentang pencucian uang, berarti menganggap perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana (kejahatan) yang harus ditindak tegas oleh para penegak hukum yang berwenang. Mengingat daya rusak yang diakibatkan oleh kejahatan ini sangat merugikan banyak pihak, dan membawa mudlarat bagi kehidupan masyarakat. Dengan adanya perangkat hukum yang tegas hal ini bisa dijadikan sebagai perwujudan rasa keadilan. Dalam UU tersebut pada pasal 3, ancaman pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda minimal 5 milyar dan maksimal 15 milyar rupiah (jika di negara Indonesia). Model yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-undang adalah pola minimal dan maksimal, dan dalam penjatuhan pidananya menganut sistem kumulatif. Dengan pola minimal dan maksimal berarti hakim dalam menjatuhkan pidana akan berkisar antara 5 dan 15 tahun kurungan atau dalam penjatuhan pidana denda berkisar antara 5 sampai 15 milyar rupiah.
Pada hukuman ta’zir, model kejahatan seperti itu tidak dapat ditentukan kadar ukurannya, keputusan ta’zir 100% diserahkan kepada ijtihad hakim atau imam yang berwenang, dengan catatan, hukuman itu dapat mencegah pelakunya untuk tidak mengulanginya kembali. Hukuman yang dijatuhkan untuk tindak pidana pencucian uang ini sebagaimana diatur dalam UU No. 25 tahun 2003 sudah sesuai dengan hukum Islam, yang mana pola hukuman yang ditetapkan minimal dan maksimal, dan juga tujuan dari penjatuhan hukuman dalam tindak pidana ini terwujudnya rasa keadilan. Hal ini juga memiliki kriteria yang sama dalam penalisasi hukum Islam. Penalisasi hukum Islam ini adalah “memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang terkait dengan terjadinya jarimah”.
Hukuman yang ditetapkan oleh ijtihad para hakim, harus berhukum pada nash al-Qur’an dan al-Hadis, juga sesuai dengan kriteria yang ada. Kriteria penalisasi (penetapan sanksi pidana) terhadap jarimah ta’zir adalah:
  1. Memenuhi prinsip ”kesinambungan” dengan tingkat seriusitas jarimah.
  2. Memenuhi prinsip “keadilan” bagi semua pihak yang terkait dengan terjadinya jarimah
  3. Memenuhi prinsip tentang fungsi pemidanaan baik yang bersifat “zawaa’ir” maupun yang bersifat “jawaabir”.
Dengan demikian, pemidanaan terhadap perbuatan money laundering yang terkandung di dalam Undang-undang No. 25 di atas dapat dikatakan telah memenuhi kriteria penalisasi jarimah ta’zir.
G.    Analisis
Menurut pendapat saya dalam kasus Money laundry ini, yang dilakukan oleh  parapelaku atau terdakwa dalam kejahatan Money laundry Haruslah membut efek jera kepada pelaku yang telah merampas hak milik orang lain. Karena akibat yang dilakukan itu akan berdampak kepada penyalah gunaaan kekuasaan dan penyalah gunaan jabatan yang telah di berikan kepadanya dalam hal apapun.
Money laundry yang kita lihat pada saat ini begitu banyak yang telah dilakukan oleh para pelaku dalam kasus kejahatan pencucian uang, seharusnya hukuman yang diberikan juga haruslah membut pelaku jera dan mengakibatkan orang yang melihat atas perbuatan tersebut sangatlah jera agar tidak ada lagi yang melakukan perbuatan tersebut secara masal atau kebanyakan (seperti pada saat ini).
 Adapun hukuman atau Vonis penjatuhan perbuatan Money laundry menurut saya yaitu Jarimah Hadd (Hudud) yaitu potong tangan. Karna melihat dari kasus dan perbuatan tersebut sangatalah meresahkan orang dan membuat orang di ambil hak atau harta seperti pencurian atau perampokan yang hukumannya yaitu (potong tangan), walaupun ada perbedaan dalam perbuatan atau kasus Money Laundry ini yaitu pemindahan harta dari korban atau lembaga/instansi perusahaan yang ia kelola dan yang ia kuasai adalah bukan sepenuhnya hak milik dia sendiri akan tetapi ada hak milik orang lain dan hak milik orang yang mempunyai kekuasaan atau modal dalam perusahaan yang ia kelola.
Hukuman atau Jarimah Hadd sepantasnya harus diberikan kepada kasus Money Laundry yang memberikan akibat dan permasalahan dari yang dilakukan dan merujuk kepada dalil dalil dari Rasulullah SAW.
Dari  Aisyah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apakah engkau akan memberikan pertolongan untuk membebankan suatu hukum hukuman dari hukum-hukum yang telah di tetapkan Allah? Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah beliau bersabda. “wahai manusia orang-orang sebelummu bisa adalah karena jika sesungguhnya yang terpandang diantara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum kepadanya” (H.R muttafaq’alaih).
Dari Jabir ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Penghianatan, pencopetan, dan perampokan tidak dikenakan hukuman potong tangan”. (H.R Ahmad dan Imam empat. Hadits ini Shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Dari ibnu umar bahwa nabi SAW, pernah memotong (tangan pencuri) karena mengambil sebuah perisai seharga tiga dirham. (H.R Muttafaq’alaih)
Dari Aisyah ra. Bahwa rasulullah SAW bersabda “tidak boleh dipotong kecuali sebesar seperempat dinar atau lebih. (H.R Muttafaq’alaih)
Dari hadist diatas saya menyimpulkan bahwasannya hukuman yang pantas atas orang yang melakukan perbuatan Money Laundry haruslah di beri hukuman jarimah hadd (potong tangan) karna yang ia ambil melebihi dari apa yang telah di tentukan dalam aturan jarimah potong tangan.
Adapun dalam hal kasus Money Laundry ini yaitu pencucian uang yang memindahkan hak milik orang atau lembaga kedalam milik haknya sendiri dan di simpan atau dikelolakan sehingga tidak tampak ia telah mengambil harta, akantetapi ia melakukan dan berbuat untuk memiliki harta tersebut dengan jalan yaitu maney Laundry atau pencucian uang dan hukuman yang pantas adalah hukuman potong tangan.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat dinyatakan bahwa hukum Islam dengan tegas menyatakan bahwa money laundering merupakan perbuatan yang dilarang, sebab adanya unsur merugikan kepentingan umum dan sebagai perbuatan tercela menurut ukuran moralitas agama. Dalam UU No. 25 tahun 2003 dinyatakan bahwa memperoleh uang dari pencucian uang berarti memperoleh uang dari perbuatan maksiat (dilarang) sebagaimana yang diatur dalam UU tindak pidana.
Model yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang money laundering adalah minimal dan maksimal. Dalam hukum ta’zir, keputusan diserahkan kepada hakim secara ijtihadi agar dapat menghadapi perkembangan terbaru mengenai pelanggaran dan kejahatan yang ada di kalangan masyarakat. Hukuman ta’zir ini tidak menentukan kadar hukumannya, akan tetapi hukuman yang diberikan dari yang seringan-ringannya sampai seberat-beranya, dengan catatan hukuman itu dapat mencegah pelakunya mengulangi kembali.
DAFTAR PUSTAKA
·         Abdul Qodir Audah. 2000 M/ 1421 H. Tasyri' Jina'I Islami. Beirut: Al Muassasah Al Risalah.
·         Ahmad Hasan Hanafi. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
·         Amirullah, M. Arief, Tindak Pidana Money Laundering. Malang: Banyumedia Publishing, 2003
·         UU No. 21 tahun 2003, Money Laundering Tindak Pidana Pencucian Uang, Malang: Banyumedia Publishing, 2


[1]. Lihat, H,arief furqon,dkk., islam untuk disiplin ilmu hukum,(jakarta: depertemen agamaRI)
[2]. Syeikh Zainudin al-Malibari, terjemahan ‘irsyadul ‘ibad, panduan kejalan kebenaran

[3]. Hamka haq, syari’at islam wacana penerapanya, (ujung pandang;yayasan ahkam).
[4]. Harun naution, islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jakarta UI press 1965

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar