NAMA : Kausar
Abidin
NIM : 1123060042
JURUSAN : HPI/III/A
MATA KULIAH :
HUKUM
PIDANA
DOSEN :
POPON
MUNAWAROH, S.Hi.,M.H
FAKULTAS :
SYARI’AH
DAN HUKUM
RESUME
DASAR PENGHAPUS,
PERINGAN, DAN PEMBERAT PIDANA
1.
Dasar
yang mengahapuskan pidana
Pembentuk undang-undang (wetgever) menentukan pengecualiandengan
batasan tertentu bagi suatu perbuatan tidak dapat diterapkan peraturan hukum
pidana sehingga terdapat alasan penghapus pidana.
Dasar peniadaaan pidana (strafuitluitingsgronden) harus dibedakan
dengan dasar penghapusan penuntutan (verval van recht tot strafvordering). Yang
pertama ditetapkan hakim dengan menyatakan sifat melawan hukumnya perbuatan
hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan undang-undang dan
hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Dalam hal ini hak
menuntut jaksa tetap ada, namun terdakwa tidak dijatuhi pidana. Dasar
penghapusan pidana harus dibedakan dan dipisahkan dari dasar penghapusan
penuntutan pidana menghapuskan hak menuntut jaksa karena adanya ketentuan
undang-undang.
KUHP terdapat beberapa ketentuan
yang memuat alasan-alasan yang mengecualikan atau menghapuskan pidana.
KUHP mengadakan
pembagian antara :
1)
Dasar
penghapusan pidana umum (Algemene Strafuitsluitingsgronden)
Algemene
srtafuitsluitingsgronden berlaku untuk tiap delik, yang tercantum dalam
pasal-pasal 44 dan 48-51 KUHP. (Utrecht, hal.343)
2)
Dasar
penghapusan pidana khusus (Bijzondere Strafuitsluitingsgronden)
Bijzondere
strafuitsluitingsgronden hanya berlaku untuk satu delik tertentu, yang
tercantum dalam pasal-pasal 166, 221 ayat (2), 310 ayat (3) 367 ayat (1) KUHP
dan dalam beberapa undang-undang lain dan peraturan-peraturan daerah.
Keistimewaan
bijzondere strafuitsluitingsgronden yaitu mengecualikan dijatuhkannya hukuman
tidak berdasarkan tidak adanya wederrechtelijkheid atau tidak adanya schuld
(kesalahan dalam arti kata luas) tetapi dasar bijzondere
strafuitsluitingsgronden adalah kepentingan umum tidak akan tertolong oleh
suatu penuntutan pidana, pembuat undang-undang pidana menganggap lebih baik dan
lebih bijaksana tidak menuntut dimuka hakim pidana.(Utrecht, 343-344).
Alasan-alasan
yang dimuat dalam perundang-undangan untuk hapusnya hak penuntutan adalah:
a.
Adanya suatu
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
Hal
ini diatur dalam pasal 76 KUHP yang berbunyi : “kecuali dalam hal putusan hakim
dapat diubah,orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang
baginya telah diputuskan oleh hakim di Indonesia dengan putusan yang telah
tetap”.
Ketentuan
pasal ini dimaksudkan guna memberikan kepastian kepada masyarakat maupun kepada
setiap individu agar menghormati putusan tersebut. prinsip yang dimuat dalam
pasal 76 KUHP tersebut dikenal dengan ne bis in idem,yang artinya tidak boleh
suatu perkara yang sama yang sudah diputus,diperiksa,dan diputus lagi untuk
kedua kalinya oleh pengadilan.
Apabila
putusan telah berkekuatan hukum tetap,upaya hukum tidak dapat digunakan lagi.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut,dapat berupa:
a)
Putusan bebas
b)
Putusan lepas
dari segala tuntutan hukum
c)
Putusan tidak
dapat menerima tuntutan penuntut umum
d)
Putusan pemidanaan
b.
