Rabu, 06 Mei 2015

MAKALAH HUKUM ADAT HUKUM ADAT KETATANEGARAAN



MAKALAH HUKUM ADAT
HUKUM ADAT KETATANEGARAAN
Diajukan Untuk Memenuhi Sala Satu Tugas Mata Kuliah di Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung
Jurusan Hukum Pidana Islam

Disusun Oleh : Kelompok 1
Aisyah (1123060009)
Kautsar Abidin (1123060042)
Irma S. Rubiah (1123060037)
Kamal Rullah (1123060041)
Farhatun Hurriyah (1123060025)

Fakultas Syari’ah dan Hukum
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI                                                  SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
Kata Pengantar
Alhamdulillah Puja dan Puji tetap atas pemilik Dzat Maha Abadi dan Maha Hakiki yang telah menjadikan hidup ini indah dan penuh berkah,bahagia dan penuh makna.Serta ucapan syukur yang tiada terhitung selalu kami tujukan dan kami utamakan kepada Allah SWT yang mana karena Rahman dan Rahim-Nya, penyusun diberikan kesehatan jasmani dan rohani, keberkahan masa dan usia sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Adat “Hukum Adat Ketatanegaraan” ini. Karena tanpa semua itu mustahil maklah ini dapat di selesaikan dengan baik.
            Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah di Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung. Besar harapan kami hadirnya makalah ini di tengah-tengah pembaca dapat menambah pengetahuan dan pemahaman terhadap Hukum Adat Hukum Adat Ketatanegaraan” khususnya sebagai salah satu bahasan pokok yang terdapat pada pokok bahasan Hukum Adat, dan apa yang di bahas dalam makalah ini merupakan salah satu bagian darinya.
           Tidak terkecuali kami ucapkan banyak terimakasih kepada dosen kami tercinta bidang studi Hukum Adat yang telah memberikan tugas mulia ini sebagai wahana untuk mengukur sejauh mana kemempuan dan pemahaman yang kami miliki.
           Akhirnya, kami mengambil istilah untuk makalah ini sesuai dengan kata pepatah bahwa ”tiada gading yang tak retak”, itu berarti masih banyak kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca khuususnya dari dosen bidang studi terkait sangat kami harapkan sebagai bahan perbaikan di masa mendatang. Karena Kebenaran dan Kesempurnaan hanya Allah-lah Yang Maha Punya dan Maha Kuasa. 
                                                                                                        
                                                                                                                       Penyusun
                                                                                                         Bandung, 25 September 2013


Daftar Isi
Kata Pengantar……………………………………………………………………………………..!
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..!!

BAB  I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang…………………………………………………………………………….
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………………………
C.     Tujuan……………………………………………………………………………………..

BAB  II  PEMBAHASAN
A.    Bentuk Desa………………………………………………………………………………..
B.     Susunan Masyarakat Desa…………………………………………………………………
C.     Pemerintahan Desa…………………………………………………………………………
D.    Harta Kekayaan Desa……………………………………………………………………...

BAB  III  PENUTUP
A.    Penutup……………………………………………………………………………………
B.     Kesimpulan…………………………………………………………………………………

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………….



BAB  I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Apabila kita mengartikan Hukum Adat sebgai hukum yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan



































B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana bentuk desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
2.      Bagaimana susunan masyrakat desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
3.      Bagaimana corak pemerintahan desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan?
4.      Apa yang dimaksud dengan harta kekeyaan desa? Apa saja yang menjadi sumber harta kekayaan desa?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui bentuk desa dalam Hukum Adat Ketatanegaraan.
2.      Mengetahui susunan masyarakat desa dalam hukum adat ketatanegaraan.
3.      Mengetahui sistem atau corak pemerintahan desa.
4.      Mengetahui apa yan dimaksud harta kekayaan desa dan sumber-sumbernya.
























