MAKALAH HUKUM ADAT
HUKUM ADAT KETATANEGARAAN
Diajukan
Untuk Memenuhi Sala Satu Tugas Mata Kuliah di Universitas Islam Negri Sunan
Gunung Djati Bandung
Jurusan Hukum
Pidana Islam
Disusun Oleh : Kelompok 1
Aisyah (1123060009)
Kautsar Abidin (1123060042)
Irma S. Rubiah (1123060037)
Kamal Rullah (1123060041)
Farhatun Hurriyah (1123060025)
Fakultas Syari’ah dan
Hukum
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI BANDUNG
Kata Pengantar
Alhamdulillah Puja dan Puji tetap atas pemilik Dzat Maha Abadi dan Maha
Hakiki yang telah menjadikan hidup ini indah dan penuh berkah,bahagia dan penuh
makna.Serta ucapan syukur yang tiada terhitung selalu kami tujukan dan kami
utamakan kepada Allah SWT yang mana karena Rahman dan Rahim-Nya, penyusun
diberikan kesehatan jasmani dan rohani, keberkahan masa dan usia sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah Hukum Adat “Hukum Adat Ketatanegaraan” ini. Karena tanpa semua itu mustahil maklah ini dapat di
selesaikan dengan baik.
Makalah ini di susun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah di Universitas Islam Negri Sunan
Gunung Djati Bandung. Besar
harapan kami hadirnya makalah ini di tengah-tengah pembaca dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman terhadap Hukum Adat Hukum Adat Ketatanegaraan” khususnya
sebagai salah satu bahasan pokok yang terdapat pada pokok bahasan Hukum Adat, dan apa yang di bahas dalam makalah ini merupakan salah
satu bagian darinya.
Tidak terkecuali kami ucapkan
banyak terimakasih kepada dosen kami tercinta bidang studi Hukum Adat yang
telah memberikan tugas mulia ini sebagai wahana untuk mengukur sejauh mana
kemempuan dan pemahaman yang kami miliki.
Akhirnya, kami mengambil
istilah untuk makalah ini sesuai dengan kata pepatah bahwa ”tiada gading yang
tak retak”, itu berarti masih banyak kekurangan dan kesalahan yang terdapat
dalam makalah ini, oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca
khuususnya dari dosen bidang studi terkait sangat kami harapkan sebagai bahan
perbaikan di masa mendatang. Karena Kebenaran dan Kesempurnaan hanya Allah-lah
Yang Maha Punya dan Maha Kuasa.
Penyusun
Bandung, 25 September
2013
Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………..!
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..!!
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………….
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………
C. Tujuan……………………………………………………………………………………..
BAB
II PEMBAHASAN
A. Bentuk Desa………………………………………………………………………………..
B. Susunan Masyarakat Desa…………………………………………………………………
C. Pemerintahan Desa…………………………………………………………………………
D. Harta Kekayaan Desa……………………………………………………………………...
BAB
III PENUTUP
A. Penutup……………………………………………………………………………………
B. Kesimpulan…………………………………………………………………………………
Daftar
Pustaka…………………………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Apabila kita mengartikan Hukum Adat sebgai hukum yang tidak tertulis
dalam bentuk perundangan
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
bentuk desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
2.
Bagaimana
susunan masyrakat desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
3.
Bagaimana
corak pemerintahan desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
4.
Apa yang
dimaksud dengan harta kekeyaan desa? Apa saja yang menjadi sumber harta
kekayaan desa?
C. Tujuan
1. Mengetahui bentuk desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan.
2. Mengetahui susunan masyarakat desa dalam hukum adat ketatanegaraan.
3. Mengetahui sistem atau corak pemerintahan desa.
4. Mengetahui apa yan dimaksud harta kekayaan desa dan sumber-sumbernya.
BAB II PEMBAHASAN
A. Bentuk Desa
Menurut Undang-undang no. 5 tahun
1979 pasal I dikatakan yang dimaksud dengan “Desa adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di
dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, sedangkan “Dusun adalah
bagian wilayah dalam Desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksaan
pemerintahan Desa”. Pasal 39 mnyatakan “ Pada saat mulai berlakunya
Undang-undang, tidak berlaku lagi Undang-undang no 19 tahun 1965 tentang
Desapraja dan segala ketentuan yang bertentangan yang atau tidak sesuai dengan
Undang-undang ini”.
