MONEY LAUNDRY
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas mandiri Hukum Pidana Islam III
Dosen
: Enceng Arif Faizal, M.Ag
Oleh
:
Kausar
Abidin (1123060042)
Hukum
pidana Islam/V/A
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar
Pencucian
uang adalah proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang
diperoleh dari hasil kejahatan untuk menghindari penuntutan dan penyitaan. Pencucian uang merupakan salah satu kejahatan
yang sering dibicarakan dewasa ini,
perbuatan pencucian uang sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat
mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan negara. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan tasyri' yaitu mencegah
mafsadah dan menciptakan mashlahah.
Pencucian uang menimbulkan kerusakan, kerugian, mudharat, sekaligus menjauhkan kemaslahatan dari kehidupan
manusia, tercela, dan terlarang
sehingga dapat disebut sebagai tindak pidana dan dalam konteks hukum Islam,
dapat dikenai hukuman ta'zir.[1]bagi pelakunya.
Daya rusak yang
ditimbulkan oleh kejahatan ini membuat banyak negara (termasuk Indonesia)
memahami pentingnya memiliki perangkat hukum anti
pencucian uang. Maka dikeluarkan undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, kemudian diubah
dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003.
Money laundering atau pencucian uang merupakan modus baru
dari kejahatan non konvesional sebagai side effect yang
mengiringi datangnya era globalisasi. Oleh karenanya, jenis kejahatan ini merupakan kejahatan
yang bersifat lintas batas teritorial
negara. Lahirnya ”ide kreatif” tentang praktik kejahatan money laundering karena didorong oleh maraknya berbagai
macam kejahatan baru yang juga bersifat lintas negara, yang memerlukan trik-trik khusus untuk menghindari upaya law
enforcement dalam rangka survival bahkan development, seperti perdagangan ilegal narkotika,
psikotropika, korupsi, penyuapan,
perjudian, terorisme, perdagangan senjata ilegal, perdagangan budak,
wanita, anak-anak, dan sebagainya.
Dana-dana yang berasal dari berbagai
macam kejahatan pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan. Sebab
konsekuensinya akan mudah dilacak oleh
aparat penegak hukum mengenai sumber memperolehnya. Biasanya, dana yang terbilang besar dari hasil kejahatan
dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sistem keuangan, terutama dalam sistem perbankan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan kejahatan Maney Laundry?
2.
Bagaimana kejahatan Maney laundry dalam hukum positif?
3.
Bagaimana perspektif hukum islam mengenai Maney laundry?
4.
Apa dalil maney Laundry dalam hukum islam dan bagaiman
pemidanaannya?
C. Tujuan
1.
Mengetahui apa yang dimaksud kejahatan Maney laundry.
2.
Mengetahui kejahatan apa saja yang termasuk Maney laundry
dalam hukum positif.
3.
Mengetahui bagaiman perspektif hukum islam dalam
kejahatan maney laundry.
4.
Mengetahui apa dalil tentang Maney laundry dalam hukum
islam serta hukuman apa yang diberikan pada kejahatan maney laundry.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kejahatan Money Laundering
Amerika adalah negara pertama yang menggunakan istilah Money
Laundering. Istilah tersebut menunjuk kepada pencucian hak milik mafia,
yaitu hasil usaha yang diperoleh secara gelap yang dicampurkan dengan maksud
menjadikan seluruh hasil tersebut seolah olah diperoleh dari sumber yang sah.
Singkatnya, istilah Money Laundering kali pertama digunakan dalam
konteks hukum dalam sebuah kasus di Amerika Serikat pada tahun 1982. Kasus
tersebut menyangkut denda terhadap pencucian uang hasil penjualan kokai
Kolombia. Dalam perkembangannya proses yang dilakukan lebih kompleks lagi dan sering
menggunakan cara mutakhir sedemikian rupa sehingga seolah olah uang yang
diperoleh benar benar alami. Sementara Financial Action Task Force on Money
Laundering (FATF) merumuskan bahwa money loundering adalah proses
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan. Proses tersebut
untuk kepentingan penghilangan jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati
keuntungan keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan. Penjualan
senjata illegal, human trafficking dan kegiatan kegiatan lain yang dapat
menghasilkan uang banyak dapat mendorong untuk menghalalkan (legitimasi)
hasil yang diperoleh melalui Money Laundering. Bahkan dengan teknologi Money
Laundering dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime.
Sementara menurut pasal 1 UU No. 25 tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, bahwa Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan, menitipkan, membawa
ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud
untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah
menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang
berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan
dalam sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in
Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut
dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention
1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku
tindakan tertentu yang berhubungan dengan narkotika dan money laundering.
B.
Money Laundering dalam Hukum Positif
Money
laundering
merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi
terhadap uang haram yang berasal dari kejahatan dengan maksud menyembunyikan
atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara memasukan
uang ke dalam sistem keuangan (financial system)[2]
sehingga uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan sebagai uang yang
halal.
Menurut
Welling, Money laundering dimulai dari adanya uang kotor (dirty money).
Uang kotor ini bisa didapat melalui dua cara,
yaitu: Pertama, melalui pengelakan pajak. Maksud dari pengelakan pajak
adalah memperoleh uang secara legal atau halal, tetapi jumlah yang dilaporkan
kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang
diperoleh sebenarnya. Kedua, memperoleh uang melalui cara-cara yang
melanggar hukum, seperti korupsi, perdanggangan narkoba (drug sales or drug
trafficking), perjudian gelap (illegal gambling), penyuapan (bribery),
teroris (terrorism), pelacuran (prostitution), perdagangan
senjata (arms trafficking), penyelundupan minuman keras, ganja, dan
pornografi (smuggling of contraband alcohol, tobacco, pornography), dan
kejahatan kerah putih (white collar crime).
Pada
perbuatan pertama yaitu pengelakan pajak, asal-usul semula dari uang itu atau
uang yang bersangkutan adalah halal, akan tetapi uang itu menjadi haram karena
tidak dilaporkan kepada otoritas pajak yang berwenang. Cara perbuatan yang
kedua yaitu uang tersebut sejak awal sudah menjadi uang haram karana perolehan
uang tersebut melalui cara-cara yang illegal.
Praktik-praktik
money laundering mula-mula dilakukan terhadap uang yang diperoleh dari
lalu lintas perdagangan minuman keras, narkotika, (mirasantika), dan
sejenisnya. Namun, diperluas lagi terhadap uang yang diperoleh dari
sumber-sumber kejahatan lainnya. Suatu contoh yang dekat adalah uang yang
diperoleh dari hasil korupsi. Di mana korupsi tersebut telah merusak
pembangunan nasional yang meliputi: ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Menurut Undang-undang RI No. 21 tahun 2001 Tentang Korupsi menyatakan bahwa
korupsi terwujud dalam bentuk yang berbeda-beda dan biasanya meliputi beberapa
unsur, seperti penyuapan, pencurian, curang, pemerasan, memanfaatkan konflik,
perdagangan manusia dalam hal penawaran/penerimaan persenan secara melawan
hukum, pemberian/komisi illegal, fanatisme dan nepotisme dari sumbangan politik
secara illegal.
Kebijakan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang terimplementasikan dalam
perundang-undangan tersebut arahnya pada memidana si pelaku, baik penjara,
denda atau hukuman mati dari tindakan pidana korupsi yang telah dilakukannya. Draft
United Nations Manual On Anti Corruption Policy dalam program globalnya
adalah memerangi korupsi, bahwa tindakan tersebut ditujukan kepada pencegahan
dan penanggulangan pencucian uang dari hasil kejatahan korupsi yang
berkesinambungan.
Dalam
prosesnya, money laundering dapat dibagi dalam tiga tahapan, yang
meliputi:
- Placement, yaitu menempatkan uang haram ke dalam financial system. Biasanya dilakukan dengan cara memecah jumlah uang tunai yang sangat besar ke dalam sistem keuangan, pencucian uang ini berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya, hal ini dilakukan dengan cara memindahkan uang tersebut dari satu bank ke bank lain dan dari negara yang satu ke negara yang lainnya sampai beberapa kali, dan yang paling sering dilakukan oleh pelaku adalah memecah-mecah jumlahnya sehingga dengan pemecahan dan pemindahan beberapa kali, asal-usul uang itu tidak mungkin lagi dapat dilacak oleh otoritas moneter (penegak hukum)[3] Selain itu, para pelaku pencuci uang menyamarkan pemindahan dana tersebut (transfer) seakan-akan sebagai pembayaran untuk barang dan jasa agar terlihat seperti transaksi yang sah, atau dengan cara membeli sejumlah instrumen-instrumen moneter seperti cheuques, money orders dan lainnya. Kemudian dapat menagih uang tersebut dan dapat juga mendepositokannya ke dalam rekening-rekening di lokasi lainnya. Uang yang telah ditempatkan di bank, maka uang itu telah masuk ke dalam sistem keuangan negara bahkan sistem keuangan global atau internasional yang mana dapat dipindahkan ke bank yang lainnya, baik di dalam negara atau antar, dan luar negara.
- Layering, Setelah melakukan placement, maka selanjutnya dilakukan layering (heavy soaping). Tahap ini, pelaku pencuci uang berusaha untuk memutuskan hubungan dengan uang hasil kejahatan dari sumbernya atau mengupayakan konversi dana menjauh dari asalnya. Biasanya pelaku tersebut mungkin memilih suatu tempat pusat bisnis regional (offshore financial center) atau pusat perbankan dunia, yang mana menyediakan infrastruktur keuangan atau bisnis yang memadai. Dana yang telah dicuci hanya transit di rekening-rekening bank di beberapa tempat, yang dapat dilakukan tanpa meniggalkan jejak baik sumber atau tujuan akhir dari dana tersebut.
- Integration atau bisa disebut dengan repatriation and integration atau spin dry. Pada tahap ini, uang yang telah dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih, bahkan merupakan objek pajak. Begitu uang tersebut dapat diupayakan sebagai uang halal melalui cara layering, maka uang yang dianggap halal tersebut dibelanjakan untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi kejahatan atau organisasi kejahatan yang akan diualngi lagi oleh pelaku, dan para pelaku ini dapat memilih penggunaannya dengan cara menginvestasikan dana tersebut ke dalam real estate (barang-barang maupun perusahaan).
Secara
yuridis dalam Undang-undang no. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana money
laundering dibedakan dalam dua tindakan pidana pencucian uang: Pertama,
tindak pidana yang aktif, di mana sesorang dengan sengaja menempatkan,
mentransfer, menghibahkan, membayar, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan uang-uang hasil tindakan pidana dengan tujuan mengaburkan atau
menyembunyikan asal-usul uang itu, sehingga muncul seolah-olah menjadi uang
yang sah. Kedua, pencucian uang yang pasif, yang dikenakan kepada setiap
orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
penerimaan hibah, sumbangan, penitipan, penukaran uang yang berasal dari tindak
pidana tersebut dengan tujuan yang sama yaitu menyembunyikan asal-usulnya. Hal
ini dianggap sama dengan pencucian uang. Dengan demikian, secara hukum yang
berlaku baik taraf nasional dan internasional tidak dibenarkan hal ini
dilakukan atau diperbuat oleh berbagai pihak.
C.
Kejahatan
Money Laundering di Indonesia
Walaupun terlambat dibandingkan
dengan negara negara lain, namun kebijakan melakukan kriminalisasi Tindak
Pidana Pencucian Uang di Indonesia dengan keluarnya UU No. 15 tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (diundangkan pada tanggal 25 April 2002)
sudah menunjukkan keikutsertaan Indonesia dalam upaya penaggulangan Money
Laundering yang sudah lama menjadi perhatian Internasional. Bahkan kemudian UU
No. 15 tahun 2002 diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dapat berjalan secara efektif. Dasar pemikirannya adalah untuk disesuaikan
dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar
internasional.
Dengan diundangkannya UU No. 15
tahun 2002 tersebut berarti penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di
Indonesia lebih menitik beratkan pada upaya penanggulangan dengan sarana
“penal”. Komdisi demikian merupakan langkah maju dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya karena sebelum diundangkannya UU tersebut belum ada aturan secara
khusus tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebagaimana yang telah disebutkan
di atas, bahwa dalam pasal 1 UU No. 15 tahun 2002 jo. UU No. 25 tahun 2003
disebutkan bahwa Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbang- kan, menitipkan, membawa
ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud
untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga
seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan
bahwa Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan
tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. di bidang perbankan; g. di bidang
pasar modal; h. di bidang asuransi; i. narkotika; j. psikotropika; k.
perdagangan manusia; l. perdagangan senjata gelap; m. penculikan; n. terorisme;
o. pencurian; p. penggelapan; q. penipuan; r. pemalsuan uang; s. perjudian; t.
prostitusi; u. di bidang perpajakan; v. di bidang kehutanan; w. di bidang
lingkungan hidup; x. di bidang kelautan; y. atau tindak pidana lainnya yang
diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di
wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik
Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia. Ayat (2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak
langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Perubahan atas pasal 2 ini
merupakan langkah maju dibanding dengan UU sebelumnya, karena Predicate Offence
dalam TPPU terbatas pada tindak pidana dengan kategori sebagai berikut; Harta
Kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih
atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari
kejahatan: korupsi; penyuapan; penyelundupan barang; penyelundupan tenaga
kerja; penyelundupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan
budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme;
pencurian; penggelapan; penipuan yang dilakukan di wilayah Negara Republik
Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut
juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Sementara dalam hal pembuktian,
karena TPPU ini merupakan tindak pidana yang pasti didahului dengan tindak
pidana lain, maka yang menjadi persoalan apakah tindak pidana yang merupakan
Predicate Offence harus terlebih dahulu dibuktikan. Dalam hal ini Barda Nawawi
melakukan analisis hingga pada kesimpulan.
Kalau memperhatikan pada unsur
unsur delik TPPU, maka harus dibuktikan bahwa terdakwa mengetahui atau
sepatutnya menduga bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil kejahatan/ tindak
pidana. Jadi, yang harus dibuktikan adalah unsur subjektifnya (unsur sikap
batin jahat/ kesalahannya), bukan unsur objektifnya, yaitu bukan membuktikan
apakah jejahatan itu telah terjadi atau belum. Oleh karena itu adalah wajar
dalam penjelasan ayat 3 ayat (1) hruf a dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“merupakan hasil tindak pidana” yaitu sudah terdapat bukti permulaan yang cukup
atas terjadinya tindak pidana.
Oleh karena itu, yang dimaksud
dalam penjelasan itu ialah bahwa untuk membuktikan apakah terdakwa
“mengetahui/sepatutnya menduga bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak
pidana, tidak perlu betul betul dibuktikan telah terjadi tindak pidana, tetapi
dibuktikan telah ada bukti yang cukup atas terjadinya tindak pidana. Jadi mirip
dengan tindak pidana Penadahan pada pasal 480 KUHP yang dalam beberapa
yurisprudensi dinyatakan bahwa pemeriksaan tindak pidana penadahan tidak perlu
menunggu adanya putusan mengenai tindak pidana yang menghasilkan barang barang
tadahan yang bersangkutan.
D.
Money Laundering dalam Perspektif Hukum Islam
Pandangan
hukum Islam tentang money laundering ini merupakan bagian jarimah
ta’zir. Jarimah ta’zir menurut bahasanya adalah mashdar dari azzara
yang berarti menolak atau mencegah kejahatan maupun juga berarti menguatkan,
memuliakan, dan membantu. Secara terminologis, jarimah ta’zir adalah
perbuatan maksiat yakni meninggalkan perintah yang diwajibkan dan melakukan
perbuatan yang diharamkan, di mana perbuatan itu dikenakan hukuman had maupun
kifarat.[4] Maka, tindak pidana pencucian uang masuk dalam kategori jarimah
ta’zir.
Kejahatan
model ini merupakan suatu penyalahgunaan kewenangan (publik) untuk kepentingan
pribadi yang merugikan kepentingan umum. Sebab uang adalah benda, dan benda
tidak dapat disifati/dihukumi dengan halal atau haram, yang dapat
disifati/dihukumi halal atau haram adalah perbuatan (perilaku) manusia. Kalau
dalam pergaulan kita sahari-hari ada yang mengatakan ”uang haram atau uang
halal”, maksudnya adalah uang yang diperoleh lewat jalan haram atau halal. Jadi
perkataan tersebut adalah majazi/metaforis, bahwa hukuman hanyalah
menjadi atribut/sifat dari perbuatan. Dalam Hasyiah Radd al-Muhtar Ibn
Abidin dijelaskan, ”status keharaman uang/harta yang diperoleh lewat jalan
haram tersebut adalah haram lighairih. Tetapi ia menegaskan kembali sekalipun
haramnya lighairi, namun setatusnya qath’iy”. Berdasarkan penjelasan tadi,
bahwasanya perbuatan pencucian uang, secangih apapun melalui teknologi dan cara
yang digunakan untuk proses pencucian uang adalah haram dan dilarang oleh
agama.
Pencucian
uang merupakan perbuatan yang tercela dan dapat merusak, membahayakan, dan
merugikan kepentingan umum. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan hukum
Islam. Para pelaku kejahatan pencucian uang membawa luka dan mengganggu
ketertiban, kedamaian serta ketentraman hajat hidup orang banyak, hal inilah
yang dikatakan sebagai jarimah ta’zir. Money laundering
dimasukkan ke dalam jarimah ta’zir karena memenuhi berbagai kategori
sebagai berikut:
1.
Perbuatan tersebut tercela menurut ukuran moralitas agama, sebab merusak,
merugikan, dan membahayakan kehidupan manusia.
2. Perbuatan
tersebut mencegah terwujudnya kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
3.
Adanya unsur merugikan kepentingan umum.
4.
Perbuatan tersebut mengganggu kepentingan umum dan ketertiban umum.
5.
Perbuatan itu merupakan maksiat yang dilarang.
6.
Perbuatan tersebut mengganggu kehidupan dan harta orang serta kedamaian dan
ketentraman masyarakat.
Di
samping itu, money laundering juga mengakibatkan hilangnya kendali
pemerintah terhadap kebijakan ekonomi, timbulnya distorsi dan ketidakstabilan
ekonomi, hilangnya pendapatan negara, menimbulkan rusaknya reputasi negara, dan
menimbulkan biaya sosial yang tinggi. Akibat yang ditimbulkannya pun sangat
besar terhadap kehidupan manusia.
E. Dalil Dalil Tentang Hukum Maney Laundering
Dari Jabir ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Penghianatan, pencopetan,
dan perampokan tidak dikenakan hukuman potong tangan”. (H.R Ahmad dan Imam
empat. Hadits ini Shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Dari ibnu umar bahwa nabi SAW, pernah memotong (tangan pencuri) karena
mengambil sebuah perisai seharga tiga dirham. (H.R Muttafaq’alaih)
Dari Aisyah ra. Bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Apakah engkau akan memberikan pertolongan untuk membebankan suatu
hukum hukuman dari hukum-hukum yang telah di tetapkan Allah? Kemudian beliau
berdiri dan berkhutbah beliau bersabda. “wahai manusia orang-orang sebelummu
bisa adalah karena jika sesungguhnya yang terpandang diantara mereka mencuri,
mereka menegakkan hukum kepadanya” (H.R muttafaq’alaih).
F.
Pemidanaan Kejahatan Money Laundering
Tujuan
pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syariat Islam adalah pencegahan (ar-rad-u
waz-zajru), pengajaran, dan pendidikan (al-ishlah wat-tahdzib).
Jarimah pada hakekatnya perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak
keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap perbuatannya dan
merugikan korbannya. Hukuman
yang dijatuhkan adalah berupa pemberian sanksi sebagai balasan dari
perbuatannya yang merugikan masyarakat dan melanggar kehormatan norma yang
sejalan dengan hukum yang berlaku. Dasar dari hukuman bagi pelaku kejahatan
tersebut sebagai rasa derita yang harus dialami akibat dari perbuatannya,
sekaligus sebagai penyuci dirinya. Sehingga adanya hukuman tersebut terwujudlah
rasa keadilan.
Dengan
dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2003 tentang pencucian uang, berarti menganggap
perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana (kejahatan) yang harus ditindak
tegas oleh para penegak hukum yang berwenang. Mengingat daya rusak yang
diakibatkan oleh kejahatan ini sangat merugikan banyak pihak, dan membawa mudlarat
bagi kehidupan masyarakat. Dengan adanya perangkat hukum yang tegas hal ini
bisa dijadikan sebagai perwujudan rasa keadilan. Dalam UU tersebut pada pasal
3, ancaman pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda
minimal 5 milyar dan maksimal 15 milyar rupiah (jika di negara Indonesia).
Model yang ditetapkan oleh pembentuk Undang-undang adalah pola minimal dan
maksimal, dan dalam penjatuhan pidananya menganut sistem kumulatif. Dengan pola
minimal dan maksimal berarti hakim dalam menjatuhkan pidana akan berkisar
antara 5 dan 15 tahun kurungan atau dalam penjatuhan pidana denda berkisar
antara 5 sampai 15 milyar rupiah.
Pada
hukuman ta’zir, model kejahatan seperti itu tidak dapat ditentukan kadar
ukurannya, keputusan ta’zir 100% diserahkan kepada ijtihad hakim
atau imam yang berwenang, dengan catatan, hukuman itu dapat mencegah pelakunya
untuk tidak mengulanginya kembali. Hukuman yang dijatuhkan untuk tindak pidana
pencucian uang ini sebagaimana diatur dalam UU No. 25 tahun 2003 sudah sesuai
dengan hukum Islam, yang mana pola hukuman yang ditetapkan minimal dan
maksimal, dan juga tujuan dari penjatuhan hukuman dalam tindak pidana ini
terwujudnya rasa keadilan. Hal ini juga memiliki kriteria yang sama dalam
penalisasi hukum Islam. Penalisasi hukum Islam ini adalah “memenuhi prinsip
keadilan bagi semua pihak yang terkait dengan terjadinya jarimah”.
Hukuman
yang ditetapkan oleh ijtihad para hakim, harus berhukum pada nash al-Qur’an dan
al-Hadis, juga sesuai dengan kriteria yang ada. Kriteria penalisasi (penetapan sanksi pidana)
terhadap jarimah ta’zir adalah:
- Memenuhi prinsip ”kesinambungan” dengan tingkat seriusitas jarimah.
- Memenuhi prinsip “keadilan” bagi semua pihak yang terkait dengan terjadinya jarimah
- Memenuhi prinsip tentang fungsi pemidanaan baik yang bersifat “zawaa’ir” maupun yang bersifat “jawaabir”.
Dengan demikian, pemidanaan terhadap
perbuatan money laundering yang terkandung di dalam Undang-undang No. 25
di atas dapat dikatakan telah memenuhi kriteria penalisasi jarimah ta’zir.
G.
Analisis
Menurut pendapat saya dalam kasus Money laundry ini, yang
dilakukan oleh parapelaku atau terdakwa dalam
kejahatan Money laundry Haruslah membut efek jera kepada pelaku yang telah merampas
hak milik orang lain. Karena akibat yang dilakukan itu akan berdampak kepada
penyalah gunaaan kekuasaan dan penyalah gunaan jabatan yang telah di berikan
kepadanya dalam hal apapun.
Money laundry yang kita lihat pada saat ini begitu banyak
yang telah dilakukan oleh para pelaku dalam kasus kejahatan pencucian uang,
seharusnya hukuman yang diberikan juga haruslah membut pelaku jera dan
mengakibatkan orang yang melihat atas perbuatan tersebut sangatlah jera agar
tidak ada lagi yang melakukan perbuatan tersebut secara masal atau kebanyakan
(seperti pada saat ini).
Adapun hukuman atau
Vonis penjatuhan perbuatan Money laundry menurut saya yaitu Jarimah Hadd
(Hudud) yaitu potong tangan. Karna melihat dari kasus dan perbuatan tersebut
sangatalah meresahkan orang dan membuat orang di ambil hak atau harta seperti
pencurian atau perampokan yang hukumannya yaitu (potong tangan), walaupun ada
perbedaan dalam perbuatan atau kasus Money Laundry ini yaitu pemindahan harta
dari korban atau lembaga/instansi perusahaan yang ia kelola dan yang ia kuasai
adalah bukan sepenuhnya hak milik dia sendiri akan tetapi ada hak milik orang
lain dan hak milik orang yang mempunyai kekuasaan atau modal dalam perusahaan yang
ia kelola.
Hukuman atau Jarimah Hadd sepantasnya harus diberikan
kepada kasus Money Laundry yang memberikan akibat dan permasalahan dari yang
dilakukan dan merujuk kepada dalil dalil dari Rasulullah SAW.
Dari Aisyah ra. Bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Apakah engkau akan memberikan pertolongan untuk membebankan suatu
hukum hukuman dari hukum-hukum yang telah di tetapkan Allah? Kemudian beliau
berdiri dan berkhutbah beliau bersabda. “wahai manusia orang-orang sebelummu
bisa adalah karena jika sesungguhnya yang terpandang diantara mereka mencuri,
mereka menegakkan hukum kepadanya” (H.R muttafaq’alaih).
Dari Jabir ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Penghianatan, pencopetan,
dan perampokan tidak dikenakan hukuman potong tangan”. (H.R Ahmad dan Imam
empat. Hadits ini Shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Dari ibnu umar bahwa nabi SAW, pernah memotong (tangan pencuri) karena
mengambil sebuah perisai seharga tiga dirham. (H.R Muttafaq’alaih)
Dari Aisyah ra. Bahwa rasulullah SAW bersabda “tidak boleh dipotong kecuali
sebesar seperempat dinar atau lebih. (H.R Muttafaq’alaih)
Dari hadist diatas saya menyimpulkan bahwasannya hukuman yang pantas atas orang
yang melakukan perbuatan Money Laundry haruslah di beri hukuman jarimah hadd
(potong tangan) karna yang ia ambil melebihi dari apa yang telah di tentukan
dalam aturan jarimah potong tangan.
Adapun
dalam hal kasus Money Laundry ini yaitu pencucian uang yang memindahkan hak
milik orang atau lembaga kedalam milik haknya sendiri dan di simpan atau
dikelolakan sehingga tidak tampak ia telah mengambil harta, akantetapi ia
melakukan dan berbuat untuk memiliki harta tersebut dengan jalan yaitu maney
Laundry atau pencucian uang dan hukuman yang pantas adalah hukuman potong
tangan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat dinyatakan
bahwa hukum Islam dengan tegas menyatakan bahwa money laundering
merupakan perbuatan yang dilarang, sebab adanya unsur merugikan kepentingan
umum dan sebagai perbuatan tercela menurut ukuran moralitas agama. Dalam UU No.
25 tahun 2003 dinyatakan bahwa memperoleh uang dari pencucian uang berarti
memperoleh uang dari perbuatan maksiat (dilarang) sebagaimana yang diatur dalam
UU tindak pidana.
Model yang ditetapkan oleh pembentuk
undang-undang money laundering adalah minimal dan maksimal. Dalam hukum ta’zir,
keputusan diserahkan kepada hakim secara ijtihadi agar dapat menghadapi
perkembangan terbaru mengenai pelanggaran dan kejahatan yang ada di kalangan
masyarakat. Hukuman
ta’zir ini tidak menentukan kadar hukumannya, akan tetapi hukuman yang
diberikan dari yang seringan-ringannya sampai seberat-beranya, dengan catatan
hukuman itu dapat mencegah pelakunya mengulangi kembali.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Abdul Qodir
Audah. 2000 M/ 1421 H. Tasyri' Jina'I Islami. Beirut: Al Muassasah Al Risalah.
·
Ahmad Hasan Hanafi. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
·
Amirullah, M. Arief, Tindak Pidana Money
Laundering. Malang:
Banyumedia Publishing, 2003
·
UU No. 21 tahun 2003, Money Laundering Tindak Pidana Pencucian
Uang, Malang: Banyumedia Publishing, 2
[1]. Lihat, H,arief furqon,dkk., islam
untuk disiplin ilmu hukum,(jakarta: depertemen agamaRI)
[2]. Syeikh Zainudin al-Malibari, terjemahan
‘irsyadul ‘ibad, panduan kejalan kebenaran
[3]. Hamka haq, syari’at islam wacana
penerapanya, (ujung pandang;yayasan ahkam).
[4]. Harun naution, islam ditinjau dari
berbagai aspeknya, jakarta UI press 1965
Tidak ada komentar:
Posting Komentar