BAB  II  PEMBAHASAN
A.    Bentuk Desa

            Menurut Undang-undang no. 5 tahun 1979 pasal I dikatakan yang dimaksud dengan “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, sedangkan “Dusun adalah bagian wilayah dalam Desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksaan pemerintahan Desa”. Pasal 39 mnyatakan “ Pada saat mulai berlakunya Undang-undang, tidak berlaku lagi Undang-undang no 19 tahun 1965 tentang Desapraja dan segala ketentuan yang bertentangan yang atau tidak sesuai dengan Undang-undang ini”.
            Dengan demikian terhitung sejak diundangkan UU no. 5 tahun 1979 tersebut, maka bentuk-bentuk Desa lama yang di zaman Hindia Belanda diatur berdasarka Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) di Jawa-Madura dan Inlandse Gemeentie Ordonantie Buitengewesten (IGOB) di luar Jawa-Madura. Oleh karena pada kenyataanya dalam penerapan UU no. 5 tahun 1979 tidak “lulus oballas” (lancer) dikarenakan disana sini masih nampak ada pengaruh dari bentuk-bentuk desa lama (menurut hukum adat), oleh karena itu bentuk-bentuk desa lama harus kita ketahui untuk menjadi bahan pertimbangan dan pemecahan jika terdapat kelemahan dalam penerapan UU no. 5 tahun 1979 tersebut.
            Bentuk-bentuk desa di seluruh Indonesia berbeda-beda, dikarenakan beberapa faktor, antara lain sebagai berikut;
a.      Wilayah yang ditempati penduduk; ada wilayah yang sempit ditempati ditempati penduduk yang padat, sebaliknya ada wilayah yang luas ditempati penduduk yang jarang.
b.      Susunan masyarakat hukum adat; masyarakat adat (desa) yang susunannya berdasarkan ikatan ketetanggaan (territoriaal) da nada yang susunannya iberdasarkan ikatan kekerabatan (geneologis) atau berdasarkan iakatan keagamaan.
c.      Sistem pemerintahan hukum adat dan nama-nama jabatan pemerintahan adat yang berbeda-beda dan penguasaan iharta kekayaan yang berbeda.
            Di pulau Jawa seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur desa dengan dukuh-dukuhnya merupakan wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang sangat padat. Begitu pula di daerah Pasundan desa dan lembur-lemburya atau di daerah Banten desa dengan ampian-ampiannya. Walaupun penduduknya agak jarang, namun antara bagian-bagian desa dengan pusat desa tidak berjauhan demikian pula halnya dengan di Bali, desa dan banjar-banjarnya, tetapi di Bali penduduk desanya dapat dibedakan antara marga adat Banjar (dalam pemerintahan tanah kering) dan warga adat Subak dalam pemerintahan tanah basah / pengairan).
            Lain halnya dengan daerah-daerah di luar Jawa, bentuk wilayah kediaman yang dapat disamakan dengan bentuk desa adalah seperti di Aceh disebut “mukim” sebagai kesatuan beberapa “gampong” di Batak disebut “Negari” atau “Kuria” dengan beberapa “huta”, di Minangkabau disebut “Nergari” dan beberapa “kampuang” atau “suku” di Sumatera Selatan, “Marga” dan beberapa “Suku”, di Lampung Marga dengan beberapa kampong “Peyuh / Tekon”. Di Kalimantan yang masih merupakan rumpun suku dan anak-anak sukunya; di Sulawesi Selatan, dalam bentuknya yang lama “Wanua” (Bugis), “Pa’rasangan” atau “Bori” (Makasar),  di Sulawesi Utara, “Wanua” (Minahasa); di Ambon (Maluku) “Aman” dengan “soa”’ di Irian Jaya yang masih merupakan perkampungan yang kecil-kecil “keban” (Sumbawa), di Timor yang masih merupakan perkampungan suku-suku yang masih kecil.
            Pada umumnya yang merupakan bentuk desa di luar Jawa, merupakan tempat kediamnan penduduk yang terdiri dari perkampungan yang kecil-kecil yang terdiri dari beberapa rumah denganhak ulayat atas tanah perladangan dan hutan yang luas. Kampong-kampung tersebut ada yang setengah berdiri, mengatur pemerintahan rumah tangga kampungnya dengan raja-raja adatnya masing-masing. Kebanyakan letak perkampungannya jauh dari pusat desa dan bahkan masih ada yang penduduknya tidak menetap masih berpindah-pindah tempat sesuai dengan kehidupan pertanian lading atau pengembalaan ternak.
           






Tidak ada komentar:

Posting Komentar