Kematian
orang yang melakukan delik
Hal
ini diatur dalam pasal 77 KUHP yang berbunyi: “hak menuntut hilang oleh karena
meninggalnya si tersangka.”
Ketentuan
ini dilandasi dasar pemidanaan, yakni bahwa hukuman ditujukan kepada pribadi
orang yang melakukan delik. Dengan demikian,apabila orang yang melakukan delik
telah meninggal, tidak ada lagi penuntutan bagi perbuatan yang telah
dilakukannya.
c.
Daluwarsa
Hal
ini diatur dalam pasal 78 KUHP yang berbunyi:
(1)
hak untuk
penuntutan pidana hapus karena daluwarsa :
1e.dalam satu
tahun bagi semua pelanggaran dan bagi kejahatan yang dilakukan dengan percetakan.
2e. dalam enam
tahun bagi kejahatan-kejahatan yang diancam dengan denda, hukuman kurungan atau
hukuman penjara, yang lamanya tidak lebih dari tiga tahun.
3e. dalam dua
belas tahun bagi semua kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara sementara
yang lamanya lebih dari tiga tahun.
4e.
dalam delapan belas tahun bagi semua kejahatan, yang diancam dengan
hukuman mati atau hukuman penjara seumur
hidup.
(2)
untuk
orang,yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup delapan belas
tahun,tenggang daluwarsa yang tersebut diatas itu, dikurangi sepertiga.”
Dasar
penghapusan hak penuntutan pidana itu adalah bahwa dengan berlalunya waktu yang
agak lama,ingatan akan kejadian yang ada telah hilanh sehingga kemungkinan
pembuktiannya menjadi rumit bahkan alat bukti kemungkinan telah lenyap.
d.
Penyelesaian
perkara di luar pengadilan
Hal ini diatur
dalam pasal 82 ayat 1 KUHP yang berbunyi antara lain sebagai berikut:
“Hak
penuntutan pidana kerena pelanggaran,yang atasnya tidak ditentukan hukuman
pokok lain daripada denda, hilang kalau dengan rela hati sudah dibayar maksimum
denda serta juga biaya perkara.”
Ketentuan
diatas secara rasional adalah hal yang logis demi efisiensi.hal ini diatur
demikian untuk memberi kepastian hukum bagi pelaku pelanggaran maupun bagi
aparat penuntut.
Selain
hal diatas,dalam perundang-undangan (bukan KUHP), masih ada ketentuan yang
dapat menghapuskan hak penuntutan atas pelaku kejahatan, yakni abolisi dan
ammesti. Kedua hal tersebut merupakan hak prerogative presiden dengan
memperhatikan pertimbangan DPR yang diatur dalam pasal 14 Undang-Undang Dasar
1945 hasil amandemen.
Abolisi
adalah penghapusan hak melakukan penuntutan pidana dan menghentikan penuntutan
pidana yang telah dimmulai. Adapun amnesti adalah pernyataan pengampunan atau
penghapusan hukuman kepada umum yang telah melakukan tindak-tindak pidana
tertentu.
2.
Dasar
yang meringankan pidana
Menurut Jonkers (1946 : 169)
bahwa sebagian dasar peringanan atau pengurangan pidana yang bersifat umum,
bias disebuit:
1) Percobaan untuk melakukan
kejahatan (pasal 53 KUHP).
2) Pembantuan (pasal 56 KUHP).
dan
3)
Strafrechtelijke
minderjarigheid, atau orang yang belum cukum umur yang dapat di pidana (pasal 45 KUHP).
Pendapat Jonkers tersebut
sesuai dengan pendapat Hezewinkel Suringan (1973 : 571), yang mengumukakan
bahwa percobaaan dan pembantuan adalah bukan satu bentuk keadaan yang
memberikan cirri keringanan kepada suatu delik tertentu, tetapi percobaan dan
pembantuan merupakan bentuk perwujudan yang berdiri sendiri dan tersendiri
delik-delik.
Pasal 45 KUHP, yang sudah
ketinggalan jaman iyu, memberikan kewenangan kepada hakim untuk memilih
tindakan dan pemudanaan terhadap kanak-kanak yang belum mencapai usia 16 tahun,
yaitu: mengembalikan kanak-kanak kepada orang tuanya atau walinya tanpa dijatuhi pidana; atau
memerintahkan supaya anak-anak itu di berikan kepada pemerintah tanpa di
piodana tanpa sarat sarat tertentu; ataupun hakim menjatuhkan pidana. Selain
satu-satunya dasar peringanan pidana umum terdapat didalam pasal 45 KUHP,
terdapat juga dasar peringana pidana yang khusus yang diatur didalam buku dua KUHP, yaitu:
a. Pasal 308 KUHP, pasal 305,
dan pasal 306 ayat 1 dan 2 KUHP.
b. Pasal 341 KUHP.
c. Pasal 342 KUHP.
3. Dasar yang memberatkan
pidana
Menurut Jonkers (1946 : 170)
bahwa dasar umum strafverhogingsgronden,
atau dasar pemberatan atau penambahan pidana umum ada;lah;
1. Kedudukan sebagai pegawai
negri.
2. Recidiv (pengulangna delik.
3. Samenlop (gabungan dua atau
lebih delik).
Kalau pengadilan hendak
menjatuhkan pidana maksimum, maka pidana tertinggi yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana delik itu ditambah
dengan sepertiganya.
Pasal 52 KUHP tidak dapat
diberlakukan terhadap delik jabatan (ambtsdelicten) yang memang khusus diatur
dalam pasal 413 sampai dengan pasal 437 KUHP, yang sebagiannya dimasukan kedalam
undang-undang tentang pemberantasan tindak pida korupsi. KUHP Indonesia juga
tidak mengenal special recidive, tetapi menganut system antara. Hanya del;ik
delik tertentu atau kelompok delik delik tertentu yang dapat membuahkan
recidive (pengulangan) oleh karena itu recidive tidak diatur dalam buku satu
KUHP yang menyebut beberapa delik terhadap harta benda kekayaan, pasal 487 KUHP
yang menyebut delik delik agresif, dan pasal 488 KUHP yang menyebut terutama
delik delik penghinaan ditambah dengan delik delik yang dilakukan oleh penerbit
dan percetakan mass media (sering disebut delik pers).
Recidive atau pengulanga
kejahatan tentu terjadi bilamana oleh orang yang sama mewujudkan lagi satu
delik, yang dirantai oleh putusan pengadilan negri yang telah memidana pembuat
delik. Penambahan pidana dalam adanya hal recidive ialah sepertiga. Pasal 486
dan 487 KUHP menetapkan, bahwa hanya ancaman pidana penjara yang dapat dinaikan
sepertiganya, sedangka pasal 488 KUHP, menyatakan bahwa semua pidana untuk
kejahatan-kejahatan yang disebut secara limitative, jadi juga kurungan atau
denda dapat dinaikan dengan sepertiga.
Olehkarna itu pidana
pemberat dapat dikatakan yaitu pidana yang dalam hukumannya itu ditambah
sepertiganya karna dia telah melakukan kejahatan delik-delik yang berkelanjutan
dalam satu waktu ataupun dalam beberapa waktu dan dalam penjatuhannya maka
dapat dikenakan dengan dua hukuman atau diambil yang paling terberat dalam penjatuhan
hukumannya dan itu tergantung apa yang di lakukan dalam deliknya dan hakim akan
mempertimbangkan dalam penjatuhan hukumannya.
SUMBER BAHAN (HUKUM PIDANA
1/Prof. Dr. H.A. Zainal Abidin Farid, S.H. Sinar Grafika, 2007.-
ini bagus
BalasHapus