Dengan demikian terhitung sejak
diundangkan UU no. 5 tahun 1979 tersebut, maka bentuk-bentuk Desa lama yang di
zaman Hindia Belanda diatur berdasarka Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) di
Jawa-Madura dan Inlandse Gemeentie Ordonantie Buitengewesten (IGOB) di luar
Jawa-Madura. Oleh karena pada kenyataanya dalam penerapan UU no. 5 tahun 1979
tidak “lulus oballas” (lancer) dikarenakan disana sini masih nampak ada
pengaruh dari bentuk-bentuk desa lama (menurut hukum adat), oleh karena itu
bentuk-bentuk desa lama harus kita ketahui untuk menjadi bahan pertimbangan dan
pemecahan jika terdapat kelemahan dalam penerapan UU no. 5 tahun 1979 tersebut.
Bentuk-bentuk desa di seluruh
Indonesia berbeda-beda, dikarenakan beberapa faktor, antara lain sebagai
berikut;
a. Wilayah yang ditempati penduduk; ada wilayah yang sempit ditempati
ditempati penduduk yang padat, sebaliknya ada wilayah yang luas ditempati
penduduk yang jarang.
b. Susunan masyarakat hukum adat; masyarakat adat (desa) yang susunannya
berdasarkan ikatan ketetanggaan (territoriaal) da nada yang susunannya
iberdasarkan ikatan kekerabatan (geneologis) atau berdasarkan iakatan
keagamaan.
c. Sistem pemerintahan hukum adat dan nama-nama jabatan pemerintahan adat
yang berbeda-beda dan penguasaan iharta kekayaan yang berbeda.
Di pulau Jawa seperti Jawa Tengah
dan Jawa Timur desa dengan dukuh-dukuhnya merupakan wilayah yang
ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang sangat padat.
Begitu pula di daerah Pasundan desa dan lembur-lemburya atau di daerah Banten
desa dengan ampian-ampiannya. Walaupun penduduknya agak jarang, namun antara
bagian-bagian desa dengan pusat desa tidak berjauhan demikian pula
halnya dengan di Bali, desa dan banjar-banjarnya, tetapi di Bali
penduduk desanya dapat dibedakan antara marga adat Banjar (dalam
pemerintahan tanah kering) dan warga adat Subak dalam pemerintahan tanah basah
/ pengairan).
Lain halnya dengan daerah-daerah di
luar Jawa, bentuk wilayah kediaman yang dapat disamakan dengan bentuk desa
adalah seperti di Aceh disebut “mukim” sebagai kesatuan beberapa “gampong” di
Batak disebut “Negari” atau “Kuria” dengan beberapa “huta”, di Minangkabau
disebut “Nergari” dan beberapa “kampuang” atau “suku” di Sumatera Selatan,
“Marga” dan beberapa “Suku”, di Lampung Marga dengan beberapa kampong “Peyuh /
Tekon”. Di Kalimantan yang masih merupakan rumpun suku dan anak-anak sukunya;
di Sulawesi Selatan, dalam bentuknya yang lama “Wanua” (Bugis), “Pa’rasangan”
atau “Bori” (Makasar), di Sulawesi
Utara, “Wanua” (Minahasa); di Ambon (Maluku) “Aman” dengan “soa”’ di Irian Jaya
yang masih merupakan perkampungan yang kecil-kecil “keban” (Sumbawa), di Timor
yang masih merupakan perkampungan suku-suku yang masih kecil.
Pada umumnya yang merupakan bentuk
desa di luar Jawa, merupakan tempat kediamnan penduduk yang terdiri dari perkampungan
yang kecil-kecil yang terdiri dari beberapa rumah denganhak ulayat atas tanah
perladangan dan hutan yang luas. Kampong-kampung tersebut ada yang setengah
berdiri, mengatur pemerintahan rumah tangga kampungnya dengan raja-raja adatnya
masing-masing. Kebanyakan letak perkampungannya jauh dari pusat desa dan bahkan
masih ada yang penduduknya tidak menetap masih berpindah-pindah tempat sesuai
dengan kehidupan pertanian lading atau pengembalaan ternak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar